Mohon tunggu...
Marsha Bremanda TR
Marsha Bremanda TR Mohon Tunggu... Lainnya - A learner, Dreamer, Achiever

Journalism and Digital Media Enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Punya Temen Ambis? Nyebelin Nggak Sih?

13 Oktober 2020   22:03 Diperbarui: 14 Oktober 2020   12:56 2418
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Yak, siapa yang mau jawab pertanyaan ini?"

"Saya Bu, Saya!"

"Okay, silahkan maju kedepan dan tulis jawabannya!"

"Ih, apaan sih si Edwin, sok ambis banget deh!"

"Iya ya, pengen banget keliatan pinter di depan Dosen."

"Setuju, nyebelin banget nggak sih, dia."

Siapa yang pernah menjumpai peristiwa seperti diatas? 

Yup, umumnya peristiwa ini terjadi di kalangan pelajar baik siswa maupun mahasiswa/i di Perguruan Tinggi. Kata "Ambis" direpresentasikan kepada seseorang yang aktif baik menjawab soal, berdiskusi, mengerjakan tugas, dan lain sebagainya di tempat ia belajar. Ambis atau ambisius kerap kali dijadikan konotasi yang buruk bagi seseorang karena dianggap sedang caper, atau cari perhatian.

Tapi kalian tau nggak sih, kalau sebenarnya ambis ini pada dasarnya adalah hal yang positif yang mendorong seseorang untuk bisa mencapai/mengerjakan sesuatu secara tepat waktu. Biasanya, ambis ini akan dicap kepada seseorang yang paling pintar di kelas. Namun, dengan adanya cap/labelling yang diberikan, bisa menjadikan seseorang ini malah merasa "kepedean". 

Karena merasa dirinya dianggap paling pintar dikelas, ia jadi bersikap semena-mena terhadap teman-teman yang lain. Ia jadi tidak peduli dengan lingkungan sekitar karena merasa dia yang paling perlu diperhatikan. Ia kemudian bisa merasa bahwa prestasi atau kemampuan yang ia miliki ini menjadi salah satu hal unggul yang semua orang harus tau akan hal itu.

Perilaku ini bisa kita analisis melalui dimensi nilai Hofstede yang mana perilaku ini termasuk dalam nilai individualisme yang mungkin melekat pada diri kita tanpa kita sadari sedikitpun.  

Samovar (2017) dalam bukunya menjelaskan bahwa budaya individualisme lebih menekankan kemandirian daripada ketergantungan yang mengakibatkan setiap individu ini merasa menjadi satu-satunya unit terpenting dalam masyarakat. Selain itu, dalam budaya ini prestasi seorang individu itu ingin selalu dihargai karena mencerminkan perilaku yang mementingkan dirinya sendiri.

Selain itu, jika perilaku ini dimasukan dalam orientasi nilai waktu Kluckhon dan Strodbeck, maka termasuk dalam orientasi jangka Panjang (masa depan). 

Samovar (2017) dalam bukunya menjelaskan bahwa dalam budaya ini berorientasi pada masa depan yang biasanya menghargai apa yang akan datang dan mengharapkan masa depan bisa lebih baik dari masa kini atau masa lalu. Ciri pada budaya ini adalah suka mengambil kesempatan , membawa perubahan serta bersikap optimis pada kejadian apapun.

Ilustrasi: Pinterest/jatibs
Ilustrasi: Pinterest/jatibs
Seseorang yang memiliki sifat ambis, sebenarnya ia mengkhawatirkan masa depannya. Akan seperti apa masa depannya nanti jika ia tidak bertindak secara cepat dan tepat. 

Maka dari itu, terkadang seseorang yang ambis ini sering berpikir dengan orientasi jangka Panjang karena ia memikirkan masa depannya nanti. Hal ini didukung dengan prestasi-prestasi yang ingin terus ia dapatkan yang malah nantinya bisa menjadikan dia berperilaku individualisme, hanya mementingkan kepentingan dirinya sendiri tanpa melihat lingkungan sekitarnya.

Penulis pernah mengalami problematika memiliki teman yang ambis. Ia selalu menjadi yang pertama dalam melakukan kegiatan/tugas yang ada di kelas maupun sekolah. 

Ketika ada soal yang diberikan oleh Guru, sebelum diperintahkan menjawab, ia sudah mengangkat tangan tinggi-tinggi sambil berkata dengan lantang "Saya Bu, Saya Bu!".  

Apalagi, ketika sudah disediakan soal oleh Bapak/Ibu Guru, ia hampir tidak pernah menyisakan soal agar dikerjakan oleh teman-teman yang lain.

Sampai-sampai ia dijuluki "Si Ambis" oleh teman-teman penulis. Tak hanya itu, ia juga punya julukan lain yaitu "Si Caper" karena teman-teman penulis merasa bahwa apa yang ia lakukan ini cukup dliuar batas kewajaran. Masa iya sampe semua soal dibabat habis nggak nyisain temennya buat dikerjain. Ya teman-teman lain tidak bisa mendapatkan poin keaktifan karena sudah ia rebut semua.  

Menjadi Ambis, bukan berarti kita bisa sewenang-wenang dalam berperilaku. Ingat, kita juga sebagai makhluk sosial yang mana tidak bisa hidup sendiri, perlu bantuan orang lain. Jika kita berperilaku egois, semaunya sendiri, ya tidak akan ada yang mau berteman dengan kita.

Yuk mulai sekarang kita intropeksi diri lagi biar nggak disebelin banyak orang! Semangat ambis, tetap positif! 

Sumber :

Samovar, Larry A, Richard E. Porter, Edwin R. McDaniel, (2017). Communication Between Cultures. Boston: Cengage Learning US.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun