Masalalahnya, seberapa tahan dan kuat kita untuk tidak termakan berbagai bentuk provokasi-provokasi itu?
Sejak masa kampanye, saya merasa jika secara implisit pemilu dimaknai secara negatif. Tidak sedikit yang menginginkan pemilu cepat berakhir, supaya tidak ada lagi "perpecahan". Mereka mau pemilu cepat berlalu, karena takut jika moment pemilu bisa menjadi pemecah.
Yang membuat saya lebih risih lagi di pemilu ini adalah mereka yang memiliki pandangan berbeda juga lantas dikategorikan sebagai pihak yang ikut terpecah. Berbalas twit dan debat panjang lebar di chat room untuk menanggapi Debat Pilpres atau sekedar menyinggung pemilu dianggap sedang terpecah.
Dalam kehidupan sehari-hari pun, pemilu menjadi sesuatu yang sensitif untuk diperbincangkan. Orang cenderung menghindari topik-topik yang mengarah kepadanya. Iya, sebisa mungkin bahasan tentang pemilu harus dijauhi.
Secara pribadi, mulai masa kampanye hingga kini, saya tidak pernah merasa sedang terpecah. Saya sadar jika kita berkembang melalui dialektika. Dialektika membutuhkan kontradiksi dan multi persepsi. Yang terpenting adalah bagaimana perbedaan itu didasari atas kecintaan terhadap NKRI. Jadi perbedaan pendapat atau pilihan itu memang diperlukan, sehingga demokrasi kita makin berkembang.
Sampai disini seharusnya ada batasan antara berbeda dengan terpecah. Berbeda belum tentu terpecah, tapi terpecah sudah pasti berbeda. Apabila perbedaan itu didasari atas kecintaan terhadap NKRI semestinya itu bukan perpecahan. Mungkin yang terpecah adalah mereka yang saling menyudutkan satu sama lain atas dasar kepentingan tertentu. Semoga saja mereka yang menerima maupun tidak mau menerima hasil quick count, sama-sama mendasarkan diri mereka akan rasa cinta terhadap NKRI.
Terakhir, banyak pihak yang telah berjuang untuk pelaksanaan dan kesuksesan pemilu tahun ini. Mulai dari KPU sendiri sebagai pelaksana, petugas KPPS yang kelelahan, petugas kepolisian, pak hansip yang tidak tidur, pak sopir yang mengantar surat suara dan berbagai keperluan pemilu, dan masih banyak pihak yang tidak bisa saya sebutkan. Mereka patut diapresiasi. Bentuk apresiasi yang paling sederhana tentunya mengawal proses penghitungan suara, dengan percaya pada integritas KPU. Kritis harus, tapi mbok ya jangan negative thinking terus.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H