Mohon tunggu...
Marsya Alvia
Marsya Alvia Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

Sastra Indonesia, Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence

Fomo Atau Kewajiban? AI Sebagai Kunci Gaya Hidup Ramah Lingkungan

16 Januari 2025   01:03 Diperbarui: 16 Januari 2025   01:03 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Artificial Intelligence. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Gerd Altmann

Dalam beberapa tahun terakhir, gaya hidup ramah lingkungan telah menjadi topik utama di kalangan generasi muda. Kesadaran akan pentingnya melindungi bumi untuk generasi mendatang semakin tumbuh, terlihat dari langkah-langkah kecil seperti penggunaan produk daur ulang dan pengurangan konsumsi plastik. Namun, pertanyaan yang muncul adalah: apakah ini hanya sekadar Fear of Missing Out (Fomo) atau memang kewajiban setiap individu?

Gaya hidup ramah lingkungan memang sudah seharusnya menjadi kewajiban, bukan pilihan atau hanya sekedar fomo. Krisis iklim yang kita hadapi saat ini adalah tantangan nyata yang tidak dapat disepelekan. Bukti pemanasan global semakin jelas, dengan peningkatan suhu rata-rata global dan intensitas cuaca yang ekstrem memicu kebakaran hutan, banjir, dan topan yang semakin kuat.

Salah satu contoh nyata dampak krisis iklim yang baru saja terjadi adalah kebakaran besar di Los Angeles yang menghancurkan ribuan hektar lahan, memaksa ribuan orang mengungsi, dan menghasilkan emisi karbon dalam jumlah besar. Laporan California Department of Forestry and Fire Protection (Cal Fire) mengatakan bahwa kebakaran ini tidak hanya memperburuk kualitas udara tetapi juga mempercepat hilangnya keanekaragaman hayati. Data menunjukkan bahwa sekitar 7.000 hektar hutan terbakar dalam hitungan hari, melepaskan emisi karbon yang setara dengan puluhan ribu kendaraan bermotor.

Di Indonesia, situasi sampah juga menjadi sorotan. Menurut Badan Riset dan Inovasi Nasional, pada Juli 2024, sekitar 11,3 juta ton sampah tidak dikelola dengan baik. Selain itu, sebuah laporan dari University of Leeds, Inggris, pada September 2024 menyebutkan bahwa Indonesia merupakan penyumbang sampah plastik terbesar ketiga di dunia. The Plastic Waste Makers Index 2021 mengungkapkan bahwa setiap tahun dihasilkan 130 juta ton sampah plastik secara global, namun hanya 9% yang berhasil didaur ulang. Fakta ini menggarisbawahi pentingnya peran individu dalam mengurangi konsumsi plastik.

Teknologi berbasis kecerdasan buatan (AI) kini mulai merevolusi industri daur ulang. Contohnya adalah WasteNet, yang mampu mengkategorikan sampah menjadi enam jenis seperti kertas, kaca, logam, dan plastik. Ada juga Greyparrot, yang telah membantu mendaur ulang 32 miliar jenis limbah di 67 kategori pada tahun 2022. Recycleye, robot daur ulang berbasis AI yang dikembangkan di London, memudahkan pemilahan bahan daur ulang kering dan campuran.

AI tidak hanya berperan dalam daur ulang tetapi juga dalam mengurangi dampak perubahan iklim. The Ocean Cleanup, menggunakan AI untuk melacak dan membersihkan sampah plastik di Samudra Pasifik. Di bidang lain, peneliti dari University of California, Berkeley, telah merancang robot yang dapat berenang di lautan dan mengumpulkan sampah plastik. Selain itu, platform seperti CleanHub mengembangkan teknologi pemulihan plastik yang lebih efisien.

Dalam konteks prediksi iklim, AI telah digunakan untuk memantau dan menganalisis data lingkungan. Misalnya, teknologi AI dapat menggambarkan area yang berpotensi kebakaran hutan dengan menganalisis suhu, kelembapan, dan pola angin. Hal ini memungkinkan respons cepat terhadap potensi kebakaran, seperti yang terjadi di Los Angeles. Selain itu, sistem berbasis AI dapat mendeteksi perubahan iklim lokal yang dapat memengaruhi pola pertanian dan air, memberikan peluang untuk mitigasi dini.

Era digital juga menghadirkan berbagai aplikasi yang mendukung gaya hidup ramah lingkungan. JouleBug, Oroeco, EcoBuddy, dan Greenify merupakan beberapa aplikasi yang membantu individu dalam mengadopsi kebiasaan ramah lingkungan melalui pengelolaan energi, pengurangan limbah, dan pelacakan jejak karbon. Peneliti di University of Leeds juga menggunakan AI untuk memprediksi jumlah sampah global, memberikan data penting untuk strategi pengelolaan limbah.

Namun, tidak semua orang memiliki akses yang sama terhadap teknologi ramah lingkungan. Oleh karena itu, langkah kecil yang dilakukan setiap individu juga dapat memberikan dampak besar jika dilakukan bersama. Mengurangi konsumsi plastik, menghemat energi, dan mendukung produk lokal adalah beberapa contoh tindakan sederhana namun efektif.

Secara keseluruhan, literasi digital dan teknologi AI berperan sebagai jembatan menuju gaya hidup ramah lingkungan. Dengan memanfaatkan teknologi, informasi, dan kolaborasi, kita dapat memastikan bahwa keberlanjutan ini bukan hanya sekadar fomo tetapi sebuah gerakan global yang melibatkan semua pihak. Hanya dengan tindakan bersama, kita dapat mewariskan bumi yang sehat untuk generasi selanjutnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun