Halo! Apa kabar yang saat ini masih leyeh-leyeh di rumah saja sambil membaca buku? Silakan lanjutkan aktivitas kamu apapun itu. Nggak usah malu kalau ternyata yang kamu baca itu adalah buku cetak atau elektronik bajakan. Tidak, kamu nggak sepenuhnya keliru, karena saya pun setidaknya pernah membaca buku bajakan. Oleh karena itu, izinkan tulisan ini mewakili saya, kamu, dan bahkan kami semua yang dimarahin, dihujat habis-habisan karena membaca dan menyebarkan buku digital bajakan.
Kami yakin dan sadar betul perbuatan kami salah. Perbuatan kami ini nyaris berpotensi merusak iklim literasi di tanah ini. Kami memahami, bahwa resiko buku dibajak merugikan banyak orang. Kami mengerti juga, kalau dalam pembuatan satu buku saja memerlukan jerih payah.
Ada banyak pihak yang terlibat dalam pembuatan satu buku. Kami nggak tahu, di sana ada penulis dengan ide-ide kreatifnya menulis sebuah cerita yang bagus, harapannya bisa diterbitkan. Ketika tulisan mereka sampai ke meja penerbit, belum tentu langsung terbit. Kami sedikitnya mengerti, banyak sekali fase-fase yang harus dilewati untuk satu buku bisa diterbitkan. Penulis pasti butuh bayaran dari tulisannya, sedangkan penerbit perlu keuntungan dan modal buat membeli kertas-kertas itu yang mungkin di luaran sana harganya sudah cukup mahal.
Distributor yang berusaha keras memasarkan bukunya. Sementara, toko buku yang senantiasa lebih sering banyak pengunjung daripada pembelinya. Kami memaklumi itu, dan kami menghargai itu. Mereka yang bekerja di penerbitan buku, kami tahu pasti mengalami pasang surut, kadang paceklik. Buku yang disebar di pasaran pun belum tentu laku. Kami paham butuh tenaga ekstra untuk menjual satu buku saja di tengah masyarakat yang katanya minat bacanya rendah.
Jangan dikira kami nggak mengerti, kalau menawarkan buku lebih susah ketimbang menawarkan es teh manis. Orang-orang lebih takut untuk tidak makan, daripada tidak membaca buku. Makanya, membeli buku bukan menjadi pilihan mereka. Kami mengerti, mahalnya harga barangkali karena terpengaruh bahan baku yang mahal. Kami memang sok tahu, kami kira dengan membagikan ebook bajakan dan menyebarkan buku bajakan versi cetak bisa menolong literasi kita.
Paling tidak, agar minat baca kembali terbangun, meski perlahan-lahan. Tapi jujur, kami nggak tahu harus bagaimana lagi? Uang kami belum cukup buat membeli buku original. Harganya yang mahal dan belum lagi faktor kelangkaan di toko buku. Membeli beras saja belum cukup, apalagi beli buku-buku bagus yang harganya selangit itu. Lebih baik buat makan. Apalagi harga sembako, dan kebutuhan juga tak kalah melangit.
Kami bingung sebenarnya. Katanya Indonesia ingin meningkatkan minat baca, dan memperbaiki kualitas literasi. Tapi harga bukunya saja selangit, jadi jangan heran kalau kami mencari buku-buku bajakan, dan sekarang e-book bajakan juga. Harganya yang jauh lebih murah dan kemudahan mendapatkannya jelas menggiurkan bagi kami. Kami nggak sanggup menahan diri untuk membaca buku yang kami idam-idamkan, jalan keluarnya hanya itu.
Kami nggak tahu, sampai kapan kami dipersalahkan membaca produk bajakan. Kami juga belum bisa yakin, sampai kapan pula keseriusan meningkatkan minat baca ini bakal dipupuk. Kami lihat di televisi, membaca di media sosial, dan di koran-koran lokal banyak gerakan membenci kami. Membenci orang-orang yang membaca dan menyebarkan buku bajakan.
Para penerbit dan penulis tidak menyukai kami sebagai pembaca buku bajakan. Kami tahu itu, bahkan kebencian terhadap pembaca buku bajakan lebih masif ketimbang pembajaknya. Kami nggak ngerti lagi, kami ini memang salah, keliru, dan melanggar hukum. Tapi tolong, kami hanya ingin membaca. Ingin mendapatkan buku-buku bagus dengan mudah, dan bila perlu harganya nggak lebih dari tiga kilogram beras.
Apakah kami layak mendapatkan itu? Okelah, pemerintah sudah menyediakan aplikasi perpustakaan versi digital (Ipusnas). Kami sesekali memakainya kok, tak perlu khawatir. Tapi acap kali kami nggak kebagian buku yang ingin kami baca. Jumlah antrean pembaca di Ipusnas jauh lebih banyak dari stok-nya. Kami yang suka malas-malasan ini nggak mau kalau disuruh ngantre lama-lama.
Entah sampai kapan antrean membaca di Ipusnas akan terus menumpuk. Entah kapan pula buku elektronik di Ipusnas bakal bertambah. Tidak, mungkin nggak bakalan bertambah. Kami dengar pemerintah lebih milih bayarin influencer. Apalagi saat ini pemerintah sedang menghadapi pandemi. Kami mendapat informasi kalau untuk menangani pandemi, pemerintah butuh uang banyak, dananya bahkan miliaran. Akhirnya kami sadar, dana negara masih dipakai di sektor lain, termasuk pariwisata dan investasi.