Dalam rangka untuk memperkuat pijakan hukum dan asas manfaat pembangunan perkeretaapian nasional, Departemen Techno Industri dan Energi DPP PKS melakukan kajian dengan telaah aspek legalisas (UU), sinkronisasi program pembangunan MP3EI Master Plan Kereta Api Nasional, skema pembiayaan dan key issue terkait rencana pembangunan kereta cepat (HST) rute Jakarta – Walini – Badung.
Kebijakan pembangunan perkeretaapian di Indonesia didasarkan pada UU NO. 23/2007 tentang Kereta Api, PP No. 56/2009 tentang Penyelenggaraan Perkeretaapian, PP No. 72/2009 tentang Lalu Lintas dan Transportasi Kereta Api, Permen Perhubungan no 91/2011 tentang Kereta Api Khusus, Permen Perhubungan no 43/2011 Master Plan Kereta Api Nasional, dan terkini, Peraturan Presiden (Perpres) RI No. 107 Tahun 2015 tentang percepatan penyelenggaraan prasaranan dan sarana kereta cepat antara Jakarta dan Bandung.
Dalam Rencana Kebutuhan Prasarana Perkeretaapian Nasional sampai tahun 2030, Pembangunan kereta cepat (HST) masuk ke dalam Rencana Jaringan jalur kereta api di Pulau Jawa, namun pada prioritas ke-6 dari 12 prioritas jalur, yaitu “Pengembangan jaringan dan layanan kereta api cepat (High Speed Train) pada lintas : Merak - Jakarta - Cirebon - Semarang - Surabaya - Banyuwangi.”
Dalam rencana induk perkeretaapin disebutkan mengenai Rencana Investasi Prasarana Perkeretaapian dalam bentuk “Pengembangan pola dan mekanisme pembiayaanl investasi melalui pola Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS)”. Untuk mendorong keterlibatan swasta secara bertahap dan proporsional, perlu dilakukan fragmentasi lingkup pekerjaan sesuai dengan kemampuan pendanaan swasta. Strategi fragmentasi tersebut sangat dibutuhkan untuk menentukan skala investasi (besar dan sedang) sehingga peran swasta dapat menjadi lebih luas.
Aspek Legal
Pasal 13 UU No 23 tahun 2007 tentang Perkeretapian menyebutkan bahwa Perkeretaapian dikuasai oleh Negara dan pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah, dengan skema yang lazim adalah Kerja Sama Pemerintah – Swasta. Maka, pembangunan infrasturktur kereta api dengan skema Business to Business (B to B) adalah tidak lazim sehingga kemungkinan menyalahi UU.
Akan tetapi, Presiden mengeluarkan Perpres no 107/2015untuk pembangunan kereta cepat HST Jakarta – Bandung, dengan pembiayaan konsorsium dari empat BUMN (PT Wijaya Karya (Persero) Tbk, PT Kereta Api Indonesia (Persero), PT Jasa Marga (Persero) Tbk, PT Perkebunan Nusantara VIII;) dan pihak swasta asing. Keabsahan Perpres ini, perlu Judicial Review lebih mendalam, di luar skup kajian ini.
Dalam Rencana Induk perkeretaapian, dalam Rencana Jaringan jalur kereta api di Pulau Jawa tahun 2030 pada prioritas ke-6 dari 12 prioritas jalur Pengembangan jaringan dan layanan kereta api cepat (High Speed Train) pada lintas : Merak - Jakarta - Cirebon - Semarang - Surabaya – Banyuwangi, pembangunan kereta cepat HST Jakarta Bandung adalah sebagian dari rute Merak-Banyuwangi. Maka, proyek pembangunan HST harus dikembalikan kepada Rencana Induk perkeretaapian, sehingga tidak dipotong hanya untuk rute Jakarta – Walini - Badung. Hal ini terkait dengan konektifitas dan kompatibilitas dengan rute Merak-Banyuwangi tersebut.
Dari kajian legalitas, bisa disimpulkan bahwa proyek pembangunan HST rute Jakarta – Walini - Badung ini di luar atau tidak mengacu kepada Rencana Induk Perkeretaapian, murni keputusan pemerintah dalam hal ini kementrian BUMN berdasarkan Perpres No. 107/2015, pendekatan bisnis dengan skema pembiayaan B to B, dasar legalitas tidak kuat karena mengesampingkan UU NO. 23/2007 tentang Kereta Api.
Aspek Finansial
Dalam Rencana Induk perkeretaapian, skema yang ditetapkan adalah keterlibatan swasta dalam investasi penyelenggaraan perkeretaapian melalui pola Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS), antara lain Design Bid Build, Private Contract, Design Build, Build-Operate-Transfer (BOT), Long Term Lease Agreement, Design Build Finance Operate (DBFO), Build-Own-Operate (BOO).
Feasibility Study oleh JICA Jepang pada Januari 2014 - Mei 2015 mengusulkan tiga skema pendanaan BOT with AF (Build-Operate-Transfer with Availability Fee), Consession Scheme with government support, dan DBL (Design Build Lease). Skema pembiayaan B to B, antara China Railway Corporation (CRC) bersama konsorsium empat BUMN, tidak ada kajian ekonomi yang kuat, tidak ada studi kelayakan sehingga risikonya sangat tinggi karena berpotensi tidak dapat ditanggung oleh kemampuan keuangan empat BUMN tersebut.
Proyek senilai 78 T Rupiah ini, jika, dengan 75% pinjaman sejumlah Rp. 58.5 T dalam bentuk mata uang Yuan dan US$ dari CDB (China Development Bank), dan penyertaan 25% dari 4 BUMN sebesar Rp. 19.5 T, dengan komposisi saham konsorsium keempat BUMN PT Wijaya Karya 38%, PT Jasa Marga 12%, PTPN VIII 25%, dan PT KAI 25%, maka PT Wijaya Karya harus menanggung modal Rp 7,41 triliun, Jasa Marga Rp 2,34 triliun, PTPN VIII dan PT KAI masing-masing Rp. 4,875 triliun. Jika total ekuitas keempat BUMN tersebut PT. KAI Rp. 1.2 T, PT. WIKA Rp 5 T, PT. Jasa Marga Rp 11.4 T, PTPN VII Rp. 2 T, maka tidak sanggup memenuhi kemampuan pembiayaan konsorsium 25% tanpa penyertanan modal negara (PMN), sehingga sulit untuk dipahami bahwa CDB mau membiayai proyek yang jauh lebih besar dari ekuitas 4 BUMN tersebut.
Risiko yang akan datang adalah kemungkinan akuisisi 4 BUMN atau bank penanggung (Bank Mandiri, BNI dan BRI) oleh pihak China, atau penyertaan pertanggungjawaban pendanaan dari APBN sebagai PMN.
Kesimpulan dari sisi financial, Proyek HST rute Jakarta – Walini - Badung ini beresiko tinggi dengan skema B to B, karena ketidakmampuan ekuitas konsorium BUMN, tanpa penyertaan pembiayaan dari PMN atau APBN, atau penyertaan BUMN yang lainnya.
Aspek Teknologi:
Struktur geografis HST rute Jakarta – Walini - Badung naik secara gradual dengan perbedaan tinggi sekitar 700 mdpl, dan kontur pegunungan/perbukitan. Struktur geografis tersebut menuntut penggunaan terowongan untuk mempersingkat jarak dan membuat jalur HST lurus dan tidak berkelok, sehingga kecepatan maksimum (300 km/jam) bisa dipertahankan sesuai spek yang ditawarkan CRC. Akan tetapi, China belum memiliki kematangan dalam teknologi tunnel, sehingga tidak memungkinkan pemanfaatan HST (300 km/jam) rute Jakarta – Walini - Badung.
Keterbatasan teknologi ini akan mengalihkan proyek HST ke proyek MST (Middle Speed Train), kemungkinan jalur MST mengambil sejajar dengan jalur KAI yang ada, berupa jalur berkelok-kelok. Apabila proyek HST beruah menjadi proyek MST rute Jakarta – Walini – Badung, maka ini tidak memiliki dasar legalitas maupun kesesuaian dengan Rencana Induk Perkeretaapian.
Impact teknologi HST atau MST dari China ini tidak secara langsung didapatkan kerena produk kereta utuh didatangkan dari China tanpa penyertaan tenaga ahli Indonesia dalam proses design dan manufacture-nya. Agar bisa alih teknologi, meskipun jangka panjang sampai tahun 2030 sesuai Rencana Induk Perkertaapian, maka perlu memasukkan klausul penyertaan tenaga ahli Indonesia dalam proyek HST atau MST ini.
Efek Ekonomi dan tenaga kerja
Prediksi, GDP Indonesia akan meningkat dengan pembangunan HST ini, dan akan menumbuhkan poros ekonomi Jakarta-Bandung. Sebagai asumsi, Pemerintah Cina membangun kereta cepat mulai 2003, GDP Cina sebesar US$ 1.000. Setelah kereta cepat selesai pada 2015, GDP Cina mencapai US$ 7.000. Meskipun perlu kajian lanjut, efek ekonomi kemungkinan hanya akan terlihat di 8 kota stasiun kereta, GDP Indonesia hari ini sebesar US$ 3.531 akan meningkat setelah HST rute Jakarta – Walini – Badung ini jadi di awal 2019 nanti. Diperkirakan akan menyerap 40.000 tenaga kerja selama 3 tahun proyek, di bidang, konstruksi, infrastruktur, logistik, dan lainnya.
DR. Marsudi Budi Utomo, Ketua Departemen Techno Industri dan Energi DPP PKS (24.11.2015)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H