Manusia Dan Cinta
Manusia dan segala eksistensinya tidak akan pernah bisa berpaling dengan apa yang dinamakan cinta, karena cinta adalah makna hidup. Hidup tanpa cinta bagai taman tak berbunga; katanya sang pujangga. Cinta yang dimaksud dengan makna hidup adalah bentuk cinta yang fitrah, cinta yang lahir berdasarkan ketulusan dan murni untuk mencapai tujuan hidup.
Sebelum memahami bahwa cinta adalah makna hidup, maka manusia harus paham makna cinta yang fitrah, dan cara memfitrahkan cinta. Saya pernah bertanya kepada ayah saya perihal ini dan apa respon beliau, “Cinta itu kebutuhan”. Beliau juga menceritakan bahwa; seseorang lahir berawal dari rasa cinta tuhan kepada makhluqnya. Adam diciptakan dari tanah yang sifatnya adalah lentur, lemah dan rendah. Tapi tanah itu bijaksana, bisa ditanami tanaman apa saja, dan dibentuk menjadi apa saja. Kita dan tanah adalah filosofi sederhana. Jika kita itu diciptakan dari tanah supaya kita mengerti bahwasannya kehidupan itu harus fleksibel, dan rendah hati, kita harus bisa memilih dan memilah bibit unggul yang harus kita tanam (bijaksana). Tanah juga bisa dibentuk apa saja, ini juga bisa diartikan sebagai butuhnya manusia terhadap inovasi dalam menjalankan kehidupannya. Dan, ketika manusia itu mengerti bahwa ia manusia (berasal dari tanah), maka ia mulai mengenal cinta. Tukas beliau secara rinci, yang membuat saya manggut-manggut mencoba mencerna dan merenungi.
Cinta memang bukan segalanya, tapi segalanya butuh cinta. Ketika cinta dimaknai sebagai kebutuhan, maka maknanya universal; cinta tidak memandang keadaan dan suasana, dan mencintai tidak mengharapkan imbalan. Ketika Plato berbicara tentang cinta (Platonic Love) dia menganggap; bahwa cinta yang paling istimewa adalah cinta yang tidak terikat, cinta yang bebas akan adanya anggapan harus saling memiliki. “Orang kalo cinta ya cinta saja, ga usah pake alasan-alasan. Kalau cinta masih ada alasan-alasan berarti itu bukan murni cinta”. Ini saya ngutip dawuhnya Pak dhe F. Faiz yang ta’wilnya begini, ketika orang sudah mengenal bahwa cinta yang sejati adalah cinta tanpa keterikatan, maka orang tersebut tidak akan pernah merasakan apa namanya “sakit hati” yang dia tahu bahwa cinta selalu membuat dirinya merasa bahagia.
Manusia lahir dari cinta, dan harus melahirkan cinta kepada segalanya. Manusia dituntut untuk memahami seni mencintai dengan merasa ridla dengan segala apapun yang ditakdirkan oleh Allah SWT, Selalu belajar mengerti dan tidak berhenti berbuat baik.
Macam-Macam Cinta dan Dosis-Dosisnya
Orang akan menjadi fitrah karena cinta, jika dia sadar bahwa cinta itu fitrah. Sedang cinta yang fitrah adalah cinta yang tahu kadar seberapa besar ia dilarutkan terhadap objeknya. Objeknya cinta macam-macam. Dan kadarnya juga macam-macam. Ada yang harus totalitas, ada yang harus biasa-biasa saja, ada juga yang harus dihindari.
Cinta yang kadarnya harus dilarutkan sepenuhnya adalah cinta terhadap Allah SWt. karena ini adalah puncak dari segalanya “Man Ahabba llah, Ahabba Kulli Syai’in”. Orang yang sudah cinta kepada Allah akan mencintai segalanya termasuk apa yang ditakdirkan oleh allah meskipun itu buruk menurut orang-orang. Harus dipahami—ketika manusia sudah cinta kepada Allah karena Allah pun cinta kepada manusia tersebut. Cinta manusia kepada Allah adalah anugerah dari Allah.
Ada juga cinta yang kadarnya harus biasa-biasa saja, seperti rasa cinta kita kepada orang tua kita, cinta terhadap sanak dan kerabat, termasuk cinta kepada impian-impian dan harapan-harapan; kita harus sadar bahwasaanya segala sesuatu yang sifatnya tidak abadi tidak boleh kita mind dan feeling kan sebagai sesuatu yang berarti segala-galanya. “Ketika kau memeluk orang tuamu atau anakmu kau harus ingat bahwa dia hanya manusia,” itu kutipan Quote Marcus Aurelius seorang filsuf stoa yang dapat kita jadikan refleksi bahwasannya rasa cinta kita terhadap keluarga, impian-impian dan harapan-harapan harus tetap kita kembalikan kepada Allah.
Sedangkan cinta yang harus dihindari adalah cinta terhadap dunia. “Alaa innad dun-yaa mal’uunah. Mal’uunun maa fiihaa illaa dzkrullahi wamaa waalaahu wa ‘alimun au muta’allimun” dunia itu dilaknat dan Allah dan segala sesuatu yang ada di dalamnya kecuali dzikir kepada Allah, apa saja yang dicintai oleh orang yang berilmu, dan orang yang mau belajar. (HR. Imam Turmudzi, Imam Ibn Majjah, dan Ibn Abdil Barr. Dihasankan oleh Syaikh al Albani dalam Shaihih at Targhib wa Tarhib).
“Cah, hidup itu cuma mampir ngombe,” katanya Kyai Anwar Zahid yang sering saya dengar di radio telepon. Dunia hanyalah sebuah kendaraan menuju tujuan, dan jika kita menjadikan dunia sebagai tujuan itu adalah kekeliruan dan kebodohan besar.
Dunia dilaknat oleh Allah, karena dunia adalah tempatnya penderitaan. Dunia tempatnya ujian. orang-orang mu’min menganggap dunia adalah penjara, karena sulitnya mereka menahan nafsu dalam dirinya. Namun, bagi orang-orang kufur dunia adalah surga karena mereka sendiri buta. Cinta kepada dunia tidak lain adalah gerbang dari pada kehancuran.
Tidak cinta terhadap dunia dalam artian bukan meninggalkan dunia. Dunia juga sebagai mazra’atul akhirah (ladangnya akhirat) Manusia juga wajib untuk berkerja, mengejar karir dan lain sebagainya. hanya saja—catatannya, manusia tidak boleh larut di dalamnya. Manusia boleh bereksistensi terhadap dunia jika tujuannya untuk mencari kebahagiaan akhirat.
Kita berhak menjadi manusia yang bebas dengan mengenal cinta yang fitrah. Cinta yang fitrah adalah cinta yang tidak mengenal untung rugi, cinta yang hanya mengenal akan lahirnya kebaikan dan keberuntungan terhadap pribadi dan orang lain. Katanya Cak Nun, “Cintailah segalanya, inna lillahi wa inna ilaihi rajiun”. Wa Allahu A’lamu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H