Apapapun objeknya, dalam pendekatan Saintifik yang sintaknya sesuai dengan yang tercantum pada Kurikulum 2013, persoalan selanjutnya adalah menjawab apa yang diamati? Bagaimana mengamatinya? Dan apa hasil pengamatannya? Ontologi pengamatan/observasi termasuk dalam ranah Fenomenologi Husserl, yang terdiri dari 2(dua) komponen utama yaitu: Abstraksi dan Idealisasi. Abstraksi mengandung arti mengambil/mengobservasi/memandang sebagian saja sifat yang ada dari Objek pengamatannya.
Setiap Objek pengamatan mempunyai beribu-ribu sifat namun, untuk Matematika misalnya, sifat Kubus yang diamati adalah perihal bentuk, ukuran dan banyaknya sisi, rusuk dan sudut. Sifat-sifat bahan terbuat dari materi tertentu, keindahan, kualitas, harga dst tidaklah termasuk ranah yang diobservasi. Sifat yang diabaikan (tidak perlu diperhatikan) kemudian disimpan ditempat yang disebut sebagai Epoche. Sedangkan Idealisasi adalah menganggap sempurna sifat yang ada, misal bahwa terdapat sudut lancip, maka yang dimaksud adalah lancip sempurna; tidak dalam kondisi agak lancip, kurang lancip, dst.
Kegiatan observasi diawali dengan (tingkat) Kesadaran akan objek yang akan diobservasi sehingga observer mempunyai daya sensibilitas observasi. Daya sensibilitas observasi ini penting untuk menghasilkan Representasi dari objek teramati yang berupa Persepsi objek teramati. Pada tahap ini, pengalaman mengobservasi yang diperoleh (Logika Pengalaman) tidak dapat bekerja/berdiri sendiri tanpa bantuan Logika Pikir, yaitu dengan hadirnya kemampuan Imajinasi dengan cara sintesis, sehingga gabungan antara pengalaman mengobservasi dan imajinasi menghasilkan Pengetahuan Pikir dan Sensasi Pengalaman.
Mengapa? Dia dikatakan Pengetahuan Pikir jika sesuai dengan Aksioma atau Postulat Pikir. Dan dikatakan Sensasi Pengalaman jika sesuai dengan Hukum Sebab-Akibat dan Hubungan antar Satuan Pengalaman. Aksioma/Postulat Pikir dan Satuan Pengalaman tersebut berdomisili di dalam Kategori Berpikir (I Kant) yang terbawa sejak lahir sebagai Fatal dan Vital, dan terdiri dari Forma dan Substansi; dan bersifat intuitif (hasil berpikir dan pengalaman). Interaksi antara Pengetahuan Pikir dan Sensasi Pengalaman tersebut itulah yang kemudian disebut sebagai Ilmu (Pengetahuan), yang bersifat sintetik a priori. Sintetik sensasinya, dan a priori pikirannya.
Secara ontologis, yang dimaksud kegiatan “mengasosiasi” pada pendekatan Saintifik adalah mencari Postulat-postulat Pikir mana yang bersesuaian dengan Sensasi Pengalamannya. Itulah kesulitan yang dialami oleh para observer, termasuk observer dewasa apalagi observer anak-anak. Kesesuaian antara postulat-postulat pikir dan sensasi-sensasi pengalaman, menghasilkan apa yang disebut sebagai Konsep (orang awam mengatakan sebagai Pengertian).
Apapun dari setiap Konsep, maka terdiri dari Forma (wadah) dan Sibstansi (Isi). Formanya berupa Kategori Berpikir dan Substansinya berupa Sensasi Pengalaman. Kategori Berpikir merupakan genus (unsur dasar) yang dengan kegiatan berpikir dan sensasinya akan menemukan postulat-postulat berpikir selanjutnya secara berkhirarkhi dan kompleks. Maka secara ontologis, dengan sintak-sintak pendekatan Saintifik diharapkan Subjek Belajar akan mampu menemukan, memperkokoh dan mengembangkan Kategori Berpikir sebagai unsur dasar setiap Ilmu (Pengetahuannya), yang dituntun secara konsisten, rigor, analitik, logik, formal, abstrak, identitas, a priori, dan tautologi oleh Postulat-postulat Umumnya, yang telah diakui kebenarannya secara koheren oleh komunitas keilmuannya; serta dilandasi secara kokoh oleh Sensasi Pengalamannya, dengan kesadaran bahwa Sensasi Pengalamannya tersebut bersifat sintetik a posteriori.
Dengan berkembangnya secara intensif dan ekstensif Kategori Berpikir akan diperoleh Struktur Pengetahuan yang kemudian disebut sebagai Ilmu Pengetahuan. Dengan Ilmu Pengetahuan yang telah berhasil dibangunnya itu maka seseorang akan memperoleh nilai-nilai kebijakannya, antara lain adalah mengambil Keputusan/Judgment (sekarang disebut Evaluasi-tahap akhir taksonomi Bloom) secara tepat dan bijaksana. Secara ontologis, kegiatan belajar seseorang dapat dikatakan sebagai menembus Ruang dan Waktu. Sebenar-benar orang cerdas adalah jika mampu menembus dan berada dalam Ruang dan Waktu yang benar (Jawa: sopan santun).
Yogyakarta, Nopember 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H