Mohon tunggu...
Marsudi Budi Utomo
Marsudi Budi Utomo Mohon Tunggu... Karyawan Swasta -

Seorang Engineer, politisi, pebisnis... atau seorang ayah ???

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Memaknai 50 Tahun Hubungan Jepang-Indonesia

9 Maret 2017   08:29 Diperbarui: 9 Maret 2017   08:45 735
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Peringatan tahun emas hubungan diplomatik Indonesia-Jepang pada 20 Januari 2008 di Jakarta akan dihadiri Pangeran Akishino, putra kedua Kaisar Akihito. Awal perjanjian hubungan diplomatik antara Republik Indonesia dengan negara Jepang ditandatangani oleh kedua menteri luar negeri Aiichiro Fujiyama dan Subandrio di Jakarta 20 Januari 1958. Perjanjian ini sebagai prasasti abadi yang mengakhiri keadaan perang kedua negara selama 13 tahun sebelumnya.

Perjanjian damai ini menuntut kedua negara dan warga negaranya selalu berada dalam keadaan aman secara nyata dan kekal, serta dalam hubungan baik untuk selamanya. Kedua negara mengharapkan kerja sama ekonomi yang lebih erat selaras dengan semangat perjanjian Asia Afrika di Bandung 18-24 April 1955.

Kesepakatan damai ini juga memuat konsekwensi Jepang memberikan ganti rugi kepada RI sebesar USD 223.08 juta, setara dengan 80.3 milyar Yen kurs saat itu. Ini diasumsikan dengan penggantian 1 juta Yen per penduduk Indonesia ditaksir berjumlah sekitar 80 juta jiwa. Angka ini mendekati prediksi R. Murray Thomas di Asian Survey, Vol. 9, No. 7 (July, 1969), bahwa jumlah penduduk Indonesia tahun 1958 adalah 90 Juta jiwa. Ganti rugi ini dilakukan secara bertahap selama 12 tahun dalam bentuk bantuan barang produksi dan asistensi pembangunan.

Kekuatan Soft Power

Joseph S. Nye dari Harvard's Kennedy School of Government di bukunya Soft Power-The Means to Success in World Politics, mengungkapkan soft power sebagai kemampuan mencapai tujuan dengan tindakan atraktif dan menjauhi tindakan koersif. Di tataran hubungan internasional, soft power diawali dengan membangun hubungan kepentingan, asistensi ekonomi, sampai tukar menukar budaya dengan negara lainnya.

Presiden SBY di ASEAN Summit November 2007 lalu juga mengkampanyekan ‘soft power’ untuk membantu penyelesaian Myanmar. Ini karena Myanmar memiliki ciri-ciri yang sama dengan Indonesia yang berada di bawah rejim ‘semi-authoritarian’selama 32 tahun. Selama masa itu gerakan oposisi yang menyuarakan demokrasi ditekan kuat sampai menjelang masa reformasi 1997, sama dengan kondisi Myanmar sekarang di bawah tekanan penguasa Jendral Than Shwe.

Meskipun belakangan soft power menjadi arus global, jauh hari Jepang telah menerapkannya untuk membangun kembali hubungan baik dengan negara-negara bekas jajahan termasuk Indonesia. Jepang menggunakan soft power berupa bantuan ekonomi atau pinjaman lunak untuk memikat hati negara-negara sahabat, lalu dilanjutkan dengan perjanjian bilateral yang mengikat sehingga ketergantungan kepada Jepang meningkat.

Misal, di bidang pendidikan Jepang memberikan beasiswa untuk belajar di universitas-universitas di Jepang. Juga, pembuatan pusat kebudayaan Jepang sebagai sarana infiltrasi budaya. Ini berbeda dengan Amerika yang menerapkan soft power berupa tindakan-tindakan responsif, rhetorical support untuk demokrasi dan HAM, penguasaan opini publik dan kredibilitasnya untuk menguasai percaturan politik dunia.

Memanfaatkan Investasi Industri

Berbeda dengan revolusi industri di Eropa, peristiwa demonstrasi mahasiswa memanfaatkan kunjungan PM Kakuei Tanaka dan kerusuhan sosial anti-modal asing yang berubah menjadi ‘Malari - Malapetaka Lima Belas Januari 1974’ bisa dikatakan awal investasi Jepang ke Indonesia dalam kontek IGGI, CGI, dan pinjaman bilateral. Indonesia banyak memetik manfaat selama 50 tahun hubungan bilateral meskipun Indonesia menjadi obyek soft power Jepang. Bantuan Jepang untuk pembangunan semasa Repelita tidak bisa dipungkiri, meskipun melahirkan konsekwensi pemasokan LNG sampai sekarang.

Penandatangan EPA beberapa waktu lalu merupakan perspektif baru hubungan Indonesia-Jepang. EPA merupakan perjanjian ekonomi yang konprehensif yang memuat kesepakatan pengurangan atau penghapusan tarif impor, meningkatkan kapasitas investasi Jepang di Indonesia dan program-program capacity-building untuk indusri dan SDM.

Dengan teken EPA ini, Mari Pangestu memprediksikan di tahun 2010 volume investasi Jepang akan mencapai 65 milyar US dolar. Angka ini meliputi pembangunan capacity-building di 10 sektor industri meliputi otomotif, elektronik, konstruksi, mesin, fasilitas publik, promosi, makanan, tekstil, UKM, besi dan kimia, dan petrokimia. Di sektor perdagangan Indonesia akan memotong tarif impor lebih dari 10,350 kategori, sementara Jepang akan mengurangi tarif impor untuk 8,350 kategori. Dengan perimbangan seperti ini ekspor Indonesia ke Jepang akan melonjak 14% di tahun pertama dan 4.7% di tahun-tahun berikutnya.

Industri nasional mesti bersiap memetik buah hubungan emas Indonesia-Jepang. Membengkaknya investasi industri PMA Jepang tahun 2008 hendaknya segera ditengarai sebagai peluang memajukan industri dan teknologi (intek) nasional. Pengembangan sentra-sentra industri yang sudah mapan seperti MM2100 dan Jababeka, dan pembuatan sentra-sentra industri baru harus dibarengi dengan pembangunan sarana pendukungnya. Sarana pendukung ini bisa berupa UKM-UKM pendukung sentra industri dan lembaga-lembaga keuangan pendukung UKM-UKM tersebut.

Di satu sisi, kewajiban industri PMA untuk menumbuhkan dan membina UKM-UKM industri untuk pemenuhan 70% kandungan lokal akan memperkecil resiko forex. Di sisi lain, secara perlahan dan bertahap industri nasional akan beralih ke industri riil dengan produk jaminan mutu, serta menyerap tenaga kerja nasional berbasis intek.

Peran Islam Politik

Harus diakui saham pahlawan Islam dalam memperjuangankan kemerdekaan RI melawan pendudukan Jepang. Juga, saham umat Islam dan partai-partai Islam dalam membuka kembali hubungan diplomatik Indonesia-Jepang dan menjaga hubungan baik selama ini. Memang ada perbedaan mencolok aqidah dan ras, tetapi nilai-nilai moral dan adab sopan santun masyarakat Jepang mirip dengan masyarakat Indonesia. Sehingga tak ayal, hubungan budaya kedua negara sangat erat.

Pemerintah Jepang telah melakukan berbagai upaya untuk membangun saling pengertian dan kerjasama melalui bantuan bagi kegiatan-kegiatan ke-Islam-an. Antara lain melakukan kunjungan ke sejumlah pondok pesantren dan mengundang para cendikiawan Islam dan calon-calon pemimpin muslim masa depan untuk kunjungan kerja ke Jepang. Juga upaya-upaya penguatan sains dan teknologi di pesantren-pesantren daerah.

Dalam bidang politik, pemerintah Jepang juga melakukan pendekatan kepada parpol-parpol Islam, khususnya PKS sebagai partai Islam fenomenal. Sebagai timbal balik, PKS menempatkan kadernya di Pusat Informasi dan Pelayanan Partai Keadilan Sejahtera (PIP PKS) di Jepang.

PIP PKS Jepang ini sebagai wadah kader dan simpatisan PKS yang memberikan informasi kiprah PKS kepada konstituen di luar negeri, melakukan komunikasi sosial dan diplomasi politik dengan masyarakat Jepang, parpol, LSM dan lembaga-lembaga resmi di Jepang. Ini untuk menunjukkan kepada Jepang bahwa PKS sebagai brand image umat Islam Indonesia tidak kaku dan bukan sosok menakutkan dalam mengusung Islam di kancah politik nasional dan diplomasi internasional.

Tayang ulang opini media tahun 2008 oleh Marsudi Budi Utomo 

https://www.facebook.com/marsudibu/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun