Semakin maraknya kasus bunuh diri di negara kita harusnya menjadi suatu perhatian khusus oleh masyarakat. Kebanyakan kasus bunuh diri disebabkan oleh gangguan mental yang dialami para remaja. Apabila tidak ditangani dengan serius, peristiwa ini mungkin bisa bertamah setiap harinya. Penyebab utama dari gangguan mental adalah depresi.
Depresi merupakan suatu kondisi terganggunya kesehatan mental seseorang yang berpengaruh pada perasaan, emosi, pola pikir dan cara berperilaku. Kondisi tersebut dapat berpengaruh pada berbagai permasalahan emosional dan fisik. Gangguan jiwa bisa terjadi pada siapa saja tanpa pengecualian. Gangguan kecemasan merupakan penyebab yang paling sering dialami remaja.
Berdasarkan data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, lebih dari 19 juta penduduk Indonesia dengan usia diatas 15 tahun mengalami gangguan mental emosional. Sementara itu, 12 juta penduduk Indonesia yang sama mengalami depresi. Presentase ini cukup membuktikan bahwa ini merupakan masalah yang cukup serius mengingat bahwa generasi muda merupakan harapan bangsa.
Dr.Celestinus Eigya Munthe mengatakan bahwa Indonesia memiliki prevalensi orang yang mengalami gangguan jiwa sebanyak 1 dari 5 penduduk. Berarti 20% dari penduduk indonesia berpotensi mengalami gangguan jiwa.
Gangguan jiwa dapat disebabkan oleh faktor internal dan faktor eksternal. Masing-masing bisa menyebabkan masalah serius apabila tidak ditangani. Faktor internal yang menjadi penyebab berasal dari pikiran individu tersebut sendiri. Kebiasaan untuk memikirkan hal-hal yang belum tentu terjadi dapat membuat seseorang menjadi cemas yang berujung depresi. Ini perlu dihindari agar tidak mengganggu aktivitas / pola hidup yang sedang dijalani. Kemudian faktor eksternal berupa diskriminasi, bullying, stigma dan sebagainya yang berasal dari lingkungan. Fenomena yang terjadi adalah, perilaku-perilaku tersebut sering dianggap biasa oleh kalangan masyarakat kita. Padahal kita tidak tahu bagaimana perasaan orang yang diperlakukan seperti itu. Seperti anak yang suka mengejek temannya, hal itu dianggap sepela oleh orangtua bahkan kadang orangtua turut mendiskriminasi anak.
Dapat kita simpulkan bahwa pengetahuan masyrakat Indonesia terkait kesehatan mental masih kurang. Bahkan dari tenaga pendidik yang harusnya mendidik para remaja terkadang justru melakukan diskriminasi ketika jam pelajarannya, memberi stigma buruk pada anak didiknya. Apakah hal tersebut lazim untuk seorang tenaga pendidik? Belum lagi dari lingkungan yang terkadang memberi stigma buruk tanpa adanya bukti.
Perlunya di adakan program dan pelayanan gangguan jiwa oleh pemerintah setiap daerah guna menyikapi permasalahan ini. Pembentukan program dan pelayanan tentunya harus dengan fasilitas yang memadai untuk mencapai kriteria yang diinginkan. Dan saran untuk media agar lebih menyaring informasi yang ditayangkan untuk mengurangi stigma-stigma yang terjadi pada masyarakat. Selain itu media juga bisa meningkatkan lebih banyak informasi terkait kesehatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H