Google Balloon dalam Project Loon, menerbangkan balon di ketinggian 20 ribu km di lapisan stratosfer di atas wilayah RI. Loon ini menjadi BTS angkasa yang dapat menjadi komplemen dari BTS darat. Cakupannya bisa lebih dari 20 kali dibanding BTS darat, memancarkan koneksi internet 4G LTE ke permukaan dengan jangkauan 40 km dari tempat balon tersebut berada, sehingga mampu menyebarkan internet di daerah-daerah terpencil.
Secara teknologi, kemanfaatan Loon ini tidak diragukan lagi. Akan tetapi, perlu dicermati persoalan yang timbul yaitu siapa yang memanfaatkan teknologi itu, Indonesia ataukah negara lain? Loon yang mengudara di wilayah RI, apakah sebatas trial BTS angkasa untuk menguji kelayakan atau stabilitas layanannya, ataukah ada agenda lain. Lalu, apakah keberadaannya mendukung kepentingan nasional Indonesia dari perspektif Ipoleksosbud-hankamnas ?
Kerja sama Operator dan OTT
Google telah melakukan kerja-sama dengan operator seluler Indonesia yaitu Telkomsel, Indosat, dan XL Axiata untuk berbagi spektrum seluler di 900 MHz. Meskipun tidak ada dalam RPJMN, namun masih bisa dipahami pemaksaan keinginan Presiden Jokowi dengan Loon ini yaitu untuk persebaran konektivitas internet ke wilayah terpencil dengan dampak ekonomi yang lebih cepat.
Akan tetapi, kerja sama yang digesa tersebut tetap harus memenuhi sisi legalitas apalagi dilakukan oleh perusahaan asing.Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi sangat jelas menyebutkan, penyelenggara jaringan dan jasa telekomunikasi adalah perusahaan berbadan hukum yang berdiri di Indonesia, antara lain BUMN dan BUMS.
Peraturan teknis mengenai bisnis perusahaan telekomunikasi seluler itu tercantum pada Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi dan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2003 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit.
Sebagai pebisnis data terbesar di dunia melalui akses data (Gmail, Dropbox, Google Street, Google Earth), bisnis Google dalam Project Loon itu harus dicermati dari dua sisi; Â bisnis OTT (Over-the Top), dan bisnis sampingan yaitu informasi tentang kandungan mineral di wilayah RI.
Google sebagai perusahaan asing pemain OTT harus segera digesa untuk berbentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia melalui peraturan pemerintah misal dalam bentuk peraturan penyelenggara sistem elektronik. Peraturan ini melengkapi yang belum diatur dalam PP No. 82/2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik dan Permen Kominfo No. 21/2013 tentang Konten Seluler dan FWA. Peraturan ini akan mengharuskan OTT untuk mendirikan perusahaan, joint venture, atau kerjasama dengan operator, sehingga pemerintah dapat menerima masukan pajak baik iklan dan PPN. Sebagai gambaran, bisnis OTT bisa mengangkangi lebih 80 persen aplikasi di ponsel dan menguasai revenue hampir 90 persen dari total bisnis operator.
BUT untuk Google ini sejalan dengan statemen Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro di kantor DJP, Jakarta pada Rabu (06/04), bahwa di bisnis digital economy di negara-negara G20 harus ikut memberikan manfaat bagi tuan rumah, termasuk kewajiban bayar pajak di Indonesia.
Keterlibatan regulator ini juga bertujuan menjamin keamanan dan kualitas layanan serta privasi bagi pengguna sehingga konten OTT terkendali dan pengguna di tanah air terfilter dari konten yang tidak sesuai dengan akar budaya bangsa.
Legal geospatial
Bagaimana legalitas geospatial Loon di kawasan udara RI? Di era wireless-sensor-network (WSN), apapun bisa dijejaringkan dan apapun bisa menjadi data penting yang bisa didapat dari beragam sensor dalam suatu wireless-device. Maka, baloon yang membawa BTS angkasa itu tidak hanya bisa melayani rakyat di wilayah terpencil untuk mengakses internet, tetapi bisa juga dipakai untuk menerima pancaran informasi dari ratusan devices yang memuat beragam sensor mineral yang bisa disebar untuk kurun waktu tertentu.
UU nomor 4 tahun 2011 tentang Informasi Geospasial mengatur bahwa pengumpulan data geospasial harus memperoleh izin apabila dilakukan di daerah terlarang RI karena berpotensi menimbulkan bahaya; atau menggunakan wahana milik asing selain satelit.
Juga Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 2014 yang mengatur pelaksanaan UU data geospatial itu menyebutkan kegiatan pengumpulan data geospatial yang menggunakan wahana milik asing selain satelit meliputi wahana darat, air wahana udara milik asing harus mendapatkan ijin menteri. Dalam hal kegiatan pengumpulan data geospatial yang berkaitan dengan kegiatan penelitian dan pengembangan oleh orang asing, mekanisme izin dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Jadi, jika Google Balloon itu dapat diidentifikasi sebagai "wahana milik asing", maka perlu perizinan seperti diatur di atas. Apalagi jika yang diambil foto udaranya mencakup "daerah terlarang", diantaranya kawasan terkait pertahanan dan keamanan.
Oleh Marsudi B. Utomo, Ketua Departemen Tekno Industri dan Energi Ekuinteklh DPP PKS
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H