Pada situasi ini, berita digital semakin gencar dibuat dengan beragam konten yang dikeluarkan. Terutama untuk para jurnalisme multimedia. Mereka dituntut untuk bisa multitasking dalam memproduksi konten.
Selain bisa menulis dengan baik, jurnalis multimedia dituntut untuk bisa mengedit, mengambil foto, bahkan mengambil video. Hal ini menjadikan para jurnalis bekerja di bawah tekanan berbagai kuantitas produksi yang kian membengkak.
Karena kemudahan dalam mengunggah dan kecepatan akses yang memadai, tak jarang para jurnalis kerap diberi tanggung jawab untuk menulis 7 hingga 10 artikel per harinya. Tentu hal ini mendorong para jurnalis untuk berpikir kreatif dalam memproduksi konten.
Contohnya adalah pengambilan sudut pandang atau angle dari sebuah peristiwa untuk dibuat berita. Para jurnalis perlu menentukan beberapa angle agar dari satu peristiwa dapat menghasilkan lebih banyak artikel.Â
Namun, skill berpikir kreatif di era sekarang justru membuat para jurnalis merasa tertekan. Sehingga banyak dari mereka yang memaksakan pengambilan angle yang tidak pantas diberitakan. Seperti berita "Lucinta Luna Hamil Anak Siapa?" beberapa waktu silam.
Di bawah tekanan persaingan, industri media terlalu bersikap reaktif sehingga over dalam menggenjot produksi. Demi mengambil perhatian para pengiklan, jurnalisme mendorong kuantitas konten tanpa memikirkan kualitasnya.
Reportasi mendalam dan berkualitas, tentu sangat dibutuhkan oleh masyarakat yang perlu informasi. Namun, ia menjadi korban utama dari adanya transformasi digital. Untuk apa repot-repot meluangkan waktu dan tenaga hanya demi melakukan liputan investigasi, jika berita tentang kehamilan para artis lebih banyak dilirik masyarakat?
Sejauh ini, mungkin strategi memperbanyak konten menjadi penolong bagi industri pers. Namun, di waktu yang sama, makna profesi jurnalisme kian memudar. Obsesi kuantitas konten dibanding kualitas justru melunturkan otoritas informasi yang menjadi kekuatan jurnalisme.
Kelunturan Otoritas Informasi Jurnalis di Era Digital
Kuantitas konten yang dikejar oleh para jurnalis semakin mengabaikan kekuatan otoritas informasi yang valid. Tanpa melakukan cek dan ricek dari suatu peristiwa, jurnalis terpaksa mengandalkan narasumber lain yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan pemberitaan. Seperti pernyataan dari publik figur misalnya.
Media tidak lagi mencari sumber yang valid dalam menulis berita. Asal berita tersebut sedang naik dan banyak masyarakat yang suka, mereka akan melakukan hal tersebut.