Kertawarna adalah kota kecil yang menjadi cermin dari dunia besar: tempat di mana kekuasaan didefinisikan oleh siapa yang berani memanipulasi kenyataan. Di dalam sistem yang penuh tipu daya itu, kebenaran adalah barang mewah, sementara keadilan hanyalah retorika tanpa ruh.
Di tengah kenyataan yang banal ini, muncul Jaka, seorang guru biasa, tetapi dengan cara berpikir yang tidak biasa. Bagi Jaka, politik bukanlah sekadar ajang kontestasi kekuatan, melainkan medan di mana logos---akal dan moralitas---dapat dipertaruhkan. Ia tidak melihat kekuasaan sebagai tujuan, tetapi sebagai alat untuk meluruskan dunia yang bengkok.
Ketika berita tentang korupsi dana pendidikan mencuat---uang yang seharusnya digunakan untuk memperbaiki sekolah anak-anak---Jaka merasa marah. Namun, kemarahannya tidak meledak menjadi amarah kosong. Ia mengendapkannya dalam pemikiran, dalam perenungan, dan akhirnya dalam keputusan yang besar: ia akan maju sebagai kandidat kepala daerah.
"Apakah kamu gila, Jaka? Apa yang bisa dilakukan seorang guru kampung dalam labirin politik ini?" tanya seorang teman dekatnya.
Jaka hanya tersenyum. "Jika kebenaran dianggap gila, mungkin sudah saatnya kita mempertanyakan kewarasan sistem ini."
Langkah Jaka mengundang tawa dari lawan-lawan politiknya. Ia tidak memiliki uang, tidak memiliki koneksi. Tapi ia memiliki sesuatu yang mereka abaikan: kepercayaan rakyat. Dalam kampanyenya, ia tidak menjual janji kosong. Ia berbicara dengan kejujuran, mengakui keterbatasannya, namun mengajak warga untuk bermimpi bersama:
"Politik bukan soal siapa yang paling kuat, tetapi siapa yang paling berani melawan arus. Saya tidak menjanjikan dunia yang sempurna, tetapi saya berjanji untuk berjuang, bukan hanya untuk kalian, tetapi bersama kalian."
Kejujuran Jaka adalah anomali, dan itulah yang membuatnya menang. Namun, kemenangan itu adalah awal dari tantangan yang jauh lebih besar. Dalam labirin kekuasaan, Jaka segera dihadapkan pada realitas yang suram.
Pejabat lama yang menikmati korupsi mendekatinya, menawarkan aliansi. "Jaka, kau tidak bisa mengubah sistem ini sendirian. Bergabunglah dengan kami. Bersikaplah realistis. Idealismemu hanya akan menghancurkanmu."
Namun, Jaka tidak goyah. "Realistis, katamu? Jika realitas adalah ketidakadilan yang dibiarkan, maka tugas saya bukanlah menerima realitas itu, tetapi mengubahnya."
Dengan tekad itu, ia mulai bekerja. Ia memotong anggaran perjalanan dinas yang berlebihan, memperbaiki sekolah dengan dana yang semula diselewengkan, dan menciptakan forum rakyat di mana warga bisa langsung menyampaikan masalah mereka. Setiap langkah kecil yang diambil Jaka adalah perlawanan terhadap sistem.