Desa Tanjung Luar, terkenal dengan hasil ikan lautnya yang melimpah. Lokasinya berada di Kecamatan Keruak Kabupaten Lombok Timur. Di desa Tanjung Luar terdapat pasar ikan, yang terletak di pinggir pantai Tanjung Luar.Â
Sebagian besar pedagang menjual hasil laut, bahkan ada juga yang menjual ikan Hiu. Namun kali ini saya tidak mengulas mengenai kemudahan dan kebebasan nelayan mencari ikan hiu, mungkin lain kali akan saya ulas. Yang ingin saya ulas adalah transportasi antar pulau yaitu perahu.Â
Di seberang desa Tanjung Luar terdapat sebuah pulau kecil yang berpenduduk sangat padat, Pulau Maringkik namanya. Masyarakat pulau Maringkik ini, tentunya mencari kebutuhan hidup mereka sehari-hari keluar dari pulau mereka.Â
Karena lokasi mereka menyeberang lautan dan pulau tersebut juga sangat kecil, di tambah lagi tidak ada akses jalan raya bahkan di kenal dengan pulau tanpa aspal, sehingga tidak dapat terpenuhinya kebutuhan hidup mereka layaknya seperti daerah-daerah yang bisa di jangkau oleh para produsen.Â
Alhasil warga setempat harus menepi menuju desa Tanjung Luar untuk membeli semua kebutuhan mereka, kecuali ikan laut.Â
Mata pencaharian warga Pulau Maringkik sendiri sebagian besar adalah nelayan, mereka juga menggunakan perahu nelayan mereka untuk di tambangi sebagai alat transportasi antara Pulau Maringkik dan Desa Tanjung Luar.Â
Sistem penambangan atau transportasi mereka bergilir, tidak bebas asal main serobot. Ada aturan mainnya, dengan alasan agar warga mendapat rizky secara adil. Itulah kesepakatan mereka, sehingga walau terdapat banyak perahu setiap hari tetapi belum tentu semua bisa di gunakan atau di tumpangi.Â
Kami akan menuju Pulau Maringkik, jadwal perahu hanya ada pagi sampai siang saja dengan ongkos normal, yaitu sepuluh ribu per orang.Â
Lewat dari siang hari, berarti akan di hitung sewa perahu. Berapapun isinya bayarnya seharga sewa, yaitu dua ratus lima puluh ribu rupiah. Wow...bisnis yang kerren...Â
Sebelum berangkat, saya mengamati gerak transportasi di pantai ini. Ada beberapa perahu yang parkir agak tengah, sehingga penumpang yang akan menaiki perahu tersebut harus menggunakan perahu gabus untuk sampai di tengah.Â
Sebagian perahu juga bisa nyandar di tempat yang layak, sehingga penumpang bisa dengan nyaman menaiki perahu dengan menggunakan anak tangga yang sudah di siapkan.Â
Eit... tapi kalau melewati anak tangga, di jamin basah loh yaaa... karena penumpang harus turun ke laut menginjakkan kaki ke pasir yang tentunya di genangi air.Â
Saya memilih untuk melompat dari pinggir bibir pelabuhan agar tidak basah, jiwa setengah jantan saya bermanfaat kali ini.
Anak-anak di Pulau Maringkik sekolah di desa Tanjung Luar, di tempat tinggal mereka tidak terdapat sekolah.Â
Sehingga mereka untuk menuntut ilmu harus berjuang, tetapi tidak seektrem yang tersebar dalam berita yang saya tonton di tivi-tivi. Berita itu seringkali berlebihan, Bahkan kadang bagi yang memahami kondisi yang sebenarnya bisa terpancing emosi.Â
Beberapa hari lalu saya sempat menonton acara yang mengulas pulau ini, di dalam berita di sampaikan bahwa anak-anak sekolah terpaksa harus menggunakan perahu gabus untuk bisa sampai ke sekolah mereka.Â
Rasanya ingin marah, karena berita yang mereka sampaikan tidak benar adanya. Di Pulau ini baik itu Pulau Maringkik, pulau Gede dan Tanjung Luar terdapat sangat banyak perahu, dan kalau urusan sekolah mereka berhak mengantar dan menjemput anak mereka sekolah.Â
Rata-rata pendududk atau warga di sana memiliki perahu, uang bagi mereka bukan hal sulit untuk di cari, bagaimana tidak dengan hasil laut yang melimpah dalam waktu singkat mereka bisa menghasilkan banyak rupiah.Â
Namun kesulitan mereka adalah kebutuhan hidup di mana para produsen tidak bisa leluasa menjangkau mereka. Di Pulau Maringkik juga sudah ada wifi loh, bahkan mereka menggunakan tekhnologi yang tak kalah canggihnya dengan orang kota.Â
Televisi dengan ukuran besar, kulkas, mesin cuci juga ada di hampir setiap rumah, hanya saja memang kendala lain adalah air bersih. Mereka harus membeli air di desa Tanjung Luar, tentu dengan transportasi perahu yang waktu kerjanya memiliki jadwal yang sudah di tentukan.Â
Jadi tidak seprimitif yang di perlihatkan. Bisa tidak sih para host yang ganteng-ganteng dan cantik-cantik tidak mendramatisir berita, apa adanya saja itu lebih baik. Anda mungkin perlu tau, mereka hanya terpencil bukan kurang uang.Â
Kebetulan urusan kami baru bisa selesai setelah adzan ashar, Tentu kami kesulitan untuk kembali menepi. Namun syukurnya ada perahu yang bisa di sewa, dengan ongkos dua ratus lima puluh ribu tadi dengan waktu menyeberang kurang lebih dua puluh menit.Â
Perjalanan pulang kami tidak senyaman saat berangkat, angin kencang dan otomatis gelombang lautpun besar, Lumayan uji nyali tapi saya suka.Â
Oh Alam... apapun itu saya selalu jatuh cinta
*
@Lina_Hafs
#Lombok
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H