Nilai dan etika adalah dua konsep yang sangat erat kaitannya dan sering dijumpai dalam kehidupan masyarakat maupun negara. Nilai dapat diartikan sebagai sesuatu yang dianggap benar, bersifat abstrak, dan tidak dapat disentuh secara fisik. Nilai hanya bisa dipahami, direnungkan, dan dihayati. Ia juga berhubungan dengan cita-cita, harapan, keyakinan, serta aspek-aspek batiniah. Oleh karena itu, nilai bukanlah sesuatu yang bisa dipelajari dengan cara yang terstruktur atau memiliki teori yang jelas. Sementara itu, sistem nilai mengacu pada sekumpulan prinsip yang saling berkaitan, saling menyesuaikan, dan konsisten dengan suatu aturan atau norma tertentu. Di sisi lain, etika adalah cabang filsafat yang berfokus pada bagaimana menjalani hidup yang baik, menjadi pribadi yang baik, berbuat baik, serta menginginkan kebaikan dalam kehidupan. Etika, dalam konteks filsafat, melibatkan diskusi dan argumentasi yang jelas untuk membenarkan suatu tindakan (etika praktis), serta membahas prinsip-prinsip yang mengatur karakter manusia ideal atau kode etik suatu profesi (etika normatif). (Robert C. Solomon, 1984).Â
Namun, di era yang serba cepat dan terfokus pada hasil yang terukur, sering kali kita melihat bahwa gelar akademik justru lebih dipandang sebagai simbol status daripada refleksi dari pencapaian nilai dan etika yang sesungguhnya. Fenomena ini semakin nyata di dunia pendidikan tinggi, di mana banyak orang yang berlomba-lomba meraih gelar demi mendapatkan pengakuan sosial dan peluang kerja yang lebih baik, tanpa terlalu memperhatikan kualitas moral dan etis dari pencapaian tersebut. Gelar akademik, yang seharusnya menjadi bukti dari proses belajar yang berlandaskan pada nilai-nilai kebenaran, kejujuran, dan integritas, kini sering kali dianggap sebagai sebuah alat untuk membuka pintu kesuksesan materiil, tanpa ada kaitannya dengan kualitas karakter atau etika akademik. Inilah yang mengundang pertanyaan besar: apakah kita masih memahami esensi dari gelar akademik itu sendiri, ataukah kita hanya terjebak dalam pengejaran status semata?Â
Fenomena ini semakin terang benderang ketika kita melihat bagaimana gelar akademik dan akreditasi universitas kini sering kali lebih dipandang sebagai simbol yang menandakan status atau reputasi, daripada sebagai bukti kualitas pendidikan yang sesungguhnya. Kasus penurunan akreditasi Universitas Lambung Mangkurat (ULM) dari A menjadi C akibat dugaan skandal yang melibatkan 11 guru besar menjadi contoh yang sangat nyata tentang bagaimana etika akademik bisa terpinggirkan demi mengejar prestise semata. Kasus ini melibatkan dugaan manipulasi dan ketidakjujuran dalam publikasi ilmiah untuk mencapai tujuan pribadi, seperti kenaikan jabatan akademik yang tidak sah.Â
Skandal tersebut bermula dari dugaan penyalahgunaan jabatan yang dilakukan oleh sejumlah guru besar di ULM yang terlibat dalam manipulasi publikasi penelitian. Praktik-praktik yang melibatkan pelanggaran kode etik ini dilakukan untuk mendongkrak prestasi individu dalam dunia akademik, baik dalam hal publikasi maupun dalam penilaian kenaikan jabatan akademik. Para guru besar ini diduga melakukan untuk memenuhi syarat dalam proses kenaikan jabatan, yang seharusnya dilakukan berdasarkan pencapaian akademik yang valid dan jujur. Manipulasi dan pemalsuan ini, yang semestinya tidak terjadi dalam lingkungan akademik yang menjunjung tinggi integritas, memicu penurunan signifikan dalam akreditasi universitas tersebut, dari A menjadi C.Â
Akreditasi yang rendah tentu berpengaruh pada kepercayaan masyarakat terhadap kualitas pendidikan yang diberikan oleh universitas tersebut. Selain itu, dampaknya juga menyentuh calon mahasiswa yang mempertimbangkan kualitas akademik universitas sebagai pertimbangan utama dalam memilih tempat studi, serta alumni yang merasa dipertaruhkan kredibilitasnya di dunia kerja.Â
Kejadian ini menggambarkan betapa pentingnya menjaga etika akademik dalam setiap langkah pendidikan. Tindakan manipulatif yang dilakukan oleh oknum guru besar ini menunjukkan bagaimana ketidakjujuran bisa menggerogoti fondasi utama dunia akademik, yakni kepercayaan dan integritas. Dalam dunia pendidikan tinggi, seharusnya setiap publikasi ilmiah dan penelitian yang dilakukan harus didasari oleh etika yang kuat, yang mengedepankan kejujuran dan kebenaran ilmiah. Jika publikasi atau penelitian dilakukan dengan cara-cara yang tidak sah atau tidak etis, maka tidak hanya kualitas ilmiah yang dipertaruhkan, tetapi juga moralitas pendidikan itu sendiri.Â
Lebih jauh lagi, hal ini juga mencerminkan masalah yang lebih luas terkait dengan budaya pendidikan di Indonesia, yang sering kali lebih menekankan pada hasil daripada pada proses itu sendiri. Dalam banyak kasus, gelar dan akreditasi sering kali dianggap sebagai tujuan akhir, tanpa mempertimbangkan apakah gelar atau akreditasi tersebut diperoleh melalui proses yang benar dan etis. Mahasiswa yang mengejar gelar untuk memperoleh pekerjaan yang lebih baik, tidak jarang mengorbankan integritasnya dengan melakukan praktik-praktik yang tidak etis, seperti melakukan joki tugas. Hal yang sama juga dapat terjadi pada dosen atau guru besar yang lebih fokus pada pencapaian angka-angka tertentu dalam publikasi atau penelitian, tanpa mempertimbangkan apakah pencapaian tersebut mencerminkan kualitas dan integritas yang sejati. Jika budaya ini dibiarkan berkembang, kita akan membentuk sistem pendidikan yang lebih mengutamakan hasil semata, tanpa menghargai proses pembelajaran yang sesungguhnya.Â
Dari sini dapat menjadi cerminan dari kegagalan dalam menanamkan nilai-nilai etika akademik yang sebenarnya. Ketika etika tidak dijunjung tinggi, maka bukan hanya kredibilitas institusi pendidikan yang terganggu, tetapi juga kualitas generasi yang dilahirkan oleh institusi tersebut. Tanpa etika akademik, pendidikan hanya akan menjadi lahan subur untuk praktek-praktek kecurangan, yang berpotensi merusak masa depan bangsa. Oleh karena itu, penting bagi semua pihak yang terlibat dalam dunia pendidikan baik pemerintah, perguruan tinggi, dosen, maupun mahasiswa untuk kembali menekankan pentingnya integritas dan etika dalam setiap aspek pendidikan.Â
Kasus lain yang juga mencuat ke permukaan dan menambah keprihatinan terhadap etika akademik di Indonesia adalah keputusan Universitas Indonesia (UI) yang menangguhkan gelar doktor yang diberikan kepada Bahlil Lahadalia, Menteri ESDM Indonesia. Pada bulan November 2024, UI memutuskan untuk menangguhkan gelar doktor yang diperoleh Bahlil Lahadalia setelah adanya temuan terkait dugaan plagiarisme dalam disertasi yang diajukan. Keputusan ini memperlihatkan bagaimana etika akademik, khususnya dalam penyusunan karya ilmiah seperti disertasi, bisa terabaikan demi memperoleh gelar yang lebih cepat dan praktis.Â
Keputusan UI untuk menangguhkan gelar ini tentu menjadi sorotan publik karena menggambarkan bahwa integritas akademik tetaplah hal yang sangat penting, bahkan bagi individu yang sudah berada di puncak karier politik. Kasus ini menunjukkan bahwa gelar akademik seharusnya tidak hanya dilihat sebagai simbol status atau prestasi, melainkan sebagai hasil dari upaya panjang dalam meneliti dan menghasilkan karya ilmiah yang valid dan berintegritas.Â
Jika kita tidak memprioritaskan integritas dalam dunia pendidikan, maka gelar akademik tidak akan lagi memiliki makna yang sesungguhnya. Dalam konteks ini, gelar bukanlah sekadar simbol status atau prestise semata, melainkan bukti dari upaya dan komitmen untuk menghasilkan karya ilmiah yang berkualitas, yang didasarkan pada nilai-nilai moral dan etika yang kuat. Plagiarisme dalam karya ilmiah tidak hanya merusak reputasi individu yang terlibat, tetapi juga mencoreng kredibilitas institusi pendidikan yang memberikannya.Â