Api Nan Sulit Menyala
Oleh: Rut Marlita
Terbangun aku dari lelapku, kumulai dengan pengarahan pandangan kepada Sang Khalik, berharap mampu menjalani hari ini dengan segala cerita yang ada di dalamnya. Tak lupa juga membawa di dalam harapku bencana non alam yang menyelimuti tanah, tempatku berpijak. Kuakhiri dengan satu kata yang berarti pasti didengar.
Keluar dari ruanganku berbaring, aku hendak memulai suatu pekerjaan yang sebelumnya belum kulakukan. Memasak air memakai api kayu. Ya benar, di rumah kami sudah lama sekali tidak memasak dengan menggunakan kompor. Kuawali dengan mengisi air di dalam wadahnya, kuhitung setiap gayungannya. Wah sembilan gayungan untuk mengisi wadah air ini. Kubiarkan air itu, lalu membuka pintu belakang rumah dan melangkah ke arah pemasakan air.
Kulihat potongan karet ban. Aku ingat, setiap memasak air, pasti dimulai dengan membakar potongan karet ban ini. Kugesekkan mancis, potongan karet ban terbakar. Aku bingung, apa lagi yang hendak kulakukan. Oh iya, aku harus menciptakan tempat karet ini terbakar. Lalu kususun kayu pendek yang bersamaan menghadap ke depan dan saling bertemu. Karet ban masih menyala, dan sebentar lagi padam. Aku kehabisan akal, kulihat matahari telah menampilkan dirinya tanda aku yang menghabiskan waktu cukup lama untuk menghidupkan api ini. Kucoba lagi dengan membakar potongan karet yang lain, menyala. Dengan semangatnya, aku menggabungkan kayu yang besar dari tumpukan kayu yang telah dikumpulkan orang tuaku di samping tempat pemasakan itu. Namun, kayu yang besar itu memadamkan potongan karet ban tadi. Mungkin aku sudah menyerah, dan berpikir apa lagi yang harus kulakukan.
Tampak oleh ayahku aku yang kehilangan arah ini, dan menanyakan apa yang kulakukan di tempat pemasakan air itu. Ayah mendatangiku dan melihat yang telah terjadi. Bagaimana bisa aku menghabiskan potongan karet ban hampir sepertiga dari persediaannya? Kemudian ayahku mengambil alih dan memulai menyalakan api.
"Yang kamu lakukan dua tahap ini telah benar, Karina. Namun kamu lupa, api tidak dengan langsung membakar kayu yang besar ini. Kamu harus memulainya dengan membakar ranting-ranting ini. Setelah terbakar semuanya, kamu bisa melanjutkannya dengan kayu-kayu yang besar untuk menyalakan bara api ini." Ayah memulai tahap-tahap itu, aku memperhatikannya.
"Oh begitu ya, Ayah. Karina pikir, karena tujuan Karina untuk menyalakan api kayu, Karina hanya memulainya dengan membakar kayu itu, Ayah."
Sembari melakukannya ayah berkata, "Karina, semua butuh proses, semua butuh kiat. Untuk mencapai sesuatu, kamu harus setia melakukan kiat-kiat yang ada di dalam proses tersebut. Sama halnya dengan menyalakan api ini. Coba kamu sebutkan, apa saja yang tidak bisa dicapai jika tanpa kiat?" Ayah melanjutkan dengan rantingan kayu tadi.
"Ada Ayah, contohnya Covid-19 ini, sepertinya kita semua tidak akan sampai pada tujuan."
"Jangan salah Karina, penyeberan rantai virus ini dapat diputuskan, kok. Apakah kamu tidak memandang upaya pemerintah dalam mencapai tujuan kita bersama ini? Lihat saja, pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat sebelumnya telah diupayakan."
"Nah itu Ayah, sedangkan itu saja yang telah ada hanya berganti nama, tidak sampai pada tujuan kita."
"Proses Karina, kiat juga demikian. Ayah pribadi, menaruh kepercayaan kepada upaya pemerintah ini. Kita sebagai semua elemen, harus patuh kepada kiat di dalam proses itu. Keluar rumah tidak memakai masker, kita yang memaksakan diri untuk masuk ke dalam kerumunan tanpa kesadaran jaga jarak. Upaya dari pemerintah itu tidak akan efektif jika kita tidak patuh, sehingga kita tidak sampai pada tujuan itu." Setelah api dari ranting kayu menyala, Ayah melanjutkannya dengan kayu yang besar.
"Iya Ayah, Karina sendiri patuh dengan protokoler kesehatan kok. Tapi ya itu, tidak cukup satu atau dua orang yang melakukannya."
"Kamu telah mengakuinya, jadi untuk pencapaian tujuan kita bersama ini, ya harus dilakukan bersama juga.
"Bersama itu, maksudnya semua elemen, atau kiat-kiat yang Ayah maksud tadi?"
"PPKM itu tidak akan efektif berjalan kalau tidak dibarengi kesadaran akan kiat-kiat yang lain. Mungkin saja si A keluar menjaga jarak dengan sekitarnya, namun dia tidak memakai masker, ya PPKM itu tidak efektif. Atau, si B yang memakai masker keluar rumah, namun dia tidak menjaga jarak, PPKM itu juga tidak efektif, Karina. Si A dan si B mengatakan bahwa lingkungan yang kami datangi baik-baik saja, kok padahal, hal ini pun tidak menjadi jaminan. Karena, ada saja yang terjangkit tapi tak bergejala.
"Iya Ayah, temanku juga pernah memberitahukan ke aku, bukan hanya orang yang bergejala saja yang terjangkit, tapi kita yang tampaknya baik-baik saja, ada yang terjangkit, kok."
"Nah itu kamu tahu. Oleh karena itu, PPKM sangat perlu dibarengi dengan protokoler kesahatan lainnya. Segala pencapaiannya itu, kita harus setia pada proses, dengan fokus pada kiat-kiat yang ada, Karina." Ayah masuk ke dapur dan mengangkat wadah air itu, meletakkannya ke atas pemasakan tempat api itu menyala.
"Ayah mau ke mana? Oh iya, mengambil wadah airnya, ya. Hihihi" Aku terlalu fokus pada pengajaran Ayah, sampai-sampai lupa tujuanku tadi adalah memasak air.
"Lihat Karina, api ini tidak akan menyala besar jika tanpa dimulai dengan ranting-ranting ini, bukan? Mulailah dari diri kita sendiri, muda tua, kecil besar, perempuan laki-laki, pengangguran pekerja, semua perlu memulainya dengan kiat-kiat itu di dalam prosesnya, satu yang tidak kita nyalakan, tidak akan menyalakan api yang besar. Satu dari upaya pemerintah yang tidak kita indahkan, tidak akan menyampaikan kita pada pencapaian itu, Karina. Kamu mengertikan sekarang, mengapa PPKM tidak berjalan efektif? Jadi, sadarkan diri, lakukan semua kiat, setia pada proses."
"Baik Ayah, Karina semakin memahaminya. Sebelumnya terimakasih sudah mengajarkan Karina menyalakan api sebagai gambaran untuk sebuah pencapaian perlu setia pada proses dengan kepatuhan pada kiat."
***
Aku berniat tiap hari memasak air dengan kayu api ini. "Karina, Ayah ayok sarapan" Suara Ibu yang mengajak kami, dan kayu-kayu itu sesekali diperbaiki agar api tetap menyala.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H