Mohon tunggu...
Marqus Trianto
Marqus Trianto Mohon Tunggu... Administrasi - Mahasiswa

Penikmat sejarah

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Yang Klasik, namun Laku di Politik

8 Desember 2018   01:56 Diperbarui: 8 Desember 2018   02:14 378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tentu kita semua sudah tahu jika Pilpres 2019 nanti menampilakan dua pasang Capres dan Cawapres. Nomor urut satu, Joko Widodo dan KH Ma'ruf Amin, yang didukung oleh sepuluh partai politik: PDIP, Nasdem, Hanura, Perindo, PSI, PPP, PKB, PKPI, dan PBB yang baru saja "putar haluan". Sedangkan nomor urut dua menampilkan Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno, yang disokong oleh lima parpol koalisi: Gerindra, PAN, PKS, Berkarya, serta Domokrat yang di dalamnya nampak tidak kompak.  

Banyak orang menilai apabila melihat ideologi masing-masing partai pendukung, kemudian berusaha menghubungkannya dengan peta politik di AS, Jokowi digambarkan sebagai tokoh progresif (kiri) sedangkan Prabowo menjadi simbol konservatisme (kanan), seperti halnya Partai Demokrat dan Republik. Bahkan Pemilu di Prancis dan Brazil pun juga turut disebut. 

Semua ini tidak lepas dengan metafor "Winter is coming" Jokowi dan "Make Indonesia Great Again" Prabowo. Jokowi berniat membawa pesan perdamaian dan persahabatan untuk seluruh negara. Ketika semua negara berlomba-lomba dan saling bertikai untuk menjadi yang nomor satu dalam perekonomiannya, Jokowi memberi sinyal justru hal tersebut akan membawa akibat yang buruk bagi negara lain. Sedangkan Prabowo berupaya memberikan harapan untuk membawa Indonesia berjaya, yang sama sekali tidak bergantung kepada negara asing.

Kalimat Prabowo tersebut merupakan kalimat yang sama dengan kampanye "Make America Great Again" ala  Donald Trump, maupun great great yang lain lagi, seperti ala Le Pen (Prancis) dan Bolsonaro (Brazil). Mungkin saya setuju dengan pendapat Rocky Gerung ketika dirinya diundang di CNN tanggal 21 November yang lalu. Terlalu berlebihan untuk memetakan ideologi dari kedua belah kubu tersebut, ketika membandingkannya dengan negara yang tingkat literasinya tinggi. Meski demikian, bukan berarti saya lantas secara radikal setuju dengan pendapat RG tersebut. Rasanya juga tidak terlalu berlebihan apabila melihat Prabowo yang hadir dalam acara reuni 212 kemarin.  

Kacamata lain pun juga dapat kita pakai. Seperti misalnya, Jokowi dan parpol di belakangnya lebih bersifat sekuler, sedangkan Prabowo sebagai wakil dari umat Islam. Lagi-lagi penilaian ini juga tidak sepenuhnya benar. Pasalnya justru cawapres Ma'ruf Amin merupakan simbol religiositas. Tetapi Jokowi tetap kena.

Mungkin yang agak lebih tepat, baik Jokowi maupun Prabowo memiliki masa lalu yang sulit untuk dibersihkan. Jokowi lahir di daerah yang dulu merupakan kantong PKI dan Prabowo memiliki kisah masa lalu dimana ia yang pernah menjadi orang kepercayaan Soeharto, menempati posisi terpandang, serta terlibat dalam berbagai aksi yang berkaitan dengan isu HAM. Jokowi merupakan representasi dari PKI, sehingga orang-orang di belakangnya pasti juga demikian, sedangkan Prabowo merupakan representasi dari Orde Baru, yang keduanya memang seperti minyak dan air.

Tuduhan PKI yang ditujukan kepada Presiden Jokowi sebenarnya sudah hangat menjelang pilpres 2014 yang lalu. Rupanya hal ini masih laris manis di pasaran (dan mungkin sudah paten), apalagi menjelang agenda rutin lima tahunan ini. Terbukti bahwa akhir-akhir ini banyak beredar spanduk yang menerangkan bahwa Jokowi PKI. Tidak tau siapa oknum dibalik semua ini. Namun dengan mudah, kubu Jokowi atau paling tidak saya sebut para fans Jokowi akan secara otomatis menyebut bahwa perbuatan senonoh tersebut merupakan ulah dari kubu sebelah.

Yang lebih lucu lagi adalah ketika beberapa waktu lalu Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Grace Natalie dilaporkan ke Bareskrim Polri terkait dengan isi pidato yang disampaikannya dalam perayaan Ulang Tahun PSI yang ke-4. Pernyataan Grace dinilai mengarah kepada ujaran kebencian dan penistaan terhadap agama Islam. Padahal, dalam pidatonya ia tidak hanya menyinggung ketidaksetujuannya soal Perda Syariah, tetapi "PSI tidak akan pernah mendukung Perda-perda Injil dan Perda-perda Syariah", demikianlah kurang lebih yang diucapkannya. Ketua umum  PSI tersebut lebih dahulu menyebutkan kata Injil, daripada kata Syariah. 

Namun publik, atau sebut saja mereka para korban tontonan film PKI ramai-ramai mengatakan bahwa PSI anti agama, PSI alergi agama, PSI itu komunis, dan lain sebagainya. Dalam literasi orang Indonesia secara umum dan khususnya dalam kamus mereka yang tidak suka Jokowi dan PKI, hal atau tindakan apapun yang dirasa tidak kompatibel dengan ajaran kitab suci maka akan langsung dihubungkan dengan komunis. Dan apa yang berbau komunis akan selalu dikaitkan dengan PKI. Namun demikian, imajinasi semacam ini harus tetap dihargai, dengan dasar perbedaan kadar ataupun sumber literasi.

Minggu-minggu ini yang tidak kalah membuat nitizen sibuk membuka smartphone miliknya adalah terkait dengan pernyataan politikus Partai Berkarya sekaligus putri Presiden Soeharto, yakni Titiek Soeharto yang ingin mengembalikan Indonesia ke era Orde Baru. Banyak pihak menilai jika Partai Berkarya mencoba mengangkat kembali ideologi Soeharto. Partai Berkarya juga merupakan simbol kebangkitan dinasti cendana. Pernyataan Titiek ini tentu menimbulkan polemik tersendiri, serta menjadi bahan yang empuk bagi kubu pertahana. Bagi mereka yang sudah pernah mengalami sendiri bagaimana kerasnya Orde Baru atau mereka yang hanya sebatas belajar tentang Orde Baru lewat banyak literatur, tentu tidak akan sepakat dengan pernyataan Titiek tersebut. Membangkitkan Orde Baru, sama saja dengan membunuh Reformasi yang sudah berjalan selama 20 tahun.

Dari sisi positif, Orde Baru (Orba) memang memiliki banyak prestasi. Orba terkenal dengan pembangunan yang maju dan kala itu Indonesia mampu swasembada pangan sendiri. Namun disisi  gelapnya adalah Orde Baru juga terkenal sangat sentralistik, militeristik, dan otoriter. Praktisnya, apa yang ditakuti dari Orba adalah pembatasan pers, demokrasi yang dilumpuhkan, banyak terjadinya kasus pelanggaran HAM, korupsi, dan pintu masuknya kapitalis asing. Narasi yang dibangun apabila masyarakat ingin kembali ke Orde Baru, sama saja mereka ingin masuk ke kandang buaya.

Dalam berbagai acara debat di beberapa channel televisi, yang mempertemukan kedua kubu, terlalu sering Orde Baru disebut oleh kubu pertahana. Sebagai contoh ketika kubu Prabowo mencoba mengkritisi pemerintahan Jokowi terkait banyaknya investor asing yang masuk ke Indonesia pada masa pemerintahannya, kubu pertahana langsung menangkis kritik tersebut lewat aspek historis. Pemerintah Jokowi seolah tidak bisa disalahkan dengan banyaknya investor tersebut, karena apabila melihat dari aspek historis, orang yang pertama kali dengan ramahnya membukakan pintu bagi para investor asing untuk masuk ke Indonesia adalah Soeharto. Dengan kata lain mereka mau mengatakan bahwa praktik kapitalisasi oleh pemodal asing bukanlah sesuatu yang masih baru di era Jokowi. Melainkan itu merupakan hal yang lazim sejak era Soeharto.

Yang terbaru adalah soal "korupsi" yang diangkat oleh Tim Jokowi. Mereka sependapat, jika Orde Baru merupakan rezim terkorup dalam sejarah Indonesia dan budaya korupsi yang ada saat ini hanyalah hasil gen-nya saja. Intinya mereka mau mengatakan bahwa Orde Baru merupakan simbol korupsi. Bahkan secara terang-terangan mereka mengusulkan apabila tema "Korupsi dan Orde Baru" masuk dalam salah satu kategori debat Capres-Cawapres. Akan tetapi, Tim Prabowo juga mengatakan bahwa korupsi di Indonesia sudah di mulai sejak era kolonial, di mana Indonesia saat itu masih bernama Hindia Belanda. Kalau begitu saya mau mengatakan jika praktik korupsi di Indonesia sudah dimulai sejak zaman Kerajaan Mataram Kuno. Korupsi merupakan kejahatan yang akan terus ada bersamaan dengan dinamika perjalanan sejarah umat manusia.

Saya tidak tahu. Apakah tuduhan sekaligus tantangan tersebut merupakan counter attack terhadap isu yang dilontarkan bahwa pada era Jokowi terdapat banyak kasus korupsi dan ia pun juga dinilai melindungi orang-orang yang terindikasi terlibat korupsi. Sehingga tema tentang korupsi yang diusulkan Tim Jokowi itu bisa saja menjadi tameng sekaligus klarifikasi. Namun menurut saya yang awam ini, langkah tersebut sah-sah saja. Karena dengan demikian demokrasi dapat lebih hidup.

Sampai sejauh ini, yang ada kurang lebih aksi saling menyalahkan dan mengungkit satu sama lain. Entah kedua tim kekurangan ide atau inspirasi saya juga tidak tau. Kubu Prabowo kalau tidak itu, paling jauh ya menyinggung kemiskinan. Prabowo terus berusaha membangun pesimisme rakyat, kemudian berupaya memberikan kepastian. Sedangkan Jokowi lebih suka mempopulerkan metafor-metafor seperti sontoloyo dan genderuwo.

Mungkin selain masalah korupsi, pengadaan susu gratis seminggu sekali untuk tiap keluarga yang memiliki balita bisa juga diangkat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun