Di antara hiruk-pikuk Desa yang ramai, terdapat sosok sederhana bernama Pak Arif. Hidupnya jauh dari kata mudah, tetapi tekadnya untuk menjaga keluarga tetap utuh menjadi cerita yang menginspirasi. Bersama istrinya, Bu Aminah, dan dua anak mereka, Laila dan Dodi, Pak Sarman menjalani kehidupan tanpa rumah. Mereka tidur di bawah emperan toko, memanfaatkan kardus dan plastik sebagai alas, sambil menghadapi kerasnya realitas kota yang acuh tak acuh terhadap orang kecil seperti mereka.
Setiap pagi, sebelum Desa sepenuhnya terbangun, Pak Arif memulai perjalanan panjangnya. Dengan membawa karung lusuh di bahunya, ia menyusuri gang-gang sempit, tempat pembuangan sampah, hingga pasar-pasar yang sudah lengang. Ia mengumpulkan apa saja yang bisa dijual, seperti botol plastik, kaleng, atau kardus. Karung yang semakin berat terasa seperti simbol perjuangannya, tetapi bagi Pak Arif, beratnya karung itu tidak sebanding dengan tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga yang tak pernah ia tinggalkan.Â
Di tengah kesulitan, Bu Aminah selalu mendampinginya. Ia membantu memilah sampah yang dikumpulkan suaminya dan merawat kedua anak mereka dengan penuh kasih sayang. Bersama-sama, pasangan ini menunjukkan bahwa meskipun mereka tidak memiliki harta, cinta dan kekuatan keluarga tetap menjadi pijakan yang kokoh dalam menjalani hidup penuh kesederhanaan tetapi bermakna.Â
Dodi, anak Laki-laki sulung mereka yang berusia 12 tahun, dan Laila, Anak perempuan bungsu mereka yang baru berumur 9 tahun, seharusnya berada di bangku sekolah. Namun, keterbatasan ekonomi membuat keduanya tidak dapat mengenyam pendidikan. Meski demikian, mereka tidak pernah merasa kehilangan semangat. Laila sering membantu ibunya memilah barang-barang yang masih layak dijual, sementara Dodi terkadang ikut bersama ayahnya menyusuri jalanan, belajar arti kerja keras dan tanggung jawab sejak usia dini. Â Â
Pak Arif  sebenarnya memiliki impian besar untuk kedua anaknya. Ia ingin Laila dan Dodi mendapatkan pendidikan yang layak agar kelak tidak harus hidup sekeras dirinya. Namun, realitas memaksanya untuk memprioritaskan kebutuhan harian, seperti makan dan tempat berteduh. Meski sering merasa sedih melihat mimpi itu tampak jauh, ia tetap percaya bahwa Tuhan tidak akan meninggalkan mereka selama mereka terus berusaha dan tidak putus asa.Â
Hidup sebagai pemulung bukanlah pilihan yang mudah. Setiap hari, Pak Arif  harus menghadapi cuaca yang tidak menentu, dari teriknya matahari hingga hujan deras yang membasahi tubuhnya. Kadang kala, ia juga harus menahan sakit hati karena cemoohan atau pandangan merendahkan dari orang-orang yang memandang pekerjaan itu sebelah mata. Namun, semua itu tidak pernah membuatnya menyerah. Baginya, pekerjaan apapun yang halal adalah sebuah kehormatan dan tanggung jawab.Â
Terkadang ada seseorang yang melihat mereka tertidur di emperan toko, merasa kasihan, dan memberikan sedikit uangnya untuk keluarga Pak Arif. Meski jumlahnya tidak besar, pemberian tersebut menjadi bentuk kepedulian yang sangat berarti bagi mereka dan bukti bahwa keajaiban kecil bisa hadir di tengah sulitnya hidup.
Kisah Pak Arif mencerminkan keteguhan seorang ayah yang tak kenal lelah. Meski hidup serba terbatas, cinta dan harapan keluarganya memberi kekuatan untuk bertahan. Di balik karung usang yang dipikulnya, tersimpan impian besar agar anak-anaknya menikmati kehidupan lebih baik.