Di kalangan kelompok studi mahasiswa, juga bertumbuhan gairah untuk mengkaji realitas persoalan perempuan, namun masih gagap di dalam praktik perjuangannya. Pelopor kelompok perempuan untuk melawan otoritarianisme yang dilakukan pemerintah Soeharto ialah Yayasan Annisa Swasti di Yogya dan Kalyanamitra di Jakarta, yang mulanya memusatkan perhatian pada masalah eksploitasi tenaga kerja perempuan.
Buruh perempuan adalah realitas kelas tertindas yang digempur oleh patriarki di dalam rumah tangga, militerisme, dan kapitalisme. Kelompok perempuan sebelum periode 1980an tetaplah kelompok yang pasif dan tidak terlalu memiliki pengaruh yang besar dalam perpolitikkan era Soeharto, tetapi ketika sudah memasuki periode yang vital dalam era Orde Baru dan memasuki periode baru, kelompok perempuan mulai memperjuangkan hak pereampuan yang termanifestasi ke dalam isu-isu perempuan guna memobilisasi melawan perlawanan terhadap otoritarianisme Orde Baru.Â
Di sini negara menjadi arena pertarungan -- antara perempuan dan penguasa militer Orde Baru. Maka bisa kita lihat bahwa usaha pemerintah Orde Baru untuk menundukkan perempuan dan organisasi perempuan dengan begitu tak sepenuhnya berhasil. Para perempuan berserikat menjadi satu kesatuan, membangun kembali organisasi, dan bersama-sama menentang pemerintahan represif Soeharto.
Kelompok Perempuan Era Reformasi
Setelah jatuhnnya rezim Soeharto, keberadaan kelompok perempuan semakin mendapat tempat. Perjuangan aktivis perempuan untuk memperjuangkan hak kaum perempuan yang selama ini telah dipasung oleh pemerintah atas nama kepentingan negara semakin terbuka lebar. Organisasi peempuan terus bermunculan dalam berbagai bentuk, tidak hanya dalam bentuk yayasan, LSM, ataupun ormas. Melainkan juga dalam bentuk women crisis center dan hotline. Kelompok perempuan Indonesia juga mengadakan sebuah kongres perempuan Indonesia digelar oleh LSM perempuan sejak 14 -- 22 Desember 1998 di Yogyakarta.
Salah satu permasalahan yang diperjuangkan ialah isu melawan kekerasan terhadap perempuan sebagai agenda hak asasi perempuan dan hak perempuan dalam parlemen. Sebab realitas Indonesia dari merdeka hingga saat ini, keterwakilan perempuan di parlemen tidak pernah beranjak dari 10 persen. Keterwakilan perempuan juga mulai diwadahi dengan munculnya partai politik dengan sayap organisasi yang dipimpin langsung oleh perempuan. Misalnya, Golkar memiliki Kesatuan Perempuan Partai Golkar (KPPG), PKB memiliki Perempuan Kebangkitan Bangsa, PAN memiliki Perempuan Amanat Nasional, dan lain sebagainya.Â
Keberpihakan terhadap kaum perempuan juga ditunjukkan dengan adanya amandemen UUD 1945 dan memuat kesetaraan gender dalam bentuk persamaan hak dan kewajiban antar sesama warga negara dalam ranah publik ataupun privat, termasuk dalam bidang hukum dan pemerintahan. Saat pembetukan draft amandemen UUD 1945, organisasi perempuan juga dilibatkan di bawah koordinasi Komite Perempuan untuk perdamaian dan demokrasi. Hal ini diperkuat dengan UU RI Nomor 39 Tahun 1999, Pasal 46, tentang HAM yang menjamin representasi perempuan, baik di legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Untuk permasalahan keterwakilan dalam parlemen, kelompok perempuan mendeklarasikan tindakan afirmatif kuota 30 persen untuk memastikan kemajuan perjuangan hak dipilih bagi perempuan.
Tindakan afirmatif untuk kuota 30 persen keterwakilan perempuan ini pada akhirnya diterima dan dicantumkan ke dalam UU Pemilu, walaupun masih banyak kekurangan. Begitu pula di bidang hak asasi perempuan juga memiliki legitimasi negara dengan hadirnya Komisi Nasional Anti-kekerasan terhadap Perempuan. Dalam era Reformasi, hampir seluruh organisasi perempuan menyuarakan persoalan isu hak perempuan ke ranah kebijakan yang berujung kepada produksi legislasi dan anggaran. Agenda kelompok perempuan pun juga tidak ditolak oleh negara bahkan diberikan akses. Hal ini menujukan progresivitas kelompok perempuan dalam negara. Kelompok perempuan pada era ini sudah menjadi aktor aktif yang bisa memuarakan isu-isu perempuan ke ranah kebijakan yang berujung kepada legislasi dan anggaran.
Ketika perempuan sudah bisa memperjuangkan hak politiknya dengan munculnya legislasi mengenai representasi perempuan 30 persen dalam parlemen, kuota tersebut masih belum menjanjikan keterwakilan perempuan dan kelompok marjinal. Kuota tersebut juga bukan tujuan kelompok perempuan, melainkan sarana awal untuk politik yang lebih berkeadilan. Politik representasi perempuan diharapkan bisa merangkul semua elemen perempuan agar menghasilkan kebijakan yang adil. Namun, hal ini masih belum tercapai dikarenakan elite politik, baik perempuan ataupun laki-laki, masih terjebak dalam polarisasi politik jangka pendek dan memandang demokrasi sudah dijalankan ketika pemilihan umum sudah dilaksanakan.
Kemudian, Untuk memperjuangkan hak-hak perempuan agar mencapai wilayah publik, harus melalui pintu partai politik sebagai salah satunya mesin politik di Indonesia. Sedangkan, partai politik di Indonesia hanya merekrut kaum perempuan sebatas formalitas belaka. Dunia politik era Reformasi, masih dibayangi oleh budaya maskulinisme yang tinggi. Representasi perempuan Indonesia dalam parlemen hanya pada tahapan asal perempuan saja, tetapi tidak membicarakan tentang bagaimana perempuan itu mau berbuat apa kedepannya agar bisa membuat kebijakan politik yang tidak diskriminasi gender.
Reformasi Indonesia masih banyak yang perlu dibenahi. Reformasi memang terwujud, tetapi dalam arti politik rekognisi (pengakuan) negara terhadap agenda perempuan dan gerakan perempuan. Pengakuan tersebut belum disertai redistribusi power dan kesejahteraan. Rekognisi yang membentuk wacana dominan ialah hadirnya kuota 30 persen bagi perempuan. Wacana ini yang mendorong banyak perempuan untuk berpartisipasi dalam pemilu dan ruang politik telah mengakui adanya perempuan.