Pergerakan perempuan memperjuangkan representasi perempuan 30% di parlemen merupakan  salah satu aktivitas politik yang bersifat demokrasi untuk semua perempuan di dunia termasuk Indonesia. Dengan hadirnya perubahan UU Pemilu dan partai politik yang sekarang ini lebih melibatkan perempuan dalam bidang politik. Hal ini menunjukan bahwa adanya perubahan mengenai sistem politik Indonesia yang lebih demokratis[13] dan menjadi salah satu bukti konkret hadirnya kemajuan yang cukup pesat mengenai kesetaraan gender di Indonesia. Pergerakan perempuan yang pada mulanya diawali dengan kongres APU yang terjadi pada tahun 1995, perjuangan kuota diperbincangkan dan anggota kongres sepakat dengan kuota 30% di parlemen untuk perempuan. Lalu, ketika tahun 1996 ditentukan dalam kongres perempuan dunia di China bahwasanya keputusan APU dan Kongres Beijing menjadi dasar perjuangan perempuan mengenai kuota 30%. Hal ini lah yang menjadi cikal bakal munculnya gerakan perempuan di Indonesia untuk mewujudkan kuota 30% tersebut.
Pada tahun 2001, gerakan perempuan lebih terarah dan terencana yang diperjuangkan oleh para aktivis perempuan di LSM, Ornop, Perempuan Parlemen dan Perempuan Partai politik. Langkah  awal yang dilakukan adalah dengan mempersatukan  persepsi diantara perempuan dan organisasi perempuan. Kelompok yang mendukung perjuangan tindakan afirmatif dikenal dengan Kaukus Perempuan Politik Indonesia yang merupakan gabungan 17 partai politik yang merupakan  perempuan anggota DPR-RI, 38 LSM, ORMAS. Lalu, ada Jaringan Perempuan dan Politik, dan KOWANI. Kegiatan advokasi yang dilakukan adalah dengan kegiatan seminar, lokakarya, kunjungan parpol, menulis di media cetak dan lain sebagainya. Pada 28 Novermber 2002, rapat paripurna pengesahan RUU partai politik gagal total dengan  ketidakberhasilan  mencatumkan kuota 30%. Strategi diubah lebih melakukan pendekatan subjektif dan personal kepada anggota pansus serta fraksi DPR. Akhirnya, keputusan  pun disetujui untuk memasukkan kuota 30% dalam Pasal 65 ayat (1)  UU Pemilu No. 12 Tahun 2003. Namun, undang-undang tersebut masih memiliki kelemahan, jumlah perempuan hanya 11,09% diantara 550 anggota legislatif.  Hal ini yang menjadi pembelajaran dan evaluasi penting terhadap gerakan perempuan untuk meningkatkan partisipasi dan representasi perempuan dalam pemilu selanjutnya.[14] Dengan demikian, hal itu mengakibatkan munculnya gagasan untuk menerapkan sistem zipper  dengan campuran tindakan afirmatif, sistem kuota dan aturan nomor urut dalam pemilu 2009 yang tertuang pada UU  No. 10 Tahun 2008 tentang pemilu. Dengan sistem ini, caleg DPR RI mengalami peningkatan jumlah keterwakilan perempuan dari 32,3% menjadi 34,7%.[15] Walaupun masih  terdapat  parpol yang menempatkan caleg perempuan pada angka terbawah dalam  kelipatan  tiga dan keterwakilan perempuan di DPR pada tahun 2009 hanya mencapai 17,9%. Setelah itu, usaha keterwakilan perempuan ditingkatkan di parlemen pada tahun 2014 dengan munculnya keberadaan UU  No. 8 Tahun 2012 dan  PKPU No. 7 Tahun 2013. UU dan PKPU tersebut berhasil memaksa parpol untuk memenuhi kuota 30% dalam caleg mereka. Jika tidak, maka parpol tidak bisa mengikuti pemilu daerah pemilihan yang bersangkutan karena mengingat peraturan tersebut telah disetujui DPR.
Lahirnya undang-undang yang mendukung tindakan afirmatif diharapkan akan memberikan  ruang bagi perempuan Indonesia untuk terlibat aktif dalam kegiatan proses politik. Peningkatan angka kuantitatif menjadi titik awal bagi perubahan perempuan dalam bidang politik. Strategi kuantitatif memang sebenarnya belum menjamin perempuan dapat berperan di bidang politik, strategi kuantitatif ini juga perlu didukung oleh peningkatan kualitatif untuk mengisi kuota tersebut. Karena partisipasi perempuan di bidang politik dilihat hanya sebagai obyek ataupun penggembira karena minimnya pengetahuan perempuan di bidang politik.
Peningkatan kualitas sumber daya perempuan bisa melalui pendidikan politik bagi perempuan  yang berorientasi untuk maju secara berkelanjutan  dengan memiliki visi dan misi serta memiliki kekuataan sendiri untuk memiliki karakter yang kuat dalam  kiprah politiknya. Pendidikan  ini menjadi bekal untuk menciptakan kebijakan yang tidak merugikan perempuan dan melalui pendidikan ini diharapkan perempuan mampu memperbaiki kualitasnya[16], sehingga kesempatan para perempuan untuk menjadi bagian legislatif ataupun di ranah publik tidak diragukan dan didiskiriminasi lagi dengan alasan gender.
Â
Partisipasi politik perempuan merupakan bentuk keterlibatan yang penting demi menciptakan kesetaraan gender di bidang politik. Tetapi, sayangnya banyak sekali hambatan perempuan dalam memasuki ruang perpolitikan di Indonesia. Masalah diskriminasi gender dan lemahnya representasi perempuan dalam politik membuat tidak terwakilnya kepentingan perempuan dalam merumuskan dan menentukan kebijakan politik serta kuatnya budaya patriarki di Indonesia. Dengan demikian, cara untuk menguatkan partisipasi dan representasi perempuan dalam bidang politik ialah dengan mewujudkan kehadiran tindakan afirmatif mengenai kuota 30% yang bisa mengakibatkan peningkatan kuantitas perempuan dalam beraktivitas politik. Tindakan afirmatif yang diusung oleh aktivis perempuan menjadi awal tonggak perubahan representasi perempuan di dalam kegiatan politik. Tindakan ini tentu bertujuan untuk mewujudkan kesetaraan gender di Indonesia. Lalu, tindakan afirmatif ini perlu dilakukan karena perempuan memiliki kesempatan dan kapasitas yang sama dalam berpartisipasi di bidang politik. Selain memperjuangkan peningkatan kuantitatif keterwakilan perempuan  30% di ranah politik. Tentunya, para perempuan perlu peningkatan yang tidak hanya bersifat kuantitatif melainkan juga kualitatif. Diharapkan dengan meningkatnya kualitas perempuan di ranah politik bisa membawa aspirasi perempuan dan perubahan politik Indonesia yang lebih baik lagi. Dan para perempuan di Indonesia tidak diragukan lagi kualitasnya dalam menjalani aktivitas politik. Penulis berharap semoga tulisan ini memberikan pandangan baru bagi pembaca yang mana pemaparan ini sangat jauh dari kata sempurna. Sehingga masukan berupa koreksi dan saran yang diterima akan sangat berguna bagi penulis untuk terus memperbaiki kualitas tulisannya.