Mohon tunggu...
Marsella Wahyu D.W.
Marsella Wahyu D.W. Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis amatir yang ingin unjuk gigi

Mahasiswa sebuah perguruan tinggi swasta di Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Dieng, Takhta Berselubung Halimun bagi Para Dewa

18 Maret 2021   16:25 Diperbarui: 18 Maret 2021   17:54 4079
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: http://www.inditourist.com/read/wisata-eksotis-di-tengah-pulau-jawa.html

Sebuah Perjalanan di Penghujung Tahun

 Tanggal 31 Desember merupakan hari terakhir di setiap tahun. Tak heran bila banyak orang berbondong-bondong melakukan kegiatan yang menyenangkan dengan orang-orang terdekat, misalnya berkumpul di rumah orang tua, piknik bersama, melakukan sesi foto keluarga, hingga mengunjungi suatu kawasan wisata. Alasan yang paling umum adalah biar jadi kenangan indah di tahun ini. Tak salah memang, lagipula tanggal 31 biasanya memang berada dalam masa libur akhir tahun. Maka tak mengherankan bila setiap tanggal 31 Desember tempat-tempat wisata kebanjiran pengunjung, baik pengunjung lokal maupun mancanegara.

Di penghujung tahun 2019, saya pun memutuskan untuk mengukir kenangan indah bersama keluarga, sama seperti kebanyakan orang. Bertepatan dengan masa libur akhir tahun, beberapa sanak keluarga datang berkunjung ke kampung halaman saya di kaki Gunung Sindoro yaitu Kabupaten Wonosobo. Seperti biasa, saya menawarkan diri untuk menemani mereka menikmati keindahan Dieng. Sebagai informasi awal, Dieng adalah suatu dataran tinggi (pegunungan) yang terletak di pusat daerah Jawa Tengah. Secara administrasi, dataran tinggi Dieng termasuk ke dalam dua wilayah kabupaten yaitu Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Wonosobo. Kawasan dataran tinggi Dieng ini sungguh masyur dikalangan wisatawan karena memiliki berbagai destinasi wisata yang sungguh indah dan sayang untuk tidak dikunjungi. Beberapa di antaranya yang menjadi ikon adalah kawah Sikidang, Telaga Warna, kompleks Candi Dieng, puncak Sikunir, dan Gunung Prau. Selain beberapa ikon wisata tersebut, masih banyak destinasi lainnya yang juga tak kalah menarik di sepanjang kawasan Dieng ini. Oleh karena banyaknya destinasi wisatanya, kawasan wisata Dieng bahkan menjadi sumber pendapatan utama bagi Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Banjarnegara.

Awal Petualangan Sehari

              Setelah sepakat untuk berwisata ke Dieng, kami mulai mempersiapkan berbagai keperluan yang sekiranya penting untuk dibawa seperti makanan ringan pengganjal perut dan teman selama perjalanan, daya handphone yang terisi penuh untuk mendokumentasikan setiap momen, bahan bakar mobil yang juga terisi penuh untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain, dan beberapa hal-hal kecil lainnya. Setelah semuanya siap, kami pun berangkat menuju kawasan Dieng pada Selasa, 31 Desember 2019 sekitar pukul 08.00 WIB. Jarak yang harus kami tempuh dari rumah ke kawasan  wisata Dieng kurang lebih sejauh 20 km, sedangkan apabila dihitung dari terminal bus Mandala, Wonosobo jaraknya menjadi sekitar 28 km. Jarak tersebut dapat ditempuh selama kurang lebih satu jam, tergantung dengan kondisi lalu lintas.

Kawasan wisata Dieng dapat dicapai menggunakan sarana transportasi umum seperti bus umum (micro bus) jurusan Wonosobo-Dieng-Batur dengan biaya sekitar Rp 15.000 per orang. Namun apabila datang bersama rombongan dalam jumlah besar dan menggunakan bus wisata, wisatawan diharuskan untuk mencarter micro bus untuk alasan keamanan dengan biaya sekitar Rp 550.000-Rp 650.000 tergantung dengan jumlah destinasi yang hendak dikunjungi. Untuk dapat menumpang bus umum jurusan Wonosobo-Dieng-Batur, wisatawan dapat menemukan bus tersebut di terminal bus Mandala, Wonosobo atau menunggu di depan RSUD KRT. Setdjonegoro Wonosobo. Namun, apabila akan mencarter micro bus, rombongan wisatawan akan diarahkan untuk transit di lapangan parkir pemandian air panas Kalianget. Perlu diperhatikan bahwa untuk mencarter micro bus harus melakukan proses pemesanan terlebih dahulu agar tidak kehabisan. Apabila sudah terlanjur kehabisan, rombongan harus menunggu hingga ada micro bus yang kembali dari mengantarkan rombongan wisatawan sebelumnya. Pilihan alat transportasi lainnya adalah mobil pribadi, sepeda motor, atau mobil carteran (apabila menggunakan jasa biro perjalanan/wisata).

Hari itu cuaca cerah dan sangat bersahabat. Lalu lintas pun tidak terlalu padat. Perjalanan selama kurang lebih satu jam itu tak begitu terasa karena terus diselingi dengan obrolan-obrolan seru dan candaan-candaan yang menghibur. Sepanjang perjalanan pun pemandangan khas pegunungan tersuguh indah di sebelah kiri dan kanan jalan. Perkebunan sayuran milik warga, sungai, rumpun bambu, lembah, serta punggung barat Gunung Sindoro menjadi teman perjalanan kami.

Sumber gambar: https://www.facebook.com/pages/category/Local-Business/Grosir-kentang-Dieng-murah-173477636910168/
Sumber gambar: https://www.facebook.com/pages/category/Local-Business/Grosir-kentang-Dieng-murah-173477636910168/
Bagi para wisatawan yang datang dari kota besar, pemandangan alam ini sayang bila dilewatkan. Tentu saja! Kapan lagi bisa menikmati hamparan kebun kubis, wortel, kentang, dan carica (ketika sudah mencapai ketinggian tertentu) yang jarang ditemui di tempat lain. Belum lagi pengalaman melihat salah satu pekerjaan yang cukup ekstrem di kawasan perkebunan sayuran tersebut yaitu aksi petani yang naik turun lereng yang kemiringannya bisa mencapai 60 derajat untuk mengangkut pupuk maupun hasil panen. Sungguh suatu pemandangan yang jarang ditemui di tempat lainnya. Belum lagi gagahnya Gunung Sindoro yang seakan-akan menyambut para wisatawan yang datang.

Oh ya, satu hal penting yang perlu diperhatikan para wisatawan adalah jalan menuju kawasan wisata Dieng menanjak dan berkelok-kelok, sehingga bagi wisatawan yang memiliki kecenderungan untuk mabuk perjalanan diharapkan sudah mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik agar perjalanan tidak terhambat. Selain itu, pemilihan tanggal yang tepat harus dilakukan dengan mempertimbangkan jam keberangkatan serta prakiraan cuaca hari itu di kawasan Dieng. Hal ini harus dilakukan agar ketika sampai di kawasan Dieng hari belum terlalu siang. Jika kesiangan, maka para wisatawan harus berani menanggung resiko kabut tebal yang akan melingkupi seluruh kawasan atau bahkan lebih parahnya terjebak hujan.

Kawasan Dieng yang berada di daerah pegunungan atau dataran tinggi membuat cuaca di sana seringkali tidak menentu. Bisa saja terjadi ketika baru datang cuaca cerah, namun tiba-tiba mendung pekat datang disusul hujan. Sudah dapat dipastikan segala rencana dan angan-angan menikmati keindahan alam Dieng gagal total jika hujan mulai turun. Berkaitan dengan hujan itu pula, selalu sediakan payung atau jas hujan serta jaket untuk menghalau dinginnya udara dataran tinggi Dieng.

Sampai di kawasan bernama Kecamatan Garung, tepatnya setelah melewati kawasan PLTA  Garung, para wisatawan yang menggunakan mobil pribadi akan disambut dengan gerbang registrasi kawasan wisata. Di gerbang ini para wisatawan yang menggunakan mobil pribadi diharuskan membayar karcis registrasi kawasan wisata Dieng seharga Rp 10.000 per kendaraan. Namun, saya menemukan hal yang cukup aneh di sini. Karcis registrasi tersebut hanya berlaku bagi kendaraan-kendaraan berplat nomor luar Kabupaten Wonosobo. Apabila menggunakan kendaraan berplat nomor Kabupaten Wonosobo tidak akan diminta untuk membayar atau apabila tetap dikenai tarif masuk kawasan wisata tersebut biasanya para sopir membuat alasan hendak mengunjungi desa di dekat situ saja. Ketika alasan tersebut sudah diberikan, biasanya kendaraan tersebut diperbolehkan melintas tanpa membayar. Jarak yang harus ditempuh dari gerbang registrasi di Kecamatan Garung ke kawasan wisata Dieng masih jauh yaitu sekitar 15 km. Mulai dari sini jalanan akan terus menanjak dan berkelok-kelok.

Setelah menempuh perjalanan sekitar satu jam lamanya, mobil yang kami tumpangi pun akhirnya sampai di kawasan wisata Dieng. Kami disambut oleh gapura selamat datang yang bertuliskan DIENG PLATEAU AREA. Begitu melewati gapura ini, papan petunjuk area wisata mulai terlihat di sepanjang jalan. Para wisatawan dengan rombongan kecil atau hanya sendiri dan belum memiliki rencana tempat mana yang akan dikunjungi dapat memanfaatkan papan petunjuk ini.

Melihat Refleksi Diri dari Tepian Telaga Warna

           

Sumber gambar: https://travel.kompas.com/read/2020/09/17/180600027/6-telaga-di-dieng-cocok-untuk-wisata-usai-dieng-culture-festival?page=all
Sumber gambar: https://travel.kompas.com/read/2020/09/17/180600027/6-telaga-di-dieng-cocok-untuk-wisata-usai-dieng-culture-festival?page=all
Destinasi pertama yang kami kunjungi adalah Telaga Warna. Telaga ini berada di ketinggian 2000 meter di atas permukaan laut (mdpl) dan letaknya bersebelahan dengan Telaga Pengilon yang hanya dibatasi daratan kecil yang ditumbuhi dengan rumput ilalang. Telaga Warna berada di tepi jalan utama menuju Desa Wisata Sembungan, sehingga sangat mudah untuk mengaksesnya. Untuk mengunjungi telaga ini, setiap pengunjung harus membeli tiket masuk seharga Rp 7000 dan biaya parkir seharga Rp 5000 untuk mobil dan Rp 2000 untuk sepeda motor. 

 Telaga warna di kawasan Dieng ini terkenal karena warna airnya yang dapat berubah-ubah sesuai dengan cuaca. Belum ada yang dapat memastikan penyebab fenomena yang tidak biasa ini. Namun, menurut kabar yang beredar perubahan warna ini disebabkan karena adanya kandungan sulfur di dasar telaga yang kemudian memantulkan sinar matahari. Ada juga yang mengatakan bahwa di dasar telaga ini terdapat kandungan logam mulia yang juga ikut andil dalam perubahan warna telaga. Selain alasan-alasan ilmiah, masyarakat sekitar juga mempercayai alasan mistis yang menjadi penyebab perubahan warna telaga. Menurut warga sekitar, asal-usul telaga ini masih berhubungan dengan Legenda Dewi Nawang Wulan yang selendangnya tertinggal di telaga ini ketika mandi bersama para bidadari kahyangan lainnya. Terlepas dari itu semua, adanya aktivitas vulkanik di telaga ini dapat dijadikan sebagai penyebab sementara perubahan warna telaga tersebut. Aktivitas vulkanik ini dapat dibuktikan dengan munculnya gelembung-gelembung udara di beberapa bagian telaga.

Ketika kami sampai di tepian telaga, waktu sudah menunjukkan sekitar pukul 09.15 WIB. Pengunjung yang datang pun terbilang cukup ramai. Cuaca yang cerah menyebabkan warna air telaga hijau terang. Namun, kami menduga bahwa air Telaga Warna tersebut surut atau sedang tidak pada kondisi debit tertingginya. Hal tersebut sedikit mengherankan karena pada bulan Desember seharusnya curah hujan di kawasan ini sangat tinggi yang menyebabkan debit air telaga seharusnya berada di debit tertinggi. Namun kami segera mendapatakan jawabannya dari petugas yang berada di sekitar telaga bahwa air telaga ini kerap digunakan warga sekitar untuk mengairi kebun kentang mereka, sehingga tak heran bila volumenya sedikit menyusut. Setelah berfoto di bagian depan telaga, kami memutuskan untuk menyusuri tepian telaga.

 Tepian Telaga Warna ini sangat teduh karena ditumbuhi berbagai jenis pohon, salah satunya pohon pinus. Saking rimbunnya pepohonan di sepanjang tepian telaga, keramaian yang ada di luar pintu masuk hingga bagian depan telaga seakan-akan teredam dan tidak begitu terdengar. Hawa yang sangat sejuk dan suasana yang tenang sangat cocok bagi mereka yang ingin beristirahat sejenak dari rutinitas harian yang melelahkan dan membosankan.

Saya dan seorang kakak sepupu saya memutuskan untuk menerabas padang ilalang untuk mencapai tepian Telaga Pengilon, sedangkan orang-orang yang lebih tua memutuskan untuk kembali dan menunggu kami berdua di dekat pintu keluar. Padang ilalang yang membatasi Telaga Warna dan Telaga Pengilon tidak luas, hanya dengan berjalan kaki menerabas ilalang setinggi pinggang selama kurang lebih lima menit, kami sudah menemukan tepian Telaga Pengilon. Pengilon dalam bahasa Jawa artinya cermin atau sesuatu yang dapat memantulkan bayangan. Berbeda dengan Telaga Warna yang berada di sebelahnya, air Telaga Pengilon justru sangat bening dan cenderung tidak berwarna. Oleh karena itu, masyarakat sekitar menamainya dengan Telaga Pengilon karena permukaan airnya yang seakan-akan dapat digunakan untuk bercermin. Telaga Pengilon tidak banyak dikunjungi oleh pengunjung kebanyakan. Mungkin karena aksesnya yang harus menerabas padang ilalang yang menjadi alasan. Hanya ada beberapa pengunjung yang datang bersama saya serta kakak sepupu saya. Mereka sebagian besar adalah fotografer atau orang-orang yang gemar berfoto ria.

Untuk menikmati keindahan Telaga Warna dan Telaga Pengilon, ada opsi lain selain menyusuri tepiannya yaitu melihat pemandangan kedua telaga ini dari atas. Pengunjung dapat menikmati keindahan dengan view yang lebih luas lewat Batu Ratapan Angin atau dari Bukit Sidengkeng. Jika ingin menikmatinya lewat Batu Ratapan Angin atau Bukit Sidengkeng, pengunjung tidak perlu parkir di pelataran parkir Telaga Warna melainkan langsung masuk ke Desa Wisata Sembungan dan mengikuti arahan petugas atau papan petunjuk yang ada di sana.

             

Sumber gambar: Dokumentasi pribadi
Sumber gambar: Dokumentasi pribadi
Cerahnya hari itu terpantul di permukaan kedua telaga. Birunya langit semakin mempertegas pesona Telaga Warna dan Telaga Pengilon. Sejuknya udara menghantarkan setiap langkah kaki kami menelusuri jalan setapak di padang ilalang maupun tepian telaga. Begitu sunyinya hingga tanpa sadar para pengunjung pun ikut memelankan suaranya ketika meraka berbicara satu sama lain. 

Meninggalkan Duniawi, Sejenak Masuk ke Dalam Keheningan

Setelah puas berfoto ria di tepian Telaga Warna dan Telaga Pengilon, saya dan kakak sepupu saya memutuskan untuk kembali. Namun di tengah perjalanan, kami melihat ada jalan bercabang ke arah yang lain. Penasaran, kami pun menyusuri percabangan jalan tersebut. Jalan tersebut hanya berupa jalan tanah setapak yang diapit oleh tumbuhan pinus. Semakin ditelusuri, kontur jalanan menjadi sedikit menanjak dan menunjukkan bentukan batuan alam yang besar. Setelah beberapa saat berjalan, tahulah kami bahwa jalan tersebut mengantarkan kami ke pelataran kompleks gua. Ada beberapa gua alam yang terdapat di tempat ini antara lain Gua Jaran, Gua Penganten, Gua Sumur, dan Gua Semar. Gua-gua tersebut merupakan tempat yang dikeramatkan dan biasa dimanfaatkan oleh para warga untuk bersemedi dan meminta berkah dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Selain gua-gua yang dikeramatkan, di dalam kompleks ini juga ada sebuah batu alam yang dikeramatkan. Terlihat dari bekas sesaji yang banyak terdapat di sekitar batu tersebut.

           

Sumber gambar: https://akasakaoutdoor.co.id/blogs/aks-journal/danau-telaga-warna-dan-misteri-gua-di-dalamnya
Sumber gambar: https://akasakaoutdoor.co.id/blogs/aks-journal/danau-telaga-warna-dan-misteri-gua-di-dalamnya
Gua-gua tersebut umumnya hanya berupa rongga di sebuah dinding batu yang ruangan di dalamnya tidak terlalu luas, ukuranya mungkin hanya sekitar 2mx2m. Di pintu masuk setiap gua terdapat sebuah arca yang khas, misalnya di pintu masuk Gua Semar terdapat arca Semar, sedangkan di pintu masuk Gua Sumur terdapat arca seorang wanita membawa gentong air berwarna emas. Masyarakat sekitar percaya bahwa setiap gua ini membawa berkah yang berbeda-beda, misalnya Gua Jaran dipercaya dapat menjadi sarana berdoa bagi orang-orang yang ingin mendapatkan keturunan, sedangkan Gua Sumur yang di dalamnya terdapat sumber mata air dipercaya dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit. Terlepas dari kepercayaan  masyarakat sekitar mengenai berbagai khasiat dari gua-gua ini, ada baiknya jika kita tidak menganggap bahwa gua inilah yang berkhasiat melainkan hanya sebagai sarana untuk berdoa dan bertirakat kepada Tuhan Yang Maha Kuasa sehingga apa yang menjadi doa dan keinginan kita dapat dikabulkan. 

Sumber gambar: https://akasakaoutdoor.co.id/blogs/aks-journal/danau-telaga-warna-dan-misteri-gua-di-dalamnya
Sumber gambar: https://akasakaoutdoor.co.id/blogs/aks-journal/danau-telaga-warna-dan-misteri-gua-di-dalamnya
Oleh karena gua-gua tersebut merupakan tempat untuk berdoa dan dikeramatkan, ada himbauan bagi pengunjung perempuan untuk tidak masuk ke dalam gua apabila sedang dalam keadaan berhalangan (menstruasi). Selain itu, tidak semua gua bisa dimasuki secara langsung. Diketahui hanya Gua Jaran yang bisa langsung dimasuki karena pintu masuknya tidak terkunci, sedangkan gua-gua lainnya pintu masuknya terkunci sehingga apabila pengunjung ingin masuk harus menghubungi juru kuncinya terlebih dahulu.

Gua-gua di sekitar Telaga Warna ini sangat terkenal di tanah Jawa. Hal tersebut terbukti dengan fakta sejarah yang mengatakan bahwa presiden pertama RI yaitu Ir. Soekarno dan presiden kedua RI yaitu Soeharto beberapa kali mengunjungi tempat ini untuk menyepi. Saking terkenalnya gua ini di kalangan masyarakat Jawa, setiap bulan Suro dalam kalender Jawa, tempat ini ramai dikunjungi para peziarah yang hendak berdoa dan bertirakat. 

Setelah berkeliling dan membaca plakat-plakat berisi informasi mengenai sejarah gua-gua tersebut, saya dan kakak sepupu saya memutuskan untuk beristirahat sejenak sambil melihat Telaga Pengilon yang terlihat secuil dari tempat tersebut. Tak lama setelah kami duduk, ponsel saya bergetar menandakan ada panggilan masuk. Ketika saya jawab panggilan tersebut, ternyata Bapak saya yang menelepon, meminta saya dan kakak sepupu saya untuk segera kembali. Kami pun bergegas menuju pintu keluar dan beranjak ke destinasi wisata berikutnya.

Kembali Ke Masa Lalu, Melihat Sejarah Kejayaan Bangsa 

           

Sumber gambar: https://www.tribunnewswiki.com/2020/04/29/candi-arjuna
Sumber gambar: https://www.tribunnewswiki.com/2020/04/29/candi-arjuna
Kami melanjutkan perjalanan kami ke destinasi wisata berikutnya. Untuk destinasi kedua ini kami memutuskan untuk mengunjungi kompleks Candi Dieng dengan pertimbangan bahwa Bulik (adik perempuan dari ibu saya) sangat menyukai hal-hal yang berkaitan dengan sejarah. Kami pun mulai berkendara menuju kompleks Candi Dieng. Perjalanan ini tidak memakan banyak waktu, hanya sekitar 10 menit dari kawasan Telaga Warna. 

Kawasan Candi Dieng berada di tengah perkebunan kentang masyarakat sekitar. Oleh karena itu, tak heran jika sering kali pengunjung berpapasan dengan petani yang mengangkut hasil panen atau menjumpai banyak pipa peralon yang digunakan untuk mengairi lahan perkebunan yang menjuntai di sepanjang jalan masuk. Bagi pengunjung yang menjumpai pipa peralon yang melintang dipermukaan jalan masuk atau di samping jalan masuk perlu diperhatikan untuk tidak menginjaknya karena jika diinjak dikhawatirkan pipa tersebut pecah dan mengganggu sistem pengairan lahan perkebunan serta airnya dapat membanjiri jalan masuk. Harga tiket masuk ke kawasan Candi Dieng adalah Rp 10.000 per orang dan biaya parkir sebesar Rp 5.000 untuk mobil dan Rp 2.000 untuk sepeda motor.

Setelah membayar tiket masuk kami berjalan menyusuri jalan yang terbuat dari semen cor yang diapit dengan berbagai tanaman berbunga, salah satunya kecubung. Tanaman kecubung memang sangat mudah tumbuh dan hidup di daerah yang sejuk sehingga di sepanjang jalan menuju kawasan wisata Dieng pengunjung dapat dengan mudah menjumpai tanaman yang bunganya berbentuk seperti terompet yang biasanya berwarna pink pucat. Sekadar memberi informasi, jangan sembarangan memetik atau menyentuh tanaman yang sangat menarik ini. Hal tersebut disebabkan semua bagian tanaman ini beracun yang dapat berefek memabukkan hingga membuat seseorang tidak sadarkan diri apabila nekat mengonsumsinya.

Kami berjalan sejauh kurang lebih 300 meter dari pintu masuk ke kompleks candi. Mendekati kompleks candi, kami disambut oleh beberapa petugas yang memberikan kain kepada kami untuk diikatkan di pinggang. Hal ini dilakukan karena bangunan candi merupakan bangunan yang sakral sehingga setiap pengunjung yang datang untuk berdoa atau hanya sekadar berwisata harus menutup auratnya. Oh ya, candi yang kami kunjungi kali ini adalah kompleks Candi Arjuna yang terdiri dari lima bangunan candi yaitu Candi Arjuna, Candi Semar, Candi Srikandi, Candi Puntadewa, dan Candi Sembadra. Kelima bangunan candi ini berdiri secara berdampingan di atas tanah seluas satu hektar.

Sumber gambar: https://indonesiakaya.com/pustaka-indonesia/yang-tersisa-di-kompleks-candi-gatotkaca/
Sumber gambar: https://indonesiakaya.com/pustaka-indonesia/yang-tersisa-di-kompleks-candi-gatotkaca/
Apabila pengunjung berjalan lebih jauh melewati kompleks Candi Arjuna, pengunjung akan menemukan kompleks candi berikutnya yaitu kompleks Candi Gatotkaca yang terdiri dari enam bangunan candi yaitu Candi Gatotkaca, Candi Setyaki, Candi Nakula, Candi Sadewa, Candi Petruk, dan Candi Gareng. Dari keenam candi yang terdapat dalam kompleks Candi Gatotkaca, hanya Candi Gatotkaca sendiri yang masih utuh, sisanya hanya berupa reruntuhan. Masih ada satu kompleks candi lagi yang dapat dikunjungi yaitu kompleks Candi Dwarawati yang terdiri dari empat candi yaitu Candi Dwarawati, Candi Abiyasa, Candi Pandu, dan Candi Margasari. Senasib dengan Candi Dwarawati, di kompleks Candi Setyaki ini hanya bangunan Candi Setyaki saja yang masih utuh, sisanya hanya berupa reruntuhannya saja.

 

Sumber gambar: https://www.kompasiana.com/nprih/5991e70702b52f6b4376bd02/candi-dwarawati-sendiri-menemani-petani-dieng?page=all
Sumber gambar: https://www.kompasiana.com/nprih/5991e70702b52f6b4376bd02/candi-dwarawati-sendiri-menemani-petani-dieng?page=all
Melansir dari tirto.id, kompleks Candi Dieng ini diperkirakan dibangun pada tahun 594-782 M pada masa kejayaan Kerajaan Kalingga oleh Wangsa Sanjaya. Namun hingga saat ini masih belum diketahui secara pasti kebenarannya karena belum ada bukti sejarah secara tertulis yang mengatakan siapa pembuat bangunan-bangunan keagamaan ini. Satu-satunya bukti sejarah secara tertulis yang ditemukan di kawasan candi ini hanyalah sebuah prasasti beraksara jawa kuno berangka tahun 808 M yang menjadi salah satu prasasti tertua di Indonesia yang saat ini disimpan di Museum Nasional Indonesia, Jakarta. 

Hari itu, kompleks Candi Arjuna ramai dikunjungi. Cuaca yang sangat cerah, matahari yang terik, udara sejuk, serta pemandangan menawan memang cocok digunakan sebagai latar foto. Jadilah kami sekeluarga berfoto di berbagai sudut kompleks. Beberapa kali saya harus rela menjadi tukang foto dadakan karena Bulik dan keluarganya sangat senang berfoto bersama. Sementara kami asyik berpose di depan kamera, Bapak dan Ibu saya memilih untuk berteduh di pinggir pelataran yang ditumbuhi rumpun bambu hias. Mereka berdua duduk di atas tanah pelataran candi yang ditanami rumput jepang. Karena tekstur rumput jepang yang tebal dan empuk, banyak pengunjung yang menggelar tikar atau langsung duduk tanpa alas di atas hamparan 'karpet bulu' tersebut. Setelah puas berfoto, Bulik dan keluarganya mengajak kami untuk melanjutkan perjalanan ke destinasi berikutnya.

Ketika kami berkendara menuju destinasi berikutnya, saya melihat ada satu bangunan candi yang letaknya di atas bukit tepat di pinggir jalan yang kami lalui. Saya pun meminta Bapak saya untuk menepikan mobil kemudian mengunjungi bangunan candi yang menyendiri tersebut. Setelah menaiki beberapa anak tangga, saya membaca sebuah papan nama candi yang bertuliskan Candi Bima.

Sumber gambar: Dokumentasi pribadi
Sumber gambar: Dokumentasi pribadi
Candi Bima merupakan candi terbesar dan termegah diantara semua candi yang terdapat di kompleks Candi Dieng. Selain terpisah dari candi-candi lainnya, arsitektur candi ini juga berbeda dari candi-candi di Dieng maupun di Jawa. Bangunan candi ini lebih mirip dengan candi-candi yang ada di India dengan ciri khas bentuknya seperti piramida atau semakin ke atas bentuknya semakin mengecil (mengerucut). Bangunan Candi Bima ini dipercaya digunakan untuk melakukan ritual keagamaan yaitu upacara pradaksina.

 Lagi-lagi saya menjadi fotografer dadakan bagi Bulik sekeluarga. Yahhh, dengan senang hati saya lakukan karena mau bagaimana pun juga saya yang termuda di antara rombongan tersebut, jadi sekalipun tidak dengan senang hati mau tidak mau saya juga yang harus menjadi fotografer bagi mereka. Setelah puas berfoto ria, kami kembali ke mobil dan meneruskan perjalanan kami. 

Candradimuka yang Menggelegak

Waktu menunjukkan pukul 12.46 WIB. Seperti dugaan awal saya, langit cerah dan matahari terik seketika tersaput mendung dan kabut tipis. Kami memutuskan untuk menyudahi petualangan kami hari ini dengan mengunjungi destinasi terakhir yaitu kawah Sikidang. Perjalanan yang kami tempuh dari kompleks candi Dieng ke kawah Sikidang tidak begitu lama, hanya sekitar 15-20 menit berkendara. Namun, menurut saya hal tersebut dikarenakan padatnya lalu lintas jalan serta kondisi jalanan yang cukup jelek. Ya, meskipun Dieng merupakan kawasan wisata, masih ada beberapa bagian jalan yang berlubang yang menyebabkan kendaraan pengunjung harus menurunkan kecepatan ketika melewatinya.

Sampai di pelataran parkir, kami segera mencari lokasi yang tepat untuk memarkirkan mobil. Butuh waktu cukup lama untuk memindai tempat yang kosong, beruntung ada petugas parkir yang membantu mengarahkan kami. Setelah mendapatkan tempat parkir, kami pun mengantre untuk membeli tiket masuk. Harga tiket masuk ke kawasan kawah Sikidang sedikit lebih mahal dari destinasi wisata sebelumnya yaitu Rp 15.000 per orang dan biaya parkir sebesar Rp 5000 untuk mobil dan Rp 3000 untuk sepeda motor. Oh ya, kawah Sikidang merupakan kawah yang memiliki kandungan sulfur (belerang) yang tinggi. Oleh karena itu kawah ini mengeluarkan bau yang bisa dibilang mirip seperti telur busuk. Semakin mendekat dengan kawah, semakin tajam pula baunya. Bagi pengunjung yang tidak tahan dengan baunya dianjurkan untuk membawa atau membeli masker yang banyak dijajakan di sepanjang jalan menuju kawasan kawah Sikidang. 

Ketika kami mulai melewati pintu masuk, gerimis tipis mulai turun. Setelah berdiskusi bersama anggota rombongan, diputuskan bahwa kami tetap mendekati kawah dan mengambil beberapa foto di sana dengan catatan harus bergegas supaya tidak kehujanan. Setelah sepakat, kami pun bergegas menuju kawah.

           

Sumber gambar: https://nusadaily.com/travel/asyiknya-berwisata-di-kawah-sikidang-dieng-jawa-tengah.html
Sumber gambar: https://nusadaily.com/travel/asyiknya-berwisata-di-kawah-sikidang-dieng-jawa-tengah.html
Dataran tempat kawah Sikidang berada memiliki kontur yang sedikit berbukit dengan tanah berwarna putih kekuningan karena adanya kandungan sulfur serta belerang. Apabila dilihat sekilas, bentukan kawasan ini seperti lubang-lubang raksasa yang di tepian serta dindingnya dibuat jalan-jalan setapak atau anak tangga untuk melintas. Lubang-lubang ini merupakan bekas kawah yang berpindah-pindah. Oleh karena keunikan kawah yang tempatnya dapat berpindah-pindah inilah yang membuat masyarakat sekitar menamainya kawah Sikidang yang artinya seperti kijang yang suka melompat-lompat. Meskipun kawah Sikidang merupakan kawah yang terbentuk sebagai akibat dari aktivitas vulkanik, kawah ini tetap aman untuk dikunjungi. Namun pengunjung tetap perlu memeperhatikan rambu-rambu peringatan yang tersedia dan tidak melewati pagar pembatas untuk mendekati bibir kawah.

Setelah melewati pintu masuk, pengunjung dapat melihat berbagai spot foto buatan yang tersebar di segala penjuru. Pengunjung dapat berfoto dengan menggunakan spot-spot ini sebagai latar belakangnya. Ada pula berbagai atraksi menarik yang dapat disewa secara langsung seperti ATV, motor trail, kuda tunggangan, bahkan berfoto dengan burung hantu. Sebenarnya saya merasa sangat prihatin dengan burung hantu-burung hantu yang 'dipaksa bekerja' di siang hari. Bagaimana tidak, mereka yang merupakan hewan nokturnal yang seharusnya aktif di malam hari dan beristirahat di siang hari justru dipajang di bawah teriknya matahari yang kemungkinan besar dapat merusak indra penglihatan mereka.

Salah satu hiburan paling populer di kawah Sikidang adalah merebus telur langsung di kawahnya. Para pengunjung dapat membawa sendiri telur mentah atau membeli dari penjual-penjual telur yang biasanya terdapat di sekitar kawah. Untuk merebus telur tersebut, sebaiknya pengunjung meminta bantuan dari petugas yang ada di sekitar kawah untuk alasan keamanan. Telur-telur mentah tersebut nantinya akan dimasukkan ke dalam jaring yang biasa untuk menangkap ikan bergagang panjang yang biasa disebut seser oleh masyarakat sekitar kemudian dicelupkan ke dalam air kawah yang menggelegak dan sesekali menyemburkan lumpur panas ke udara. Setelah dicelupkan selama kurang lebih lima menit, telur pun matang dan dapat disantap. Meskipun direbus di dalam kawah dengan air yang mengandung sulfur dan belerang, telur-telur ini aman dikonsumsi.

Saya dan rombongan bergegas mendekat ke kawah, mengambil beberapa foto di tepian kawah yang dipagari kemudian sejenak memandangi kuali super besar yang terus menggelegak tersebut. Selintas terbersit dalam pikiran saya sebuah pertanyaan "Kalau misalnya ada seseorang yang tercebur ke dalam sana bagaimana ya..?" Duh, baru membayangkannya saja sudah terasa ngerinya. Oleh karena itu, pengunjung benar-benar dituntut kewaspadaan serta kepatuhannya terhadap berbagai peringatan yang sudah ditulis di papan-papan peringatan. Perlu diwaspadai pula bahwa permukaan tanah di sekitar kawah sangat licin, apalagi jika cuaca gerimis seperti saat saya berkunjung. Oleh karena itu, pengunjung harus benar-benar memperhatikan langkahnya serta memakai alas kaki yang sesuai agar tidak terjatuh. Apabila terpeleset dan jatuh di atas tanah berlapis sulfur dan belerang, bisa dijamin kalau pakaian tersebut akan cukup sulit dibersihkan dan pastinya berbau seperti telur busuk.

           

Sumber gambar: Dokumentasi pribadi
Sumber gambar: Dokumentasi pribadi
Saat melihat ke arah lain, saya melihat ada sebuah puncak bukit di dekat kawah yang banyak didaki oleh pengunjung lainnya. Saya pun mengajak kakak sepupu saya untuk mendaki ke puncak bukit tersebut. Berdua, kami pun mulai menapi jalan setapak yang super licin untuk menuju puncak bukit. Bukit tersebut tidak terlalu tinggi, mungkin hanya sekitar 100-120 meter tingginya namun tidak ada tangga atau pun sesuatu yang dapat dijadikan pegangan. Belum lagi permukaan tanah yang licin di tambah kerikil-kerikil tajam yang akan terus bergerak jika diinjak semakin membuat 'pendakian' mini ini menantang. Setelah cukup bersusah payah mendaki, kami pun sampai di puncak bukit. Pemandangan dari atas bukit ini ternyata lebih indah. Dari puncak bukit ini kami dapat melihat segala penjuru lahan bekas kawah dan bangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi (geotermal) yang terus mengepulkan asap tebal berwarna putih. 

             

Sumber gambar: Dokumentasi Pribadi
Sumber gambar: Dokumentasi Pribadi
Ketika kami berada di puncak bukit, cuaca gerimis tipis, kabut mulai turun ditambah asap dari kawah yang membubung naik. Hal tersebut menciptakan efek spektakuler yang menyebabkan kami berdua seperti berada di dunia lain. Kami pun bergantian mengambil foto. Perlu diperhatikan oleh pengunjung ketika berfoto di atas bukit bahwa tidak ada pagar pengaman di puncak. Oleh karena itu, tetap waspada ketika berfoto terutama ketika membelakangi tepian jurang sedalam belasan meter yang langsung mengarah ke bekas kawah yang mungkin masih aktif. 

Puas berfoto, kami bergegas turun sebelum gerimis berubah menjadi hujan. Di sinilah perjalanan menantang dimulai. Seperti sudah saya sebutkan di awal, permukaan tanah bukit ini sangat licin dengan kerikil tajam yang terus bergerak ketika diinjak. Ditambah lagi kebetulan hari itu saya memakai sepatu yang permukaan solnya sudah cukup halus karena saking seringnya dipakai. Jadilah perjalanan turun harus saya tempuh selama nyaris setengah jam, nyaris dua kali lipat waktu tempuh ketika mendaki tadi. Meski begitu, saya lebih mengutamakan keselamatan dibandingkan kecepatan menuruni bukit. Ketika sampai di bawah, gerimis mulai menderas. Kami pun berlari-lari menuju pasar kecil di dekat pintu keluar untuk berteduh. Kami tak ingin pakaian kami basah karena suhu di kawasan Dieng akan merosot cukup jauh ketika hujan, sehingga dapat dibayangkan seperti apa dinginnya dan bagaimana efeknya jika pakaian kami basah.

 

Sumber gambar: http://www.negerikuindonesia.com/2015/06/tempe-kemul-jajanan-khas-dari-wonosobo.html
Sumber gambar: http://www.negerikuindonesia.com/2015/06/tempe-kemul-jajanan-khas-dari-wonosobo.html
Di pasar kecil ini pengunjung dapat menjumpai penjual yang menjual berbagai produk lokal, mulai dari makanan, kerajinan tangan, sampai berbagai cinderamata yang menarik. Makanan khas Wonosobo pun dapat ditemukan dengan mudah di sini seperti tempe kemul, manisan carica, keripik jamur, kentang, cabai dieng, dan lain-lain. Salah satu yang menarik perhatian kakak sepupu saya adalah bunga edelweis yang sudah dirangkai sedemikian rupa bahkan diwarnai. Kakak sepupu saya ini tertarik untuk membeli bunga edelweis tersebut. Selagi bertransaksi dengan penjualnya, saya bertanya dimana penjual bunga edelweis tersebut mendapatkan stok bunga edelweis. Menurut informasi yang diberikan penjual tersebut, mereka biasa memetik bunga edelweis di sebuah kawasan yang mereka sebut kaki gunung. Saya tidak tahu dimana tepatnya dan enggan bertanya lebih lanjut karena saya sudah tahu bahwa tidak akan mendapatkan jawaban yang saya mau. Cukup miris sebenarnya mengetahui bahwa bunga-bunga cantik itu dipetik dan diperjualbelikan. Padahal sudah menjadi kesepakatan bersama, terutama dikalangan pendaki serta pecinta alam, untuk tidak memetik vegetasi endemik dengan alasan apapun dan dengan jumlah sesedikit apapun. 

Akhir Petualangan Sehari

Puas dengan perjalanan hari itu, kami memutuskan untuk pulang. Ketika kami mulai meninggalkan kawasan wisata Dieng, gerimis mulai berubah menjadi hujan deras. Beruntung kami sudah menyelesaikan perjalanan kami. Hari itu merupakan salah satu akhir tahun yang paling berkesan bagi saya. Tidak hanya soal kedekatan dengan anggota keluarga, namun juga berbagai pengetahuan yang saya dapatkan dari pembicaraan dengan mereka maupun dengan melihat (membaca) berbagai sumber demi bisa menjadi tuan rumah serta tour guide yang baik bagi mereka.

Dieng, Takhta Berselubung Halimun Bagi Para Dewa

Dieng merupakan tempat yang luar biasa indah. Hari itu, saya hanya bisa mengunjungi tiga dari sekian banyak keindahan Dieng. Bagi para traveler dan penyuka kegiatan fotografi, kegiatan alam, dan sejarah budaya, Dieng tidak akan mengecawakan untuk dikunjungi. Beberapa rekomendasi destinasi wisata yang harus dikunjungi ketika ke Dieng antara lain puncak Sikunir, Gunung Prau, air terjun Sikarim, Festival Dieng Negeri di Atas Awan (Dieng Culture Festival) , Telaga Merdada, kawah Sileri dan beberapa lokasi kemah yang banyak tersedia di kawasan Dieng dan kaki Gunung Prau. Bagi para pengunjung yang datang dari luar kota, jangan khawatir soal penginapan. Di kawasan wisata Dieng banyak terdapat hotel maupun vila yang dapat disewa atau pilihan lainnya adalah menginap di pusat Kabupaten Wonosobo.

             

Sumber gambar: https://semarang.bisnis.com/read/20180806/535/824834/lebih-150.000-pengunjung-padati-dieng-culture-festival
Sumber gambar: https://semarang.bisnis.com/read/20180806/535/824834/lebih-150.000-pengunjung-padati-dieng-culture-festival
Kawasan Dieng akan ramai dikunjungi turis lokal maupun mancanegara ketika Festival Dieng Negeri di Atas Awan dimulai. Biasanya festival ini digelar antara bulan Agustus hingga September setiap tahunnya. Festival ini menyediakan berbagai pertunjukan berbasis adat dan budaya seperti prosesi pemotongan rambut gimbal (gembel), pertunjukan wayang kulit, pesta lampion dan kembang api, serta pertunjukan musik jazz. Festival ini selalu berhasil menarik perhatian turis lokal maupun mancanegara, sehingga dijadikan sebagai salah satu daya tarik utama Dieng. 

Yogyakarta, 18 Maret 2021

Marsella Wahyu D.W.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun