Pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia menyatakan kemerdekaannya dari penjajahan Belanda. Namun, proses merdeka ini hanya awal dari perjalanan yang panjang dan penuh tantangan menuju kemerdekaan yang seutuhnya. Selain dari penjajah, Indonesia juga dihadapkan pada berbagai tantangan dalam menjalankan negara yang baru lahir.
kami kelompok dua berkesempatan untuk mewawancarai narasumber yaitu seorang patriot yakni Bapak Yunus dan Bapak Sutrisno telah mencatat peranan pentingnya. Mereka adalah bagian dari komunitas TNI yang turut serta dalam menjaga kedaulatan negara ketika usianya baru mencapai 14 tahun, saat itu beliau masih kelas 5 SD.Beliau menceritakan kesaksian kisah hidupnya dalam peristiwa DI/TII.
alasan mengapa pa yunus masuk TNI karena rumah nya di bakar oleh DI TII harta nya diambil keluarganya di siksa. Beliau tidak terima dengan yang terjadi pada beliau, beliau masuk tentara demi membalas kan dendam nya . Pada tahun 1975, ketika usianya masih terbilang muda, mereka telah ikut serta secara aktif dalam pertempuran sebagai seorang anggota pasukan prajurit.
Pemberontakan DI/TII berakar dari perasaan ketidakpuasan terhadap pemerintahan Indonesia pasca-kemerdekaan. Gerakan ini memiliki tujuan untuk mendirikan negara Islam berdasarkan hukum syariah di Indonesia. Dipimpin oleh Kartosuwiryo, gerakan ini mengecam pemerintahan nasionalis sebagai kafir dan menolak konsep negara Pancasila. Pasalnya, kemerdekaan RI diselimuti oleh bayang-bayang Belanda yang masih ingin berkuasa di Indonesia.
"Sisa dari adu domba belanda karena tidak mau lepas gitu saja jadi nanam duri duri untuk mengacaukan indonesia " sebut Bapak Sutrisno satu satunya cara untuk menangkap kartosuwiryo hanya dengan cara operasi "Pagar Betis" sebut Bapa Sutrisno.
Operasi Pagar Betis dilancarkan untuk mengatasi pemberontakan DI/TII di Jawa Barat .Pagar Betis merupakan operasi penumpasan pemberontakan DI/TII di Jawa Barat. Dalam operasi ini, ratusan ribu tenaga rakyat dikerahkan untuk mengepung tempat persembunyian DI/TII. Pagar Betis merupakan singkatan dari Pasukan Garnisun Berantas Tentara Islam. Lewat operasi ini, Kartosoewirjo, pemimpin pemberontakan DI/TII Jawa Barat, berhasil dibekuk.
Kartosuwiryo digiring mengarah dari banten cianjur, dan terjepit di Gunung Geber, Majalaya, Bandung, pada 4 Juni 1962 dan terkepungg yang pada akhirnya angkat tangan menyerah. Dia ditangkap dalam operasi bersandi Brata Yudha.
PEMBERONTAKAN DI/ TII
KONDISI MASYARAKAT PADA SAAT ÂKondisi nya saat itu semuanya habis, semua habis terbakar, kalo cari makan pun pas pulang rumah pasti udah kebakar. apalagi penduduk yang tidak memberikan kontribusi ke gerombolan, kalo ada kawan yang gugur pasti udah ada yang urus nah kita harus tetep maju, Peristiwa tersebut menelan banyak korban jiwa karena terjadi pembunuhan-pembunuhan terhadap tokoh masyarakat, pegawai pemerintahan, pasukan-pasukan pemerintah, ulama-ulama, para santri dan masyarakat biasa yang dilakukan oleh oknum-oknum PKI. Di bidang sosial, karena kekejaman PKI masyarakat Madiun cenderung menutup diri, sikap diam dan tidak berbicara terkait dengan peristiwa yang terjadi pada 1948 dianggap sebagai solusi yang tepat. Kebencian yang mendalam membekas di hati masyarakat Madiun antara kaum abangan dengan kaum santri. Di bidang ekonomi, harga-harga bahan pokok sempat mengalami penurunan dan masyarakat Madiun yang berbasis ekonomi pertanian tidak menjual hasil pertaniannya ke kota lain tetapi untuk dikonsumsi sendiri, sehingga pemenuhan kebutuhan bahan pokok dapat terpenuhi. kalo ada keributan tentara ribut sama Ormas pasti mengamuk seperti semboyang siliwangi "Esa hilang dua terbilang" Â Tentara itu perang mengenai ekonomi, budaya, sosial, agama.
Upaya pemerintah menanggulangi pemberontakan tersebut
Setelah Indonesia merdeka, negara kita berkali-kali mengalami pemberontakan dari berbagai pihak. Dalam penanganan pemberontakan ini pemerintah Indonesia melakukan dua strategi yaitu pendekatan militer dan diplomasi.
 Operasi militer dilakukan dengan mengirimkan pasukan untuk memerangi gerakan pemberontak. Operasi militer dilakukan dengan mengamankan obyek vital dan pusat pemerintahan dan mengisolasi gerakan pemberontak.
Sementara strategi diplomasi dilakukan dengan mengajak pemimpin pemberontak agar menyampaikan keluhanya yang menjadi alasan pemberontakan. Diplomasi dilakukan juga dengan memberikan amnesti atau pengampunan kepada mantan pemberontak yang mau meletakkan senjatanya.
Selain itu, Bapak Yunus dan Bapak Sutrisno juga menceritakan peristiwa sejarah meninggalnya pahlawan Jendral Mayor Abdurahman, peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 11 April 1949.Mayor R.O Abdurachman Natakusuma gugur dalam peristiwa berdarah di Desa Cibubuan Conggeang Sumedang Jawa Barat pada 11 April 1949 setelah Devisi Siliwangi kembali dari hijrahnya, dari Yogyakarta ke basis semula di Jawa Barat. Untuk mengenang ke pahlawannya, nama Mayor Abdurachman termasuk peristiwanya yaitu 11 April diabadikan dalam nama jalan di Sumedang Kota.
Barat. Kedudukan besar Devisi Siliwangi berposisi di Buahdua Sumedang sebagai wewenang Bataliyon Tarumanegara dibawah Komandan Mayor Abdurachman yang diberi tugas pengawal Panglima Devisi Siliwangi Letkol Sadikin.
Namun pergerakan Belanda itu, tercium juga Yon II Tarumanegara. Maka Mayor Abdurachman mengevakuasi Letkol Sadikin dibawah pimpinan Kapten Komir Kastaman ke wilayah Sumedang Timur.
Sementara itu, Tentara Belanda berada di Conggeang. Maka tentara itu bergerak ke Cileuncang memburu Letkol Sadikin, padahal sudah dievakuasi. Sehingga dalam serangan itu, tentara Belanda menggiring Mayor Abdurachman beserta Sersan Sobur dan Kopral Karna.
Mereka ditangkap dengan mudah di sebuah rumah warga dalam keadaan belum siap perang. Sebab ketiganya hanya mengenakan pakaian dalam dengan kedua tangan diikat tali ke belakang. Mereka digiring ke depan Balai Desa Cibubuan. Karena tidak mau menunjukan keberadaan Letkol Sadikin, maka dengan brutal tentara Belanda menembak kepala ketiga pahlawan itu termasuk 4 warga sipil yang dihabisi dengan ditusuk Bayonet. Saat itu, suasana Dusun Cileuncang Cibubuan mencekam banjir darah.
Letkol Sadikin lolos dari perburuan, tapi harus dibayar mahal karena kehilangan Danyon Mayor Abdurachman dan Danki Kapten Edi Soemadipraja termasuk 4 warga sipil dan 8 anggota Yon II Tarumanegara.
Dari kisah  Bapak Yunus dan Bapak Sutrisno mengingatkan kita bahwa perjuangan mereka sangat amat pedih  dalam menghadapi konflik bersejata ini.  Bapak Yunus dan Bapak Sutrisno berhasil mengambarkan sikap pahlawan indonesia yang berani, berkorban, dan bertekad besar, mereka adalah inspirasi bagi generasi muda Indonesia untuk tetap gigih dalam memperjuangkan nilai-nilai dan cita-cita yang mereka yakini, bahkan jika itu mengancam nyawa mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H