Ukuran buku ini kecil, bisa dimasukkan saku rok. Jadi saya kemana-mana pasti mengantongi buku ini. Dulu saya sangat marah ketika ada yang merampas buku ini sewaktu saya secara sembarangan meletakkan di atas meja.Â
Mereka membacanya keras-keras di depan teman-teman yang lain. Bahkan ada yang membocorkan ke guru, ia bilang saya bisa bikin puisi. Padahal, saya saja geli baca tulisan sendiri.
Sampai hari ini, saya punya 3 buku Journey. Saya berhenti menulis tatkala berada di sebuah toxic relationship. Maklum, sudah tidak memiliki tenaga untuk menulis.
Bertemu Kompasiana
Menginjak bulan terakhir di SMA, kakak saya memperkenalkan Kompasiana. Ia adalah kompasianer yang sudah cukup lama bergabung. Tulisan-tulisannya sering dibagikan di grup Whatsapp keluarga, tapi saya lebih sering membaca judulnya saja, lalu skip, malas membaca (Jika kakak saya membaca: maaf ya Mas, sekarang sudah tidak kok).Â
Saya pikir platform ini seru juga, saya bisa menulis "sajak receh" milik pribadi tanpa takut dihakimi oleh teman-teman saya. Tulisan pertama saya di Kompasiana langsung mendapat label pilihan (klik di sini). Langsung ketagihan deh untuk menulis lagi sampai bisa tembus artikel utama.
Sialnya, setelah menulis beberapa artikel di kemudian hari saya tak kunjung mendapat label yang diincar. Justru ada yang tidak mendapat label apapun.Â
Syukurlah baru kemarin artikel saya tembus label artikel utama. Benar-benar dream come true! (Bisa dibaca di sini). Tembus satu saja sudah sujud syukur, apalagi kalau banyak kan ya? Xixixi.
Meski belum bisa mendapat label-label "dewa", K-Rewards, maupun juara menulis dari acara manapun, saya sudah sangat bersyukur hari ini bisa membagikan isi hati di Kompasiana dan dibaca oleh banyak orang.Â
Saya menjadi semakin berani menulis di Kompasiana karena kemarin baru saja dikomentari oleh pujangga idola saya, sebut saja Mas SC. Katanya puisi saya yang ini bagus. Wah, apa engga meleleh itu? Dipuji langsung oleh Sang Maestro.Â