Mohon tunggu...
Marojahan Tampubolon
Marojahan Tampubolon Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, Doktor Bidang Elektronika

Anak Sumatera. Pernah merantau ke Taiwan. Sekarang berkarir jadi Dosen.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bisa Belajar Apa dari Peristiwa Jumat Agung?

16 April 2022   06:00 Diperbarui: 26 Januari 2023   13:32 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Peringatan kematian Yesus Kristus adalah salah satu momen penting bagi mereka yang memeluk Kristen Protestan maupun yang menganut Katolik. 

Peringatan ini bukan hanya ritual belaka, tetapi juga menjadi salah satu pilar iman dan fondasi teologi kekristenan. Karena tanpa kematian Yesus, teologi kekristenan akan mengalami kekosongan dan ketidaksinambungan.

Bagi orang-orang yang mengalami langsung persitiwa tersebut, kematian Yesus memiliki berbagai kemungkinan makna dan sudut pandang. 

Bagi orang-orang Farisi dan Ahli Taurat, kematian Yesus adalah wujud kemenangan mereka dalam menyingkirkan Yesus dari panggung kepemimpinan-Nya yang sudah mulai "viral". 

Bagi sebagian besar orang Yahudi, kematian Yesus adalah sesuatu yang memuaskan karena keinginan mereka untuk menyalibkan Yesus benar-benar dapat terjadi dan dikabulkan oleh penguasa pada masa itu yaitu Pilatus. 

Mereka melihat bahwa hukuman itu pantas diberikan bagi orang yang menghina Tuhan. Mungkin bagi para tentara Romawi, kematian Yesus hanya salah satu perintah atasan yang berhasil ditunaikan.

Beda halnya dengan kelompok masyarakat di atas. Bagi sebagian murid Yesus, peristiwa itu adalah simbol kekalahan dan padamnya harapan. 

Maklum, mereka salah kaprah dengan misi Yesus, dimana mereka berpikir bahwa Yesus akan memimpin secara politik, dan akan membebaskan mereka dari penguasaan Kekaisaran Roma yang menguasai tanah mereka kelak.

Jika kita hidup pada saat itu, kita mungkin masuk dalam salah satu kelompok ini. Namun, kita sebagai pembaca sekarang yang telah mengetahui perjalanan Yesus, tidak perlu lagi menerka-nerka apa yang akan terjadi dan apa dampak dari peristiwa tersebut. 

Dari berbagai interpretasi dan refeksi yang dapat dibuat dari rangkaian peristiwa penyaliban, ada satu tema inti disana, yaitu "penebusan". Penebusan menghasilkan perdamaian dan rekonsiliasi.

Mari kita tidak menjadi terlalu teologis dalam artikel ini. Sehingga kita tidak perlu mendiskusikan mengapa harus ada kematian agar terjadi perdamaian, atau mengapa nyawa satu orang bisa menebus semua umat manusia. Kita tinggalkan pertanyaan tersebut untuk dijawab para teolog. Mari kita berfokus pada ucapan Yesus di kayu salib.

Dari berbagai ucapan Yesus ketika di kayu salib, ada satu ucapan yang menarik untuk ditelisik. Ucapan itu adalah "Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat." 

Mereka disini tidak secara spesifik merujuk pada kelompok tertentu. Apakah kepada tentara Roma karena perlakuan mereka, atau kepada orang-orang yang menyalibkan dia, tidak ada yang tahu persis. Namun ada yang berpendapat bahwa "mereka" pada ucapan itu berlaku untuk kedua kelompok tersebut.

Yesus memohonkan pengampunan bagi mereka walau mereka telah menyalibkan-Nya. Secara manusiawi kita cenderung akan membalaskan hal yang jahat yang kita terima, jikapun tidak membalas, keinginan untuk mengharapkan yang baik bagi orang-orang yang menyakiti kita bukanlah tindakan umum yang dapat kita temui. 

Karena itulah, tak jarang kita melihat ada orang yang senang ketika orang-orang yang tidak disukainya mengalami musibah atau suatu hal yang merugikan dia. Ada yang berujar "itu karmamu", "mampus!, rasakan, itu akibat ulahmu"

Dalam konteks bernegara, perbedaan keyakinan dan pandangan politik sering sekali menjadi pemicu konflik antar kelompok masyarakat. Kecurigaan dan rasa tidak percaya seakan tidak pernah lepas dari kehidupan. 

Diam-dia kita menaruh dendam kepada orang lain, bahkan ada yang mencari waktu untuk membalaskannya kelak. Bukankah hidup yang demikian melelahkan, membuat hidup tidak nikmat.

Bagaimana jika kita meniru tindakan Yesus tadi. Dia mengaharapkan yang baik untuk para pembencinya. Dia berdoa untuk pengampunan mereka. 

Bukankah hidup yang demikian akan menciptakan hidup yang lebih indah dan damai? Bukankah hidup yang demikian membuat kita lebih befokus pada kemajuan kita bersama daripada celaka bagi mereka yang bukan golongan kita? 

Pembelajaran dari peristiwa penyaliban seharusnya bisa mengajar kita bagaimana berlaku bagi golongan yang berbeda. Bukan celaka yang kita harapkan, tetapi berkat. Apakah ini mudah? Tentu tidak. Oleh karena itu marilah kita semua membisikkan doa "semoga Tuhan memberi kekuatan"  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun