Mohon tunggu...
marsigit marsigit
marsigit marsigit Mohon Tunggu... Dosen - Sharing Neutral and Objective Ideas

Peduli Pendidikan Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Peradaban Dunia

9 November 2015   08:54 Diperbarui: 9 November 2015   10:03 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Yang namanya logika, pikiran itu konsisten didalam filsafat disebut analitik. Analitik berarti yang penting konsisten dalam satu hal menuju ke hal yang lain. Sehingga yang disebut analitik dan konsisten tersebut membutuhkan aturan atau postulat. Untuk yang mempunyai aksioma atau yang mempunyai postulat adalah subyeknya atau dewanya, misalnya seorang kakak membuat aturan untuk adiknya, ketua membuat aturan pada anggotanya, dosen membuat aturan untuk mahasiswanya. Sedangkan yang di bawah atau yang berubah itu bersifat sintetik punya sebab dan akibat. Yang diatas yang bersifat tetap atau konsisten itu bersifat analititk, dan juga bersifat a priori yaitu bisa dipikirkan walaupun belum melihat bendanya.

Yang dibawah berupa pengalaman itu adalah a posteriori, contohnya dokter hewan yang harus memegang sapi untuk bisa mengetahui mengetahui penyakit yang diderita si sapi tersebut, jadi a posteriori itu adalah paham setelah melihat bendanya. Sedangkan a priori, misalnya dokter yang membuka prakter pengobatan lewat radio, ketika menangani pasien, dokter tersebut mendengarkan keluhan-keluhan dari si pasien lewat radio, hanya dengan mendengarkan tanpa melihat, dokter tersebut sudah bisa membuat resep yang didasari oleh konsistensi antara teori satu dengan teori yang lain.

Maka Immanuel Kant mencoba mendamaikan perdebatan yang terjadi antara empirisme dan rasinalisme. Descartes dan pengikutnya berkata tiadalah ilmu jika tanpa pikiran, sedangkan David Hume berkata tiadalah ilmu jika tidak berdasarkan pengalaman. Lalu Immanuel Kant mengatakan bahwa antara Descartes dan David Hume itu keduanya benar dan juga keduanya salah. Dalam apa yang disebutkan oleh David Hume terdiri unsur kesombongan karena mendewa-dewakan pengalaman. Sedangkan dalam apa yang dikatakan Descartes itu terdapat kelemahan yaitu terlalu mendewa-dewakan pikiran dan mengabaikan pengalaman. Maka unsur daripada pikiran adalah analitik a priori, dan unsur daripada pengalaman adalah sintetik a posteriori. Ambil sintetiknya, ambil a priorinya, maka sebenar-benarnya ilmu itu bersifat sintetik a priori, ya dipikirkan dan juga dicoba.

Jadi jika analitik a priori itu dunianya orang dewasa atau dunianya dewa, sedangkan sintetik a posteriori itu adalah dunianya anak-anak. Maka dewa itu mengetahui banyak hal tentang anak-anak, dan anak-anak hanya mengetahui sedikit tentang dewa. Jadi mendidik anak itu harus bisa melepaskan kedewasaannya, karena kalau tidak dilepaskan itu akan menakut-nakuti anak tersebut. Dewa jika turun ke bumi akan menjelma menjadi manusia dewasa. Guru digambarkan seorang dewa yang turun ke bumi menjelma menjadi manusia dewasa, itulah gambarannya seorang guru.

Jika kita sebagai guru SD maka pikiran kita juga harus menjelma menjadi pikiran anak-anak, kalau tidak maka gambarannya akan seperti gunung meletus yang mengeluarkan lava, yang tinggal dilembah gunung itu adalah anak-anak, sedangkan guru atau orang dewasa itu bagaikan lava yang turun dari atas dan panasnya bukan main. Maka ketika mengajarkan matematika pada anak itu berikan contohnya, karena definisi bagi anak kecil itu berupa contoh, sedangkan matematika bagi orang dewasa itu adalah definisi, teorema dan bukti.

Akhirnya filsafat dalam perjalanannya seperti yang disebutkan diatas, maka lahirlah dalam sifat yang tetap dan konsisten itu berupa ilmu-ilmu dasar dan murni, sedangkan dalam sifat yang berubah itu berupa sosial, budaya, ilmu humaniora. Maka sampai disitulah bertemu yang namanya bendungan Compte. Dari sinilah SEGALA MACAM PERSOALAN DUNIA sekarang ini muncul, yaitu dengan munculnya Fenomena Compte sekitar 2(dua) abad yang lalu. Fenomena Compte ditandai dengan lahirnya pemikiran August Compte seorang mahasiswa teknik (drop out) tapi pikirannya berisi tentang filsafat.

Compte berpendapat bahwa agama saja tidak bisa untuk membangun dunia, karena agama itu bersifat irrasional dan tidak logis. Maka diatasnya agama atau spiritual itu adalah filsafat, dan diatasnya filsafat itu ada metode Positive atau saintifik. Positive atau saintifik itulah yang digunakan untuk membangun dunia, maka lahirlah aliran positifisme. Jadi di Indonesia Kurikulum 2013 dengan metode Saintifiknya itu asal mulanya dari pikiran Compte yang berupa positivisme tadi. Jadi metode saintifik dalam kurikulum itu adalah ketidakberdayaan Indonesia bergaul dengan Power Now. Sumber persoalan/permasalahan segala macam kehidupan manusia di dunia sekarang ini adalah berawal mula dari dimarginalkannya Agama oleh Auguste Compte yang dianggap tidak mampu digunakan sebagai pijakan untuk membangun Dunia. Itulah sebenar-benar yang disebut sebagai Fenomena Compte.

Dari kesemua aspek Fenomena Compte, yang didukung oleh ilmu dasar sehingga menghasilkan teknologi, sehingga menjadi paradigma alternatif, kenapa? Fenomena Compte dengan didukung dengan pengembangan Ilmu-ilmu dasar dan teknologi, telah menghasilkan Peradaban Barat dengan era industrialisasinya. Hingga jaman sekarang kontemporer, dunia dikuasai oleh segala aspek industrialisasi dan teknologi. Itulah-sebenar-benar fenomena Kontemporer atau Power Now yang mengusasi setap jengkal dan setiap desah napas kehidupan kita tanpa kecuali di seluruh dunia mulai dari anak-anak, orang dewasa, laki-perempuan, …dst. Dunia Timur yang lebih mengandalkan metode Humaniora, ditengah pergulatan dari dalam dirinya sendiri, TIDAK MENYADARI BAHWA FENOMENA COMPTE TELAH MENJELMA MENJADI POWER NOW, yang disokong pilar-pilar Kapitalisme, Liberalisme, Hedonisme, Pragmatisme, Materialisme, Utilitarianisme, …dst.

Sementara itu Indonesia, di mana letak geografis dan perikehidupan berbangsa dan bermasyarakat berasal dari Dunia Timur yang lebih mengedepankan aspek-aspek humaniora dengan Strukturnya Dunia Timur yang terdiri dari/dimulai dari Material paling bawah, Formal di atasnya, Normatif diatasnya lagi, dan Spiritual yang menjiwai, mendasari dan melingkupi seluruhnya. Itu merupakan cita-cita Indonesia sesuai dengan dasar negaranya yaitu Pancasila, dimana Pancasila itu filsafat negara yg bersifat Monodualis, mono karena Esa Tuhannya, dualis yaitu aku dengan masyarakatku, jadi vertikal dan horisontal, itulah cita-cita kita semua sebagai warga negara Indonesia. Dalam perjuangan membangun struktur kehidupan Indonesia yang demikian tadi, ternyata kita menjumpai fenomena ontologis yaitu Fenomena Compte.

Secara filsafat, Fenomena Compte dapat dipahamai dari 2(dua) sisi, yaitu secara macro dan micro. Secara macro, Fenomena Compte sesuai dengan yang ditulis oleh Auguste Compte dalam bukunya POSITIVESME. Secara micro, maka setiap hari kita sendiri-sendiri atau bersama-sama atau secara kelembagaan/negara selalu mengalami Fenomena Compte. Contoh micronya adalah jika seseorang memutuskan untuk membeli produk baru, misal Hand Phone canggih, tetapi kemudian timbul masalah dalam dirinya, atau keluarganya, atau mungkin keluarganya menjadi berantakan gara-gara produk baru, maka itulah yang disebut sebagai micronya Fenomena Compte. Seorang mahasiswa yang membeli komputer baru sehingga melupakan kewajiban ibadah Shalatnya maka dia sudah terkena Fenomena Compte.

Maka kita belajar filsafat itu bagaikan seekor ikan dilaut yang airnya terkena polusi berupa kontemporer (kekinian). Pada jaman Kontemporer ini sudah banyak ikan-ikan kecil di laut yang mati terkena limbahnya kehidupan Power Now. Banyak juga makhluk hidup yang mengalami perubahan genetika/mutasi gen, misal TKI muda yang pergi ke Luar Negeri, setelah kembali dia sudah berubah semuanya, dunia dan akhiratnya. Itulah salah satu dampak mikro fenomena Compte.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun