Mohon tunggu...
Marsha Bremanda TR
Marsha Bremanda TR Mohon Tunggu... Lainnya - A learner, Dreamer, Achiever

Journalism and Digital Media Enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Dari Media Perjuangan Sampai Partisipan, Yuk Intip Perkembangan Jurnalisme di Indonesia!

4 Oktober 2021   10:24 Diperbarui: 4 Oktober 2021   10:28 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pembredelan Media Sumber: Merahputih.com

Halo Sobat Kompasiana!

Kalian sadar nggak sih sekarang ini kita dapat informasi atau berita mudah banget? Saking mudahnya, kita nggak perlu susah-susah cari berita pasti akan muncul sendiri di timeline kita. Setuju, nggak?

Nah proses terjadinya fenomena di atas itu memerlukan waktu yang cukup panjang lho! Kegiatan mencari, menghimpun, mendapatkan, melaporkan sebuah peristiwa seperti di atas salah satunya termasuk ke dalam kegiatan jurnalistik atau jurnalisme.

Jurnalistik atau jurnalisme ini diambil dari perkataan latin yaitu "Diurnalis" yang berarti harian atau setiap hari. Mulai dari sana, lahirlah kata jurnalis yang artinya seseorang yang melakukan kegiatan jurnalistik.

Seiring berjalannya waktu, teknologi yang semakin berkembang sampai munculnya internet di zaman yang canggih ini dunia jurnalisme juga turut menunjukkan pertumbuhannya. Di artikel ini, yuk kita sama-sama belajar tentang perkembangan jurnalisme khususnya di Indonesia. Simak terus sampai akhir ya, Sobat!

Berawal Dari Penjajahan Belanda

Awal mula hadirnya jurnalisme dimulai saat Belanda menjajah Indonesia. Pada tahun 1615 pertama kali diterbitkannya surat kabar Memories der Nouvelles oleh Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterzoon Coen.

Pada masa itu, isi surat kabar masih ditulis tangan manual sampai pada tahun 1688. Kemudian pada 7 Agustus 1744, pemerintah Kolonial Belanda yang berlokasi di Batavia (saat ini Jakarta) menerbitkan surat kabar Batavias Che Nouvelles. Sayangnya, surat kabar ini hanya bertahan selama dua tahun saja, tepatnya berhenti pada 20 November 1744.

Majunya perkembangan yang kian pesat, mulai munculah teknologi baru yaitu mesin cetak. Pemerintah Hindia Belanda kala itu mengirimkan mesin cetak dari Belanda dan digunakan untuk membuat surat kabar dengan cetakan pertama. Isi surat kabar tersebut adalah ketentuan dan perjanjian yang dibuat antara Belanda dengan Sultan Makassar kala itu.

Selepas diterbitkannya surat kabar pertama tersebut, pada pertengahan abad ke-18 perlahan-lahan muncul surat kabar lain yang diterbitkan oleh masyarakat pribumi maupun turunan etnik Tionghoa. Karena diterbitkan dari berbagai kalangan, surat kabar tersebut terdiri dari beragam bahasa. Ada Bahasa Belanda, Bahasa Cina, Bahasa Jawa, dan bahasa daerah lainnya.

Beberapa nama surat kabar yang diterbitkan oleh masyarakat pribumi antara lain:

  • Bianglala (1854)
  • Bromartani (1855)
  • Surat Kabar Bahasa Melajoe (1856) yang terbit di Surabaya
  • Pelita Ketjil (1882) yang terbit di Padang, Sumatera Barat
  • Medan Prijaji (1907) yang terbit di Bandung

Surat Kabar Medan Prijaji Sumber: wikipedia
Surat Kabar Medan Prijaji Sumber: wikipedia

Mulai saat itu, perkembangan jurnalisme dan surat kabar di Indonesia kian menanjak. Tercatat, ada sekitar 30 surat kabar berbahasa Belanda, 27 surat kabar berbahasa Indonesia, serta satu surat kabar berbahasa Jawa di pertengahan abad ke-19.

Pada 7 September 1931, pemerintah kolonial Belanda sempat menerbitkan presbreidel ordonantie atau peraturan yang membolehkan penguasa melakukan penutupan terhadap media yang dianggap mengganggu ketertiban umum.

Namun, adanya peraturan tersebut tidak membuat pribumi tersudut. Justru semakin semangat untuk menerbitkan media sebagai alat perjuangan.

Beralih Ke Masa Penjajahan Jepang

Setelah Belanda pergi, Jepang datang dan mulai menjajah Indonesia. Dunia jurnalisme di Indonesia mengalami perubahan secara besar-besaran. Saat itu, semua surat kabar diwajibkan untuk bergabung dan isi pemberitaan harus menyesuaikan dengan rencana dan tujuan Jepang dalam.

Kala itu, perjalanan jurnalisme di masa penjajahan Jepang sangat mengalami kesulitan. Kebebasan pers dibatasi, ditekan, dan harus mengikuti kepengtinan pemerintahan Jepang. Hal ini ditujukkan dengan isi surat kabar yang hampir semuanya pro pemerintahan Jepang.

Media Pembawa Suara Rakyat

Surat kabar sebagai media penyebaran informasi Sumber: Kompas.com
Surat kabar sebagai media penyebaran informasi Sumber: Kompas.com

Beberapa media yang terbit di Indonesia pada tahun 1900-an serta menjelang kemerdekaan RI, memiliki kesamaan fungsi yakni sebagai media pembawa suara rakyat dan perjuangan. Dalam sejarah mencatat ada beberapa nama besar pemimpin bangsa yang dulunya merupakan wartawan atau pengelola media berita, diantaranya:

  • Ir. Soekarno
  • Moh. Hatta
  • Tirto Adhi Soerjo
  • Ki Hajar Dewantara
  • Tan Malaka
  • Tjipto Mangoenkoesoemo

Pasca kemerdekaan Indonesia, fungsi media kian beralih dari media perjuangan menjadi media partisipan. Meskipun di masa penjajahan Jepang sudah dilaksanakan, tetapi di era ini media dikatakan sebagai perwakilan dari kelompok atau partai politik tertentu. Tak hanya itu, di era ini media juga digunakan sebagai saluran menyebarkan ideologi tertentu.

Masa-masa awal kemerdekaan ini media juga berfungsi sebagai sarana informasi proses pembangunan dan politik di Indonesia.

Media di Era Pasca Kemerdekaan dan Orde Baru

Era kepemimpinan Soekarno, menjadi penanda media berada di situasi tidak menguntungkan. Dalam hal ini, selain menjalankan fungsi sebagai sarana informasi, tetapi fungsi pengawasan media menjadi semakin dipersempit.

Salah satunya adalah dilakukannya pembredelan terhadap media.

Saat itu, banyak surat kabar yang dibredel sebab dianggap melawan pemerintah. Tak sedikit pula wartawan yang ditangkap karena dianggap mengancam pemerintahan, walaupun sebenarnya mereka hanya menyuarakan kebenaran.

Ilustrasi Pembredelan Media Sumber: Merahputih.com
Ilustrasi Pembredelan Media Sumber: Merahputih.com

Saking buruknya kondisi jurnalisme dan pers saat itu, di tanggal 1 Oktober 1958 ditandai sebagai tanggal matinya kebebasan pers di Indonesia. Ditambah lagi Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 yang justru makin mempersempit ruang gerak jurnalisme di Indonesia.

Pengeluaran peraturan baru oleh Departemen Penerangan turut menyebabkan surat kabar tidak ada yang bersifat netral. Masing-masing surat kabar dan majalah harus didukung oleh minimal satu partai politik atau tiga organisasi massa.

Peralihan kepemimpinan dari Soekarno ke Soeharto, berpengaruh besar kepada kebebasan pers di Indonesia. Kala itu, siapapun yang memiliki modal diperbolehkan menerbitkan surat kabar atau majalah tanpa harus meminta pengesahan dari pihak tertentu.

Namun, karena hal tersebut akhirnya banyak media yang mengesampingkan mutu dan kualitas berita. Tak hanya itu, pada masa orde baru ini muncul masalah baru yakni beredarnya konten pornografi karena tidak adanya pembatasan terkait hal tersebut. Karena situasi yang kian memburuk, terjadilah perang pena dan fitnah dimana-mana.

Akhirnya pemerintah pun turun tangan dan membuat peraturan terkait dunia jurnalistik yang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Pemerintah mengeluarkan Tap MPRS No. XXXII/MPRS/1966 pada tanggal 6 Juli 1966.

Keluarnya peraturan in disambut hangat oleh kalangan wartawan dengan Deklarasi Wartawan Indonesia hasil dari konferensi kerja PWI di Jawa Timur.

Masa Reformasi

Perkembangan di masa reformasi ini ditandai dengan pesatnya teknologi yang hadir. Mulai bermunculan radio, televisi, bahkan internet yang bisa digunakan untuk mnegakses berita lebih cepat dan mudah. Di masa ini, jurnalisme di Indonesia terus berkembang baik cetak, elektronik, maupun digital.

Sampai di tahun 2021 ini, jurnalisme juga masih mengalami perkembangan. Akses berita yang cepat tentu memudahkan siapapun untuk mendapat berita maupun peristiwa yang terjadi di berbagai pelosok secara real-time.

Secara keseluruhan, perkembangan jurnalisme di Indonesia mengalami banyak rintangan untuk sampai di titik saat ini. Dulu pemberitaan ditulis secara manual, kini hanya menggunakan mesin saja sudah bisa disebarluaskan. Bahkan, tidak perlu dicetak kita juga bisa menyebarkan melalui internet. Sangat mudah bukan?

Nah itu dia perkembangan jurnalisme di Indonesia. Bagaimana tanggapan Sobat Kompasiana? Tulis di kolom komentar, ya!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun