"Tangan adalah apa yang sering kita andalkan dalam setiap kegiatan. Meski hanya kehilangan salah satu dari keduanya, tetap saja terasa berat. Ini merubah dunia saya," kata mantan wartawan Nabila Humaira.
Usia Nabila 25 tahun saat tragedi naas itu terjadi. Nabila harus mempelajari semuanya dari awal, bahkan dari hal-hal sederhana. Mulai dari cara makan, menulis, mengendarai motor, dan aktivitas lain yang kini tak bisa dilakukannya dengan tangan kanan yang dulu selalu ia andalkan. Dari kecelakaan dua tahun, Â hanya tangan kiri yang tersisa dari kedua tangannya yang sama-sama cedera.
Hilangnya tangan kanan Nabila terjadi pada April 2018, saat pulang bekerja.
Nabila melihat sorot lampu mobil yang tiba-tiba menyilaukan matanya. Padangannya kabur dan dalam rintik hujan itu tiba-tiba ia ditabrak dari sisi kiri depan, lantas terpental ke badan jalan. Tindakan amputasi diambil karena adanya trauma akibat patah tulang yang parah pada lengan kanan Nabila.
"Memang tidak mudah menerima kondisi ini pada awalnya, tapi yang terjadi adalah nyata dan yang bisa saya lakukan hanya membiasakan diri."
Butuh waktu cukup lama bagi Nabila untuk bisa menjalani hidupnya dengan normal kembali. Sekitar lima bulan mengurung dan mengunci dirinya dari kehidupan luar, akhirnya Nabila memberanikan diri untuk keluar dari rumahnya. Sempat ia bingung bagaimana harus bersikap ke depannya, apa masih ada yang bisa ia lakukan dengan ketidaksempurnaannya?
Salah satu keberuntungnya adalah ketika Nabila menemukan Mitra Difabel, sebuah yayasan yang bergerak bersama dengan tujuan meningkatkan ketrampilan penyandangan disabilitas. Dimana selama ini tak semuanya memiliki kesempatan yang sama untuk bekerja. Manusia kerap menutup sebelah mata pada keberadaan penyandang difabel dan menyangsikan keahlian yang dimiliki.
Bersama Mitra Difabel, Nabila ikut andil dan menorehkan peran-perannya demi mendobrak batasan-batasan yang menghalangi penyandang disablitas untuk berkarya dengan memberdayakan kaum difabel sebagai mitra.
"Dari sini saya belajar, satu yang pasti adalah kami ini bukan butuh dikasihani, tapi kami butuh diberi kesempatan yang sama," kata Nabila. Dari Mitra Difabel ini pula Nabila mendapat banyak dukungan moral dan suntikan semangat untuk melanjutkan kehidupan dengan "cara baru".
Seiring berjalannya waktu, bukan sekedar berbagai semangat melainkan transfer ilmu dan sharing-sharing mulai intensif dilakukan. Nabila dengan pengalamannya dalam dunia jurnalistik sering melatih teman-teman di Mitra Difabel untuk menulis.
Penyandang difabel atau bukan, Nabila adalah seorang gadis mandiri. Nabila menjadi tulang punggung keluarga diusianya yang masih terbilang muda. Sepeninggal Sang Ayah, Nabila yang bekerja untuk menghidupi dirinya, ibunya, dan adik lelakinya yang masih mengenyam pendidikan di bangku SMA . "Sejak peristiwa itu Ibu jadi harus bekerja lagi, saya tidak bisa hanya diam dan membiarkan Ibu bekerja sendirian," kata Nabila.