Pemilu telah dilaksanakan secara serentak pada 17 April 2019 yang lalu. Menurut quick count atau hasil perhitungan cepat yang dilakukan oleh beberapa lembaga survei seperti Charta Politika, Litbang Kompas, IndoBarometer, Poltracking Indonesia, dan Indikator Politik Indonesia, pasangan Jokowi-Amin lebih unggul dari Prabowo-Sandi. Perhitungan tersebut bukanlah hasil resmi, karena perhitungan resmi oleh KPU baru akan diumumkan pada 22 Mei mendatang. Meski demikian, hasil hitung cepat tersebut bisa memberikan gambaran hasil pemilu kepada publik.
Tidak sejalan, BPN Prabowo-Sandi sekaligus para pendukung paslon 02 lantas tidak percaya dengan hasil perhitungan cepat tersebut. BPN mengklaim, bahwa berdasarkan perhitungan Exit Poll yang dilakukan oleh internalnya, Prabowo-Sandi lebih unggul dibandingkan Jokowi-Amin. Bahkan, Prabowo pun sudah mendeklarasikan kemenangannya.
Sejak masa kampanye dimulai hingga pemilu dilaksanakan, rakyat telah terpolarisasi menjadi beberapa kubu. Sebut saja Cebong, Kampret, Golputers, serta setidaknya mereka yang tidak ingin ikut-ikutan. Ketengangan terjadi, masyarakat juga terpecah, bangsa terbelah?
Kini setelah pemilu usai pun, ketegangan masih terjadi. Tidak bisa diprediksi akan sampai kapan. Masyarakat masih "terpecah", yakni mereka yang percaya akan hasil hitung cepat dan mereka yang tidak mempercayainya.
Mereka yang menerima hasil hitung cepat, berangkat pada argumen bahwa quick count menggunakan metodologi, sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Tingkat akurasinya tinggi. Selain itu, di Indonesia quick count sudah dilaksanakan sejak Pemilu 2004. Lewat pengalaman itu, antara quick count dengan hasil hitung resmi KPU, hasilnya tidak beda jauh.
Sedangkan mereka yang tidak mempercayai hasil hitung cepat menuduh jika KPU curang, quick count hanya akal-akalan penguasa, semua media sudah di bawah kendali pemerintah, dan tetap bertahan pada pendirian bahwa Prabowo-Sandi menang.
Tetapi, apakah yang memecah belah kita adalah Pemilu? Saya kira tidak! Pemilu merupakan ajang pesta demokrasi. Pemilu adalah milik rakyat. Kita, yang juga bagian dari rakyat, seharusnya menikmati pesta ini. Menyambut dan melaksanakannya dengan penuh kegembiraan.
Pemilu itu netral, seperti halnya sepak bola. Ketika ada kericuhan, bahkan tawuran antar dua pendukung tim sepak bola, karena ada salah satu tim yang tidak mau menerima hasil pertandingan, maka jangan pernah kita menyalahkan sepakbola. Salahkan saja oknumnya.
Demikian juga dengan pemilu. Ketika kita bosan melihat ketegangan-ketegangan yang terjadi di sosmed, televisi, bahkan dunia nyata. Saat kita marah, melihat orang-orang yang marah. Pada waktu kita sedih, gundah gulana melihat orang-orang yang saling menyalahkan. Jangan pernah kita menyalahkan pemilu. Â Janganlah kita menganggap pemilu sebagai pembelah.
Dalam konteks pemilu, lantas siapa atau apa yang patut disalahkan? Sepertinya tidak ada. Jika hal yang demikian kita lakukan, justru hanya akan menambah aksi saling menyalahkan. Tidak perlu menyalahkan provokator atau oknum. Dengan tidak menerima provokasi sepertinya cukup.