Mohon tunggu...
Marsha Devana Wahab
Marsha Devana Wahab Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Gadis biasa di khatulistiwa. Begundal yang manis. Pemberontak yang santun. Pemuda harapan bangsa. marshawahab@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kuliah (Nggak) Penting?

5 April 2011   15:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:06 543
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Selamat malam. Semestinya malam ini saya belajar. Besok saya harus menghadapi kuis salah satu mata kuliah dengan  bobot 4 sks. Wuih. Namun apa boleh buat, malam ini saya lebih tertarik bukain laptop sambil browsing ketimbang buka buku. Sekedar melepaskan rindu pada kegiatan menulis yang sudah jarang sekali saya lakukan. By the way, tempo hari saya bertemu dengan pegawai honorer sebuah instansi di kota saya, saat sedang berada di bank. Saat itu awal minggu. Sekitar jam 10 pagi, wajar saja antrian di bank itu cukup panjang. Entah nyetor duit instansi atau duitnya sendiri, yang pasti dia berpakaian khas pegawai negara. Cokelat muda banget, atau mocca agak muda dikit. Apa aja deh. Trus gimana? Yak! Karena tampang Mas-mas itu nggak sesangar nasabah lain, saya putuskan duduk di kursi disebelahnya, bangku kosong saat itu hanya tiga. Satu disebelah polisi yang jaga bank, satu disebelah om-om tampang sangar yang nelpon terus dengan suara keras, satunya lagi ya disebelah mas-mas itu. Okelah. Tampangnya kalem juga. Wajar kan saya duduk disebelahnya? Mas-mas itu ngajak ngobrol saya. Oh my God, jujur saya kurang begitu suka ngobrol sama orang asing di di tempat umum. Don’t talk with stranger, my mom said. Pada intinya, ia memperkenalkan diri sebagai pria yang lulus SMA  sekitar tahun 2007, yang diterima sebagai honorer di sebuah instansi. Dia bilang, dia bersyukur diterima kerja, karena bisa membantu ekonomi keluarga, serta membiayai tiga adik yang masih sekolah. Saya tersenyum. Alhamdulillah, Allah Maha Adil, Maha Memberi. Agak heran sebenarnya, ngapain coba Mas-mas itu cerita banyak hal tentangnya ke saya?? Hahahaha. Mungkin sekedar kejadian kecil yang dititipkan Tuhan untuk jadi pelajaran hidup saya. Disebelah Mas-mas  itu ternyata ada seorang pria yang agak lebih tua. Sesama pegawai mungkin. Beberapa kali ia turut nyambung pembicaraan kami, yah, mulai dari sering mandeknya gaji honorer yang sering dirapel, atau ketidak jelasan keputusan daerah kami, akan mengangkat mereka sebagai PNS atau tidak. Mas-mas itu melanjutkan “curhatannya”. Mengenai  tingginya biaya kuliah saat ini, betapa inginnya beliau kuliah, dan akhirnya bertanya status saya. “Mbak kerja atau kuliah ya?” Dan saya jawab, “Saya kuliah Mas,” Dan nggak tau kenapa, temen mas-mas itu, langsung nyambung. “Ngapain kuliah Mbak,  nggak jamin dapat kerja, mending langsung kerja aja Mbak, saya nggak kuliah dapat kerja juga,” JENG-JENG-JENG. Saya langsung diem. Nggak tau mau ngomong apa. Agak kaget sebenarnya. Karena jujur, selama ini saya lebih sering bergaul di lingkungan akademisi, kawan-kawan palingan disekitar kampus, ortu dosen. Saya tidak pernah dihadapkan pada kondisi seperti ini. “Kuliah itu mahal mbak, habis-habisin biaya, sekarang lulusan SMA banyak yang kerja, nggak mesti sarjana Mbak,” Oke Sha, tarik napas... Tarik napas... Dan berpikir perlahan... Hanya sekedar gumam pendek dalam hati. Mas-mas disebelah saya melongo sedikit. Nama instansinya dipanggil, ia dan kawannya menuju meja teller bank, dan sekitar 15 menit kemudian pergi meninggalkan bank, sebelumnya tentu melempar senyum kecil pada saya, diiringi kalimat, “Mari, Mbak,” yang saya jawab dengan anggukan kecil plus senyum kikuk. Guys, saya jadi berpikir sedikit, seberapa banyak ya warga negara yang berpikir seperti itu? Saya jadi takut, sekaligus agak sedih. Mengapa saya sedih? Karena ternyata biaya kuliah masih menjadi momok besar untuk anak negeri ini, sampai menjadi alasan utama dari banyak anak bangsa yang mengurungkan diri untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Tidak jarang ada yang sampai kerja paruh waktu, sekaligus jualan pulsa, untuk membiayai kuliah. Fenomena ayam kampus juga seringkali didasari dengan alasan biaya kuliah. Negaraku, kami anak-anakmu, mengapa harus tertatih pilu meraih mimpi? “Biaya kuliah itu mahal, Mbak,” Mengapa saya juga meragukan ucapan kawan Mas-mas disebelah saya itu? Kalau memang kuliah itu tidak penting, mengapa tiap tahun ajaran baru ada ribuan bahkan puluhan ribu anak bangsa berbondong-bondong mendatangi universitas untuk mendaftar? Kalau memang tidak penting, mengapa banyak sektor-sektor utama bahkan lembaga negara yang menerapkan persyaratan “Minimal D3” atau “Minimal S1” di setiap pengumuman bursa kerja di kampus saya? Kalau memang tidak penting, kemana anak-anak bangsa yang bercita-cita menjadi dokter, hakim, atau pengacara, yang membutuhkan pendidikan tingkat perguruan tinggi untuk meraih profesi impiannya? Namun saya tidak bisa menyalahkan dua Mas-mas tadi. Sama sekali tidak bisa. Niat bekerja semua orang itu berbeda-beda Guys, dan kita harus memahami . Kali ini, saya belajar untuk mengerti serta memaklumi hal itu. Ada yang bekerja untuk dapat uang saja. Ada yang bekerja untuk dapat uang, posisi sosial dalam masyarakat. Ada yang bekerja untuk dapat uang, posisi sosial, serta menjaga gengsi. Mereka yang puas dengan “bekerja” dan mendapat gaji itu benar. Tidak salah kok. Mereka yang tidak puas dengan sekedar mendapat uang lain lagi bukan? Bukan rahasia umum lagi,  mereka yang merih gelar pendidikan tinggi, baik S1 sampai S3, memiliki peluang yang lebih besar untuk mendapat peningkatan jabatan, bergaul dengan rekan-rekan yang segolongan. yang harus diakui biasanya memiliki posisi strategis dibanding mereka yang jebolan sekolah menengah atas, terutama bila bekerja di pemerintahan, apalagi yang gelarnya berderet. Mereka di golongan ini, mendapat tempat tertentu yang disebut dengan posisi sosial. Beberapa dari golongan ini puas dengan penghasilan serta posisi sebagai jebolan intelektual, beberapa lagi, baru puas ketika meraih gengsi karena dicap sebagai golongan menengah. Saya ingat, Jusuf Kalla pernah berkata, semakin banyak jebolan sarjana di negeri ini, semakin tinggi golongan masyarakat menengah. Artinya ; masyarakat kita melek edukasi. Tidak bodoh secara berjamaah. Beberapa orang dari golongan terakhir akan lebih puas lagi jika mendapat posisi penting. Seperti anggota DPR, menteri, atau kepala daerah. Yang lagi-lagi harus diakui sebagian besar diduduki oleh orang-orang yang tingkat pendidikannya tidak diragukan (terlepas dari fakta sering terjadinya pemalsuan ijasah, hahahaha). Hampir tidak pernah saya melihat kepala daerah lulusan SMA, atau kepala Dinas suatu instansi tanpa satu gelarpun di belakangnya. Pada akhirnya, prinsip “bekerja” setiap orang itu berbeda guys. Ada yang menjadi, kasir, atau penjaga toko sudah merasa cukup. Ada yang menjadi pegawai honorer sudah merasa cukup. Ada yang menjadi PNS golongan 3 baru merasa cukup. Ada yang  menjadi PNS golongan 4 baru merasa cukup. Ada yang menjadi PNS golongan 7 baru merasa cukup. Hah, emang ada ya? Ada yang kuliah untuk bercita-cita menjadi dokter. Ada yang kuliah untuk menjadi hakim seperti saya (Ngoook!) Ada yang kuliah ikut-ikutan temen, ngalir doang, yang penting dibilang kuliah. Orientasi tujuan seseorang bekerja itu beda guys, so, kita nggak mungkin bisa bandingkan diri satu sama-lainnya kan? Kasir, penjaga toko, juga pekerjaan kok. Sah-sah saja. Tapi masa iya dibandingin sama pegawai bank, atau dokter? Ketiganya sama-sama pekerjaan dengan orientasi yang berbeda. Harus dipahami. Kuliah bukan jaminan kepastian seseorang dapat kerja, tapi harus diakui, saat ini, negara kita masih cenderung menetapkan ijasah sebagai standar patokan. Tidak seperti negara barat, yang sudah menjajaki kewajiban bagi warga muda untuk menjadi inventor atau penemu terobosan-terobosan menggunakan skill mutakhir untuk mendapatkan pekerjaan. Mereka yang memilih bekerja setelah lulus SMA, harus tetap dihargai, pilihan hidup tidak ada yang salah. Mereka yang memilih lanjut ke perguruan tinggi, juga harus tetap dihargai, ada yang ingin menjadi dokter, ada yang ingin menjadi pengacara, ada yang ingin menjadi Presiden. Semuanya benar, semuanya penting, dan yang terutama, semuanya sesuai dengan tujuan dari individu masing-masing, Tidak ada yang paling baik, tidak ada yang tidak berguna. Semuanya tergantung pada pilihan serta tujuan hidup seseorang. Guys, malam ini, saya hanya bisa berkata, bahwa tulisan ini sama sekali tidak mendiskreditkan siapapun. Saya hanya ingin kita semua stop berspekulasi, mana yang lebih oke, bonafit, dan penting. Saya anak Indonesia, yang percaya bahwa kita semua memiliki tujuan dalam hidup. Yang berkesempatan kuliah atau tidak, sama-sama harus selalu berpegang pada dua hal : Bertindak benar dan jujur. Why? Indonesia punya banyak orang pintar, tapi sedikit yang bertindak benar dan jujur. Semoga saya dan semua anak Indonesia lainnya diberkati Tuhan untuk selalu bertindak benar dan jujur, apapun tujuan hidup kita :)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun