Tentu kita semua sudah tahu jika Pilpres 2019 nanti menampilakan dua pasang Capres dan Cawapres. Nomor urut satu, Joko Widodo dan KH Ma'ruf Amin, yang didukung oleh sepuluh partai politik: PDIP, Nasdem, Hanura, Perindo, PSI, PPP, PKB, PKPI, dan PBB yang baru saja "putar haluan". Sedangkan nomor urut dua menampilkan Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno, yang disokong oleh lima parpol koalisi: Gerindra, PAN, PKS, Berkarya, serta Domokrat yang di dalamnya nampak tidak kompak. Â
Banyak orang menilai apabila melihat ideologi masing-masing partai pendukung, kemudian berusaha menghubungkannya dengan peta politik di AS, Jokowi digambarkan sebagai tokoh progresif (kiri) sedangkan Prabowo menjadi simbol konservatisme (kanan), seperti halnya Partai Demokrat dan Republik. Bahkan Pemilu di Prancis dan Brazil pun juga turut disebut.Â
Semua ini tidak lepas dengan metafor "Winter is coming" Jokowi dan "Make Indonesia Great Again" Prabowo. Jokowi berniat membawa pesan perdamaian dan persahabatan untuk seluruh negara. Ketika semua negara berlomba-lomba dan saling bertikai untuk menjadi yang nomor satu dalam perekonomiannya, Jokowi memberi sinyal justru hal tersebut akan membawa akibat yang buruk bagi negara lain. Sedangkan Prabowo berupaya memberikan harapan untuk membawa Indonesia berjaya, yang sama sekali tidak bergantung kepada negara asing.
Kalimat Prabowo tersebut merupakan kalimat yang sama dengan kampanye "Make America Great Again" ala  Donald Trump, maupun great great yang lain lagi, seperti ala Le Pen (Prancis) dan Bolsonaro (Brazil). Mungkin saya setuju dengan pendapat Rocky Gerung ketika dirinya diundang di CNN tanggal 21 November yang lalu. Terlalu berlebihan untuk memetakan ideologi dari kedua belah kubu tersebut, ketika membandingkannya dengan negara yang tingkat literasinya tinggi. Meski demikian, bukan berarti saya lantas secara radikal setuju dengan pendapat RG tersebut. Rasanya juga tidak terlalu berlebihan apabila melihat Prabowo yang hadir dalam acara reuni 212 kemarin. Â
Kacamata lain pun juga dapat kita pakai. Seperti misalnya, Jokowi dan parpol di belakangnya lebih bersifat sekuler, sedangkan Prabowo sebagai wakil dari umat Islam. Lagi-lagi penilaian ini juga tidak sepenuhnya benar. Pasalnya justru cawapres Ma'ruf Amin merupakan simbol religiositas. Tetapi Jokowi tetap kena.
Mungkin yang agak lebih tepat, baik Jokowi maupun Prabowo memiliki masa lalu yang sulit untuk dibersihkan. Jokowi lahir di daerah yang dulu merupakan kantong PKI dan Prabowo memiliki kisah masa lalu dimana ia yang pernah menjadi orang kepercayaan Soeharto, menempati posisi terpandang, serta terlibat dalam berbagai aksi yang berkaitan dengan isu HAM. Jokowi merupakan representasi dari PKI, sehingga orang-orang di belakangnya pasti juga demikian, sedangkan Prabowo merupakan representasi dari Orde Baru, yang keduanya memang seperti minyak dan air.
Tuduhan PKI yang ditujukan kepada Presiden Jokowi sebenarnya sudah hangat menjelang pilpres 2014 yang lalu. Rupanya hal ini masih laris manis di pasaran (dan mungkin sudah paten), apalagi menjelang agenda rutin lima tahunan ini. Terbukti bahwa akhir-akhir ini banyak beredar spanduk yang menerangkan bahwa Jokowi PKI. Tidak tau siapa oknum dibalik semua ini. Namun dengan mudah, kubu Jokowi atau paling tidak saya sebut para fans Jokowi akan secara otomatis menyebut bahwa perbuatan senonoh tersebut merupakan ulah dari kubu sebelah.
Yang lebih lucu lagi adalah ketika beberapa waktu lalu Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Grace Natalie dilaporkan ke Bareskrim Polri terkait dengan isi pidato yang disampaikannya dalam perayaan Ulang Tahun PSI yang ke-4. Pernyataan Grace dinilai mengarah kepada ujaran kebencian dan penistaan terhadap agama Islam. Padahal, dalam pidatonya ia tidak hanya menyinggung ketidaksetujuannya soal Perda Syariah, tetapi "PSI tidak akan pernah mendukung Perda-perda Injil dan Perda-perda Syariah", demikianlah kurang lebih yang diucapkannya. Ketua umum  PSI tersebut lebih dahulu menyebutkan kata Injil, daripada kata Syariah.Â
Namun publik, atau sebut saja mereka para korban tontonan film PKI ramai-ramai mengatakan bahwa PSI anti agama, PSI alergi agama, PSI itu komunis, dan lain sebagainya. Dalam literasi orang Indonesia secara umum dan khususnya dalam kamus mereka yang tidak suka Jokowi dan PKI, hal atau tindakan apapun yang dirasa tidak kompatibel dengan ajaran kitab suci maka akan langsung dihubungkan dengan komunis. Dan apa yang berbau komunis akan selalu dikaitkan dengan PKI. Namun demikian, imajinasi semacam ini harus tetap dihargai, dengan dasar perbedaan kadar ataupun sumber literasi.
Minggu-minggu ini yang tidak kalah membuat nitizen sibuk membuka smartphone miliknya adalah terkait dengan pernyataan politikus Partai Berkarya sekaligus putri Presiden Soeharto, yakni Titiek Soeharto yang ingin mengembalikan Indonesia ke era Orde Baru. Banyak pihak menilai jika Partai Berkarya mencoba mengangkat kembali ideologi Soeharto. Partai Berkarya juga merupakan simbol kebangkitan dinasti cendana. Pernyataan Titiek ini tentu menimbulkan polemik tersendiri, serta menjadi bahan yang empuk bagi kubu pertahana. Bagi mereka yang sudah pernah mengalami sendiri bagaimana kerasnya Orde Baru atau mereka yang hanya sebatas belajar tentang Orde Baru lewat banyak literatur, tentu tidak akan sepakat dengan pernyataan Titiek tersebut. Membangkitkan Orde Baru, sama saja dengan membunuh Reformasi yang sudah berjalan selama 20 tahun.
Dari sisi positif, Orde Baru (Orba) memang memiliki banyak prestasi. Orba terkenal dengan pembangunan yang maju dan kala itu Indonesia mampu swasembada pangan sendiri. Namun disisi  gelapnya adalah Orde Baru juga terkenal sangat sentralistik, militeristik, dan otoriter. Praktisnya, apa yang ditakuti dari Orba adalah pembatasan pers, demokrasi yang dilumpuhkan, banyak terjadinya kasus pelanggaran HAM, korupsi, dan pintu masuknya kapitalis asing. Narasi yang dibangun apabila masyarakat ingin kembali ke Orde Baru, sama saja mereka ingin masuk ke kandang buaya.