Mohon tunggu...
marsya Kayla sabina
marsya Kayla sabina Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Jurnalistik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Hobi saya memasak dan membuat kue dan travelling

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Membangun Retorika Dakwah yang Berorientasi pada Tujuan

29 Juni 2024   23:19 Diperbarui: 29 Juni 2024   23:20 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Syamsul Yakin dan Marsya Kayla Sabina
Dosen Retorika dan Mahasiswa UIN Syarif  Hidayatullah Jakarta

Tujuan dakwah termaktub  dalam makna ayat berikut  ini, "Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung" (QS. Ali Imran/3: 104).

Begiti juga, "Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, karena kalian menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka.Di antara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik" (QS. Ali Imran/3: 110).

Teknik untuk mencapai tujuan dakwah itu, Nabi mengajari, "Barangsiapa  yang melihat kemungkaran maka ubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka ubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu maka (tolaklah) dengan hatinya dan hal tersebut adalah selemah-lemahnya iman" (HR. Muslim).

Dalam retorika, terdapat tiga tujuan utama dari sisi isi pesan yang disampaikan: informatif, persuasif, dan rekreatif. Selain itu, bisa ditambahkan dua tujuan lainnya, yaitu edukatif dan advokatif. Kelima tujuan retorika ini berkaitan erat dengan tujuan dakwah. Artinya, amar makruf dan nahi mungkar dapat bersifat informatif, persuasif, rekreatif, edukatif, dan advokatif.

Dari sisi cara menyampaikan pesan, ada dua tujuan utama dalam retorika, yaitu monologika dan dialogika. Monologika adalah gaya bicara satu arah, yang biasanya disampaikan dalam bentuk pidato, ceramah, dan khutbah. Dialogika adalah gaya bicara dua arah atau dialogis.

Dalam dakwah Nabi, banyak riwayat yang mencatat penggunaan dakwah dialogis. Sebagai contoh, dalam kitab Fathush Shamad terdapat hadits yang bersumber dari Ibnu Umar. Ibnu Umar bercerita, "Dalam suatu perjalanan, kami bersama Rasulullah. Tiba-tiba seorang Arab pedalaman mendekat.

Nabi meresponsnya dengan bertanya, "Wahai kisanak, kamu hendak kemana?" Orang itu menjawab, "Hendak pulang ke keluargaku." Nabi bertanya lagi, "Apakah kisanak menginginkan kebaikan?" Orang itu bertanya, "Apa itu?"

Nabi menjelaskan, "Kamu bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan (kamu bersaksi) bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan rasul-Nya." Namun, orang itu malah bertanya, "Siapa yang akan bersaksi untuk membenarkan ucapanmu?" Dengan tangkas Nabi menjawab, "Pohon ini atau buah ini."

Pohon tersebut berada di tepi jurang. Karena bumi mendekatkannya, seketika pohon tersebut berada di hadapan Nabi untuk menghadap beliau. Setelah itu, Nabi bersyahadat tiga kali, dan pohon itu pun bersyahadat seperti halnya Nabi. Kemudian, pohon itu kembali ke tempat asalnya.

Kedua, dalam kitab al-Mawaidz al-Ushfuriyah, Syaikh Muhammad bin Abi Bakar menuliskan tentang keislaman Abu Bakar yang diawali dari mimpi. Ketika berada di Syam (kini Suriah), Abu Bakar bermimpi melihat matahari dan bulan di dalam kamarnya. Dia merengkuh keduanya dengan kedua tangannya dan mendekap mereka erat-erat. Selain itu, dia mengikat matahari dan bulan dengan surbannya agar tidak pergi. Ketika Abu Bakar terbangun, dia segera pergi menemui seorang pendeta Nasrani yang masih beriman dengan agama tauhid untuk bertanya tentang mimpinya.

Di hadapan pendeta tersebut, Abu Bakar menceritakan secara lengkap mimpinya dan meminta tafsirnya. Pendeta itu bertanya, "Kamu dari mana?" Abu Bakar menjawab, "Mekah." Pendeta itu bertanya lagi, "Dari suku apa?" Abu Bakar menjawab, "Dari suku Taymin."

Pendeta itu melanjutkan, "Apa pekerjaanmu?" Abu Bakar menjawab, "Berdagang." Setelah melontarkan beberapa pertanyaan, pendeta itu berujar, "Pada masamu ini akan datang seorang laki-laki keturunan Bani Hasyim yang bernama Muhammad al-Amin. Ia bermarga Hasyim dan akan menjadi nabi akhir zaman."

"Kalau bukan karena beliau, niscaya Allah tidak akan menciptakan langit dan bumi, serta segala isinya. Tanpanya, Allah juga tidak akan pernah menciptakan Nabi Adam, para nabi, dan rasul. Muhammad adalah pemimpin para nabi dan rasul. Ia adalah nabi terakhir. Kamu akan masuk agama Islam yang dibawanya."

"Kelak kamu akan menjadi orang kepercayaannya sekaligus bakal menjadi penggantinya. Inilah makna mimpimu itu," pungkas pendeta tersebut. "Aku mendapatkan informasi tentang ciri-ciri dan sifat-sifat Muhammad dalam kitab Taurat, Injil, dan Zabur. Sungguh, aku sendiri sudah mengikuti agamanya. Hanya saja aku menyembunyikannya."

Setelah mendengar penjelasan pendeta tentang sifat-sifat Nabi, hati Abu Bakar luluh dan ia merasa rindu untuk bertemu dengan Nabi di Mekah. Sesampainya di Mekah, Abu Bakar tidak membuang waktu, ia langsung mencari Nabi dan berhasil bertemu dengannya. Sejak pertemuan itu, Abu Bakar menjadi sangat mencintai Nabi dan tidak pernah ingin berpisah darinya.

Kondisi hati Abu Bakar seperti itu berlangsung cukup lama, hingga suatu hari Nabi bertanya kepadanya, "Wahai Abu Bakar, setiap hari kamu mengunjungiku. Seringkali juga kamu duduk bersamaku. Namun, mengapa kamu belum masuk Islam?" Abu Bakar menjawab, "Jika kamu benar seorang nabi, tentu kamu memiliki suatu mukjizat."

"Apakah belum cukup bagimu mukjizat yang kamu alami dalam mimpimu ketika kamu berada di Syam? Kemudian mimpimu itu ditafsirkan oleh seorang pendeta Nasrani yang juga sudah menyatakan keislamannya?" desak Nabi. Setelah mendengar sabda Nabi itu, Abu Bakar berikrar, "Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan kamu adalah utusan Allah."

Ketiga, masih dalam kitab al-Mawaidz al-Usfuriyah, Syaikh Muhammad bin Abi Bakar mengutip sebuah hadits Nabi yang bersumber dari Abu Dzar al-Ghifari. Abu Dzar bertanya, "Ya Rasulullah, ajarkan aku satu perbuatan yang mendekatkan aku ke surga dan menjauhkan aku dari neraka."

Nabi menjawab, "Jika kamu melakukan kejelekan, maka ikutilah dengan kebaikan." Abu Dzar bertanya lagi, "Apakah termasuk kebaikan kalimat 'Laa Ilaaha Illaahu' itu?" Lalu Nabi menjawab, "Benar, bahkan kalimat itu adalah yang terbaik di antara yang baik."

Keempat, bersumber dari Abu Hurairah, dia mengaku mendengar Nabi bersabda, "Amal seseorang tidak akan memasukkan seseorang ke dalam surga". Para sahabat bertanya, "Engkau juga tidak wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Aku pun tidak. Itu semua hanyalah karena karunia dan rahmat Allah" (HR. Bukhari).

Dari sisi pedagogik, terdapat empat tujuan retorika yang diperkenalkan: korektif, instruktif, sugestif, dan defensif. Keempat tujuan ini bisa digunakan untuk mencapai tujuan dakwah yang telah disebutkan sebelumnya.

Jika disimpulkan, tujuan retorika dapat dibagi menjadi tiga sisi: berdasarkan isi, cara, dan pedagogik. Ketiga aspek ini dipandang mampu menghantarkan pada tujuan dakwah, yakni amar makruf dan nahi mungkar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun