minyak ulat hongkong terlebih dahulu diekstraksi dengan menggunakan beberapa pelarut untuk mengetahui pelarut mana yang memiliki efisiensi paling tinggi. Patroleum Ether lah yang didapat sebagai pelarut yang memiliki efisiensi tertinggi dengan energi yang rendah. Minyak diekstraksi dari ulat hongkong yang telah dikeringkan dahulu.
Bilangan asam dari minyak ulat hongkong terlampau tinggi, oleh karena itu perlu dilakukannya dua tahap yaitu esterifikasi dan transesterfikasi. Tujuan dari esterifikasi yaitu untuk menurunkan keasaman dari minyak sedangkan tujuan dari transesterfikasi untuk menghilangkan residu methanol yang tertinggal.
Spesifikasi biodiesel dari minyak ulat hongkong dibandingkan dengan standar biodiesel yang digunakan sebagai bahan bakar di Eropa (Zheng., dkk, 2012) dinyatakan bahwa EN 14214 mengandung methanol atau etanol sebesar 0,2% dan YMB biodiesel juga sebesar 0,2%, sedangkan untuk destillation EN 13214 dinyatakan -- dan YMB biodiesel 92% pada  (Ambarriny, 2020).
Karena masih sedikitnya penelitian yang mengkaji mengenai penggunaan ulat hongkong sebagai bahan baku pembuatan biodiesel, maka pada rujukan yang digunakan, peneliti akan melakukan pembuatan biodesel dari minyak hewani yaitu minyak ulat hongkong, menggunakan katalis NaOH.Â
Dalam prosesnya diperlukan penggunaan variasi waktu yaitu 45, 60, 75 dan 90 menit dengan temperatur  Setelah itu dilanjutkan kembali pembuatan biodesel dengan perbandingan mol minyak ulat hongkong dan methanol 7:1, 7:1, 5, 7:2, 7:3 dan 7:4. Hasil nya parameter yang akan diukur adalah % yield, densitas, viskositas, bilangan iod, bilangan asam, nilai kalor, dan kandungan biodiesel.
Dengan dilakukannya penelitian tersebut akan meningkatkan perkembangan ilmu mengenai biodisel untuk keberlangsungan energi yang dibutuhkan di bumi ini, karena penggunaan minyak hewani ulat hongkong ini dapat memberikan peluang yang besar untuk menggantikan energi tak terbarukan seperti minyak bumi.Â
Seperti yang telah disebutkan di awal bahwa ulat hongkong ini siklus hidunya relatif cepat, serta memiliki kadar kandungan minyak jenuh yang lebih tinggi dari minyak nabati, keuntungan lainnya, ulat ini dapat dikembangbiakan dengan mudah, tidak ada musim dan bisa terus diproduksi untuk dijadikan sumber bahan baku pembuatan biodiesel.
Selanjutnya, Black Soldies Fly (BSF) yang lebih dikenal sebagai maggot. Belakangan ini maggot menjadi tren di kalangan masyarakat dikarenakan lalat ini mampu mengurai sampah organik yang nanti nya dapat menghaslkan nilai yang ekonomis.
Salah satu pemanfaatan yang dapat dilakukan dari maggot ini adalah dengan mengolahnya menjadi bahan baku pembuatan biodesel. Karena maggot ini memiliki lemak yang tinggi sehingga berpotensi sebagai bahan baku pembuatan biodiesel.
Pada maggot, terdapat kandungan lemak yang nantinya bisa dimanfaatkan sebagai biodiesel dimana nilai energi yang ada pada lemak ini sebanding dengan gas metana yang dihasilkan oleh kotoran hewan.
Sebanyak 1.248,6 g kotoran sapi yang diurai selama 21 hari oleh 1.200 maggot dapat menghasilkan biodiesel. Formulasi tersebut menghasilkan 70.8 g larva kering yang kemudian diproses menghasilkan 15.8 g biodiesel atau 22.3% dari total massa larva kering merujuk pada penelitian (Zheng et al., 2012).