Mohon tunggu...
Marsuki MARSUKI
Marsuki MARSUKI Mohon Tunggu... -

Marsuki, lahir di Gowa Sunggu Minasa, Sulsel, Juni 1961. Sarjana Ekonomi di Fakultas Ekonomi Unhas. Pendidikan Magisteral (DEA) dan Program Doktoral (Ph.D) di Universite de Nice Sophia Antipolis, France, konsentrasi keilmuan Analisa Ekonomi Moneter dan Keuangan Domestik-Internasional. \r\nPekerjaan : Dosen tetap pada Fekon dan PPs Unhas dan universitas terkemuka di KTI dan Jakarta. Anggota Badan Supervisi Bank Indonesia (BSBI, Periode 2005-2008 dan 2010-2013). Pernah sebagai konsultan manajemen dan keuangan ADB (LEC Sulsel), Ketua STIM Nitro Makassar, serta Widyaswara di sentra pendidikan BRI Makassar. Pemakalah dalam seminar nasional dan internasional. Menulis 17 buku serta penulis di beberapa harian nasional terkemuka. Pernah melakukan kunjungan kerja profesional ke beberapa Bank Sentral : Inggris (BOE), Belanda (DNB), Perancis (BDF); Jepang (BOJ), New Zealand (RBNZ), dan Amerika Serikat (FED New York dan FED Washington DC.).

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Rakyat Membangun Lembaga Keuangan Mikro (LKM)

28 Februari 2011   14:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:11 1032
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Marsuki

Pengalaman menarik seorang pria desa sederhana di Sumatera Barat bernama Masril Koto dapat dipetik untuk dipelajari dan dipraktikkan oleh masyarakat atau rakyat di Sulsel. Dia telah menjadi pionir dan pelaku langsung yang pantas diacungi jempol dalam upayanya membangun Lembaga Keuangan Rakyat (LKM) yang sudah mendapat penghargaan dari berbagai pihak, dalam dan luar negeri.

Dimulai dengan merasakan sendiri begitu sulitnya para petani desa memperoleh pinjaman dana dari lembaga-lembaga keuangan formal. Padahal, pemerintah dan beberapa pihak perbankan selalu menyampaikan pesatnya kegiatannya dalam berbagai pola membantu pendanaan kebutuhan sektor ekonomi rakyat.Tapi menurut pengakuan Masril, ternyata belum demikian adanya, karena pengalamannya dirasakan jauh api dari panggangnya.

Menyadari kesulitan tersebut akhirnya dia mempatrikan tekadnya mendirikan bank yang khusus akan melayani para petani, utamanya di lingkungannya. Menarik, karena awalnya dapat dikatakan dia tidak mempunyai modal uang, pengetahuan apalagi pengalaman yang cukup untuk itu, selain hanya modal semangat dan kemauan yang keras. Sehingga tentu saja awalnya banyak pihak menjadi heran dan menganggapnya kurang rasional.

Dengan tekadnya yang tak terbendung, awalnya dia berusaha dengan berbagai cara mencari tahu tentang bagaimana persyaratan mendirikan bank tersebut. Di suatu kesempatan dia memperoleh informasi dan pengetahuan secukupnya setelah mengikuti pertemuan yang dilakukan Kantor Bank Indonesia Padang (KBI Padang). Berbagai pertanyaan diajukannya. Dan sementara waktu, dia sadar bahwa jika demikian aturan mainnya maka sepertinya dia tidak mungkin dapat merealisasikan cita-citanya.

Masalahnya, menurut instingnya bahwa suatu waktu niatnya tersebut akan dapat direalisasikannya. Sehingga dalam pertemuan itu dia tetap manfaatkan sebaik mungkin untuk mengetahui berbagai hal mengenai pendirian bank. Dan mungkin karena dia satu-satunya yang paling ngotot mau mengetahui seluk beluk mendirikan bank, maka penyaji materí merasa kasihan sehingga kemudian menjanjikan ingin bertemu dan secara langsung menjelaskan secara detail dan memperlihatkan bagaimana praktik bank tersebut. Mungkin dengan harapan Masril Koto nantinya mau mundur dari niatnya.

Tapi rupanya tidak demikian, justru tekadnya semakin bulat karena dia menganggap bahwa undangan penyaji itu mengindikasikan bahwa dia sepertinya dipercaya. Saat waktu diperjanjikan tiba, pergilah dia ke kantor KBI Padang dan memperoleh pengetahuan lebih detail lagi, sambil melihat praktek perbankan di BI, tapi tentu berbeda dengan praktek pada bank biasanya. Namun itu sudah cukup memberikan inspirasi untuk melaksanakan tekadnya mendirikan bank impiannya.

Beberapa waktu kemudian dia berhasil mengumpul sejumlah uang dari jerih payahnya meyakinkan dan melibatkan beberapa sejawat, tetua kampung dan keluarganya sendiri. Hasil kumpulan uangnya tersebut kemudian disampaikan ke Kepala KBI Padang saat itu, dan jawabannya tentu saja belum memungkinkan. Karena prinsipnya, mendirikan bank bukan hanya persoalan syarat permodalan uang saja, tapi begitu banyak prasyarat yang harus dipenuhi.

Seperti, jelas kelembagaannya secara hukum, kelayakan SDM, keterampilan dan banyak hal lainnya. Apalagi memang jumlah uang yang dikumpulkannya masih sangat jauh dari yang disyaratkan. Tapi rupanya dia belum berputus asa, sehingga kembali membangun asanya dengan berusaha mencari cara lain, karena dia sudah sadar bahwa tampaknya tidak mungkin merealisasikan cita-citanya jika cara-cara formal seperti yang disyaratkan yang diikutinya.

Dengan cara berkonsultasi lebih intens kepada beberapa pihak berkompoten, KBI dan Dinas Pertanian di Padang, akhirnya ditemukanlah solusinya yakni mendirikan lembaga keuangan mikro, serupa koperasi atau union bank, tapi dalam sistem dan prakteknya berbeda. Tapi karena diketahuinya bahwa jika serupa koperasi atau credit union maka jelas rencananya tidak akan berhasil. Sebab kedua jenis lembaga ekonomi rakyat tersebut dianggap masyarakat hanya sebagai lembaga yang akan menguntungkan pengelola dan ketuanya saja, sedangkan anggotanya apalagi rakyat lainnya hanya akan merasakan susahnya.

Oleh karena itu, dia memikirkan bagaimana caranya agar rakyat khususnya petani desanya mau secara sukarela menerima dan mau terlibat bekerjasama, membangun lembaga keuangan yang diimpikannya, sehingga nantinya lembaga keuangan rakyat tersebut dapat dinikmati hasil secara bersama, adil, merata dan terjamin kelangsungannya.

Caranya sederhanya, setiap orang yang mau terlibat utamanya para petani yang memang selama ini bekerja sebagai petani diwajibkan mempunyai saham yang harganya ditetapkan selembarnya Rp100 ribu. Dari saham yang dimiliki para petani investor tersebut, mereka memperoleh hak meminjam dan kebutuhan lainnya dan terutama dapat memperoleh pembagian hasil usaha pada waktu yang ditetapkan.

Ditetapkan bahwa modal usaha bersama tersebut akan dikelola secara profesional, namun dengan prinsip kekeluargaan dan adat istiadat. Syukut begitu banyak pihak petani yang mau terlibat. Keterlibatan mereka rupanya karena sudah ada modal atau investasi sosial yang telah dibangun dan dilakukan Masril Koto selama ini dilingkungan para petani tersebut.

Melalui berbagai bentuk kegiatan yang dilakukannya sehingga telah mendapatkan kepercayaan masyarakat. Seperti kegiatan pelatihan teknis dan manajemen, bimbingan dan bantuan lainnya kepada para petani, baik yang dilakukannya secara sukarela maupun bekerjasama dengan berbagai pihak baik pemeritah maupun pihak lainnya yang bergerak dalam kegiatan pemberdayaan dan pembangunan pertanian rakyat.

Jadi modal sosial yang ditanam sebelumnya mulai berberkah. Kenyataan ini dimanfaatkan dengan baik dan bijaksana oleh Masril dengan mendirikan lembaga keuangan rakyat tersebut, yang diberinya nama sebagai "Bank Pertanian". Sesuai data yang ada di KBI Padang, diperkirakan lembaga-lembaga keuangan berbasis investasi modal rakyat secara bersama itu telah menyebar pesat di seantero Provinsi Sumbar, yang jumlahnya telah mencapai 300 unit usaha, dengan asset telah hampir mencapai Rp. 100 miliar, selama kurang lebih berdirinya baru 4 tahun.

Praktik lembaga tersebut prinsipnya menyerupai bank. Memberi kredit, menerima simpanan dan melakukan kegiatan lainnya, yang terpenting disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat dimana lembaga tersebut berada. Jadi kegiatan usahanya bersifat otonom dan mandiri, sesuai hasil keputusan para investornya sendiri.

Namun demikian, dalam pengelolaannya tetap ada yang mengarahkan dan membimbing dari pihak-pihak tertentu yang disepakati bersama, baik dalam aspek administratif, bisnis dan kemasyarakatan. Mereka berasal dari para anggota investor sendiri dan juga dari lembaga lainnya, seperti KBI dan dinas pertanian Padang khususnya.

Khusus pengelola yang ditunjuk dari anggota sendiri, statusnya hanya sebagai investor bukan pemilik tunggal dan mereka harus petani, dan memperoleh sejumlah honor yang relatif sedikit, karena telah mengorbankan sebahagian waktunya bertani untuk melancarkan usaha organisasi. Yang penting bagi mereka adalah haknya dapat memperoleh pinjaman jika dia butuhkan dan dapat memperoleh sisa bagi hasil usaha yang akan ditetapkan dalam rapat pemegang saham yang waktunya ditetapkan secara bersama yang dilakukan secara kekeluargaan di tempat yang disepakati.

Masril Koto sendiri, statusnya tetap bukan sebagai pemilik tunggal, jadi dia sebagai investor, pengarah, pembimbing, konsultan dan sekaligus tetap sebagai petani. Hal ini dimaksudkan supaya tidak ada vested interest dalam organisasi. Sehingga misalnya jika dibandingkan dengan kasus Gramen Bank di Banglades, sepertinya lembaga keuangan mikro a la Masril Koto ini jauh berbeda, bahkan mungkin lebih baik. Karena Gramen Bank ada pemilik tunggalnya, yakni Prof Yunus, sehingga tentu saja motif untuk kepentingan mencari keuntungan sendiri tetap ada.

Prinsipnya, Bank Pertanian ini aktivitasnya berdasarkan nilai-nilai yang hidup dan dipercaya masyarakat dimana lembaga keuangan mikro tersebut berdiri. Seperti memperhatikan nilai-nilai keagamaan dan budaya, rasa malu, rasa tanggungjawab, kebersamaan dan nilai-nilai sosial dan adat istiadat, prinsip kesederhanaan, serta nilai-nilai lainnya yang dipraktikkan. Dampaknya benar-benar menggembirakan semua pihak baik yang terlibat langsung maupun tidak. Kegiatan-kegiatan lembaga keuangan mikro ini terus berkembang dengan tingkat pencapaian targetyang direncanakan sangat baik.

Seperti, semakin banyak masyarakat petani memperoleh fasilitas pelayanan perbankan walaupun sederhana yang selama ini sulit diperolehnya. Jumlah pengembalian pinjaman yang mencapai lebih 98 persen, itupu terjadi jika ada masalah gangguan alam. Sehingga berarti sekaligus telah membantu pemerintah daerah dan BI khususnya memperdalam praktek keuangan di kalangan petani rakyat (financial inclusion).

Akhirnya, keberhasilan lembaga keuangan milik rakyat tersebut, jelas karena praktek perbankan yang dijalankan menggabungkan prinsip bisnis pada umumnya namun tidak kapitalistis sebab diramu dengan nilai-nilai yang hidup dan dipraktekkan masyarakat itu sendiri atas rasa tanggung jawab bersama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun