Mohon tunggu...
Marsha Ranti
Marsha Ranti Mohon Tunggu... -

sederhana

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Insiden UI: Kartu Kuning terhadap Jokowi atau Mahasiswa?

9 Februari 2018   10:34 Diperbarui: 9 Februari 2018   10:55 493
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada hari Rabu, 7 Februari 2018, acara Mata Najwa menayangkan diskusi terkait dengan insiden pemberian kartu kuning kepada Presiden Joko Widodo oleh ketua BEM UI, Zaadit Taqwa. Dalam acara tersebut, hadir pula perwakilan dari universitas IPB, ITB, Trisakti dan UGM, serta Adian Napitupulu, Bapak Moeldoko, Bapak M. Nasir, Desmond J. Mahesa, dan Ahmad Yoan. Begitu banyak penonton yang langsung memberikan opininya di media sosial tak lama setelah acara tersebut selesai.

Kebanyakan dari opini tersebut menyinggung masalah perwakilan UGM yang "menjuarai" orasi pembuka, atau mengenai kekecewaan netizen melihat beberapa pihak tidak mengetahui sejarah ABRI, atau betapa gagahnya Bapak Moeldoko saat memberikan penjelasan. Yang pasti saya sungguh terhibur dengan acara Mata Najwa tersebut.

Terlepas dari menghibur atau tidaknya acara tersebut, saya ingin menyinggung beberapa hal yang menggelitik pemikiran saya. Ketika melihat para perwakilan mahasiswa tersebut, saya tidak bisa tidak tertawa. Saya tertawa karena saya melihat betapa dangkalnya nalar mahasiswa tersebut dalam memberikan kritik.

Dangkal? Iya, dangkal. Dangkal karena mahasiswa-mahasiswa tersebut hanya mampu melihat suatu permasalahan sebatas permukaan air saja. Ini menyedihkan karena mereka ini "mahasiswa", ada kata "maha" di depan siswa yang berarti mereka ini diharapkan mampu menganalisa permasalahn, bukan hanya melihat saja.

Pada saat membahas masalah KLB di pedalaman Asmat, terlihat betul bahwa perwakilan mahasiswa tersebut tidak memiliki data yang lengkap. Lho?tidak punya data kok berani mengkritik?kalau sidang skripsi itu sudah pasti terkencing-kencing menghadapi pertanyaan dosen penguji dan bisa dipastikan gagal.

Ketidaksiapan para mahasiswa ini jelas terlihat saat Bapak Moeldoko berdiri dan menyampaikan rincian prestasi Presiden Jokowi berdasarkan data. Setelah Bapak Moeldoko menyampaikan data tersebut, reaksi para mahasiswa ini hanya datar membisu. Kenapa?karena mereka tidak mempunyai data untuk membalasnya.

Para mahasiswa harus sadar betul betapa pentingnya data itu. Pada saat perwakilan UI mengatakan bahwa hanya dengan membaca di media saja mereka sudah memiliki gambaran akan kondisi di pedalaman Asmat, jujur saja saya tertawa terbahak-bahak. Kamu ini sadar tidak kalau dalam menyusun skripsi saja, sumber dari media itu tidak diakui.

Hanya artikel-artikel yang telah diakui oleh lembaga yang memiliki kredibilitas saja yang dapat digunakan. Ini sungguh menyedihkan melihat betapa nalar mahasiswa begitu tumpul sampai-sampai hanya menggantungkan pemberitaan dari media sebagai landasan kritiknya.

Berikutnya yang ingin saya angkat adalah kritik mahasiswa terhadap pemerintah yang dikatakan lalai mengurus orang-orang papua di pedalaman Asmat. Kalau menurut saya pribadi, ini bukan kritik namun merupakan suatu tindakan menghakimi. Mengkritik itu harus ada perbandingannya. Kalau anda mengatakan seharusnya pemerintah melakukan tindakan A atau tindakan B, anda bukan mengkritik, tapi memaksa. Memaksa pemerintah untuk melakukan sesuatu dengan caranya anda.

Kalau anda bisa mendapatkan data bahwa, misalnya, di hari pertama ditemukan 5000 orang menderita gizi buruk, lalu dalam jangka waktu 30 hari angka itu tidak menurun atau malah bertambah, baru disitu anda bisa mengkritik pemerintah dengan mengatakan pemerintah tidak melakukan apa-apa dan saya jamin, anda akan mendapat banyak dukungan. Kritik itu terhadap tindakan, bukan keadaan.

Lanjut ke pernyataan perwakilan dari (saya agak lupa) entah Trisakti atau IPB yang mengatakan bahwa sistem perkuliahan zaman sekarang ini menuntut mahasiswa untuk belajar dan belajar. Zaman sekarang ini kalau mahasiswa sudah menyentuh semester 10, akan dikatakan tua dan disuruh cepat-cepat lulus. Lagi-lagi saya tertawa melihat pernyataan ini. Bagi saya ini hanya penyataan cengeng dari orang yang terkesan mau eksis tapi tidak mau berkorban. Itulah inti dari aktivis!pengorbanan.

Ini baru mengorbankan waktu saja sudah merasa bahwa itu adalah sesuatu yang berat, bagaimana dengan aktivis-aktivis diluar sana yang mengalami persekusi?ditangkap dan diadili tanpa melalui proses hukum?atau lebih parah lagi, kehilangan nyawa untuk membela kebenaran?Kalau ada Dilan saat itu, mungkin dia akan bilang "jangan ikut-ikutan kegiatan di kampus, berat, biar yang lain saja...".

Terakhir saya ingin membahas pernyataan yang keluar dari Adian Napitupulu dan Ahmad Yoan. Memang benar apa yang dikatakan Ahmad Yoan bahwa untuk merasakan penderitaan orang miskin, kita tidak perlu menjadi miskin. Tapi di satu sisi, pernyataan Adian Napitupulu bahwa untuk bisa memahami penderitaan rakyat, kita harus mencium aroma tubuhnya, merasakan detak jantungnya, merasakan darahnya mengalir di tubuh kita ada benarnya.

Saya setuju dengan keduanya. Memang kita tidak perlu pergi ke pedalaman Asmat untuk merasakan penderitaan mereka. Tapi coba kita ingat kembali, apa saja yang pernah dilakukan para mahasiswa untuk menyentuh rakyat kecil?kalau hanya ngamen di jalan dan uangnya disumbangkan melalui NGO atau yayasan, jelas itu tidak bersentuhan langsung dengan rakyat kecil.

Seberapa sering para mahasiswa mengadakan kegiatan-kegiatan sosial dimana mereka yang turun langsung untuk memberikan pengajaran langsung baca tulis kepada anak jalanan?seberapa sering mahasiswa turun langsung membetulkan rumah ibadah yang sudah tidak layak karena dimakan usia?menambal dindingnya yang bocor bersama warga sekitar?Jujur saja, saya tidak tahu karena saya tidak pernah ikut-ikutan kegiatan mahasiswa saat saya dulu kuliah. Namun saya rasa ini yang dimaksud oleh Adian Napitupulu dan Ahmad Yoan. Cium aroma tubuh dan rasakan detak jantung masyarakat tanpa perlu menjadi miskin.

Insiden kartu kuning ini seharusnya menjadi ajang bagi kita semua untuk berkaca. Memang pemerintahan dibawah Presiden Joko Widodo masih banyak kekurangannya. Pembangunan masih belum 100% selesai. Namun juga apakah pantas mahasiswa hanya berfikir sedangkal itu?Bagaimana masa depan bangsa ini nantinya jika mahasiswa hanya bisa melihat permasalahan namun tidak bisa mengkaji lebih dalam?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun