Mohon tunggu...
Marrisa RizqilHaque
Marrisa RizqilHaque Mohon Tunggu... Guru - Guru

Perempuan sederhana yang mencintai murid-muridnya dan menjadikan mengajar menjadi hobinya

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Saya Bahagia Telah Menemukan Kurikulum Merdeka

26 Oktober 2022   20:22 Diperbarui: 26 Oktober 2022   20:34 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Saat ini saya berkesempatakan mengikuti Pendidikan Profesi Guru atau yang biasa disingkat dengan PPG. Ketika saya mulai mengikuti awal perkuliahan PPG Prajabatan ini, saya sangat kaget ketika dihadapkan dengan materi tentang Ki Hajar Dewantara. Nama beliau berkali-kali disebut dan didengungkan dalam beberapa materi, khususnya dalam Mata Kuliah 'Filosofi Pendidikan Nasional'. 

Semasa saya mengikuti pendidikan S1, terus terang sedikit sekali kesempatan terpapar informasi mengenai beliau.  Padahal saat itu saya berkuliah di jurusan khusus pendidikan. Idealnya, tentu semangat menjadi guru dan pendidik sudah harus mulai dikobarkan pada saat itu. Dan tentu saja, teman-teman seangkatan saya hanya sedikit yang akhirnya meniti jalan masa depan menjadi seorang Guru.

Dari situ pula lah, saya menjadi enggan menjadi seorang Guru. Bagi saya saat itu menjadi Guru tak lebih dari meniti jalan suram. Tak cukup populer sebagai sebuah profesi menjanjikan. 

Padahal ketika saat ini, akhirnya menemukan dan membaca sejarah dan perspektif Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan, sungguh menjadi seorang Guru adalah sama dengan menjadi ujung tombak cita-cita luhur Ki Hajar Dewantara. Cita-cita luhur yang dilahirkan dan dibangun tak hanya melalui buah pikiran saja tetapi juga dengan jerih payah perjuangan melawan kolonialisme. 

Perjalanan pendidikan di bumi pertiwi ini sebenarnya diawali dari pendidikan yang berbasis keagamaan. Bahkan sejak berjayanya kerajaan-kerajaan di Nusantara seperti Kerajaan Majapahit, Sriwijaya, dan Kutai. 

Pendidikan agama Hindu-Budha ini dilaksanakan di padepokan-padepokan yang dipimpin oleh para Brahmana. Materi pembelajaran yang diberikan bersifat religius dan spirittual. Walau sayangnya hanya terbatas untuk beberapa kalangan saja. Beralih ke masa kejayaan Islam, para saudagar Gujarat yang membawa agama Islam ke Nusantara mencetuskan munculnya beberapa pendidikan agama Islam di Indonesia bahkan sejak kolonialisme tiba. Pendidikan agama Islam tersebut berupa pendidikan di pesantren, mushola atau langgar, dan madrasah yang dipimpin oleh seorang Kyai. Di bawah Kyai ada guru ngaji yang tak hanya mengajarkan agama namun juga ilmu astronomi. 

Sistem pendidikannya masih bersifat sukarela. Guru yang mengajar melakukan semata-mata karena Allah SWT dan muridnya pun datang dengan sukarela. Sebegitu kuatnya, hingga Belanda tiba di Indonesia, pendidikan di pesantren, mushola, dan madrasah masih bertahan. Dengan tibanya Portugis yang datang ke Indonesia untuk mencari rempah-rempah di Indonesia, pendidikan berbasis agama Kristen-Katholik mulai bermunculan.  

Pendidikan agama Kristen-Katholik tersebut dilakukan oleh misionaris Katholik-Roma yang mendidik anak-anak setempat dengan menyelenggarakan seminar-seminar. Walau Portugis tak lama di Indonesia, penyebaran pendidikan agama Kriten-Katholik itu akhirnya dilanjutkan oleh Belanda. 

Di sinilah Belanda mulai berkuasa mengendalikan pendidikan di Indonesia. Belanda memang memfasilitasi pribumi untuk bersekolah namun hanya sebatas agar bisa membaca, menulis, dan berhitung. Hal ini lah yang selalu dikritisi dengan tajam dan lugas oleh Ki Hajar Dewantara hingga harus diasingkan ke Belanda. 

Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan seharusnya memerdekakan individunya untuk mampu mengembangkan budaya dan belajar sesuai dengan kodrat dengan semaksimal mungkin untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Tak hanya untuk memenuhi target kemampuan kognitif semata. Jika disimpulkan, Ki Hajar Dewantara sungguh mempunyai visi pendidikan yang sangat berpihak pada murid. 

Inilah yang saat ini disebut  pembelajaran dengan paradigma baru. Dalam hal ini berarti pendidikan tidak hanya sebagai alat pemaksa dan penindas untuk mencapai target tertentu yang membuat generasi penerus bangsa ogah berlama-lama menjadi pembelajar, tapi juga sebagai pendorong agar para generasi penerus bangsa terus bersemangat menuntut ilmu hingga mampu menghayati dirinya sebagai pembelajar sepanjang hayat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun