Mohon tunggu...
Lina Hafs
Lina Hafs Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wirausaha

Hanya seorang wanita sederhana yang senang menulis walau tak ada yang membaca...

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Sebungkus Nasi Untuknya

25 Mei 2023   21:53 Diperbarui: 25 Mei 2023   22:03 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ku hampiri dia, dan menyodorkan sepiring nasi yang ku ambil dari meja makan. Tak lupa satu botol air mineral yang terlebih dahulu ku buka segelnya. Dengan tangan gemetar dia menggapai piring nasi yang ku sodorkan..

 "makan pak ya.." ia mengangguk tanpa ekspresi. 

Semula aku berniat menawarkan untuk mencuci tangannya di kran halaman rumahku, namun belum sempat ku lontarkan  dia sudah makan dengan begitu lahap. Ah ya sudahlah, bukankah  hari-harinya juga tak pernah perduli dengan kebersihan badannya sendiri, namun herannya selalu saja tetap sehat dan kuat menjalankan hidupnya. 

Bajunya lusuh, kotor tentunya. Celana pendek yang dia kenakanpun sudah sangat dekil, sarung bermotif kotak-kotak dia lingkari di bahunya, tanpa alas kaki beraroma asam. 

Baca juga: Ya dan Tidak

Dia tetaplah manusia yang bisa lapar dan haus, mungkin otaknya sudah tidak berfungsi dan hidupnya tak karuan. 

Bahkan mungkin keluarganyapun tak mengharapkan dia pulang.  Tapi bisa jadi keluarganya sempat mencarinya namun  tak ditemukan. Dia berjalan dan berjalan tanpa arah, tapi dia tetaplah manusia walau kehilangan akal sehat. Kasihan... 

Aku beranjak masuk ke dalam rumah, ada rasa khawatir dia mengganggu. Pintu gerbang kututup, pintu rumahpun kututup untuk antisipasi saja. Aku tetap terjaga, memasang telinga dan mata. Wajar... karena bagaimanapun dia bukan orang waras yang memahami sopan santun bertamu. 

Sekitar satu jam kemudian, ku buka pintu rumah dan kudapati piring tadi sudah mulus bersih, rupanya dia makan seperti mengepel atau mungkin karena sangat lapar. Akupun beranjak keluar gerbang, dia sudah tidak ada di tempat... 

Baca juga: Waktu

Entah mengapa aku penasaran tentang keberadaannya, padahal aku sudah menyiapkan sarung dan baju kaos yang lebih layak dia gunakan. 

Kuceritakan hal itu pada suamiku, dan suamiku yakin suatu saat dia akan datang lagi. Setidaknya saat dia sangat lapar dia akan ingat bahwa di sini dia bisa mendapat sepiring nasi, tapi suamiku berpesan "lain kali jangan kasih sepiring, tapi bungkuslah juga sebagai bekalnya nanti" ujar beliau. "Ah masak iya, diakan gila... masak ingat" kataku ... suamiku hanya tersenyum sambil menganggukkan kepalanya dan mengusap kepalaku.

Beberapa hari kemudian benar saja, sepulang aku dari tempat kerja ku temui dia sudah berada di tempat yang sama seperti beberapa hari lalu. Di samping pintu gerbang rumahku, duduk memeluk lututnya dengan sarung buntutnya. Dia menatapku penuh harap, aku tersenyum walau dia tak butuhkan senyumku. 

"Tunggu sebentar ya, saya ambilkan nasi" kataku tanpa bertanya apa-apa. 

Dia mengangguk saja tetap tanpa ekspresi. 

Aku bergegas masuk ke rumah dan mengambil kertas bungkus nasi yang sengaja aku siapkan untuk jaga-jaga jika dia datang. Ku ambil 3 kali lipat sesuai pesan suamiku untuk bekalnya nanti. Lalu ku sodorkan tiga bungkus nasi itu lengkap dengan air mineral yang memang selalu ada di rumahku 

"ini pak, bapak makan ya..!!" 

Dia mengambil keresek yang ku sodorkan dan membukanya, mengambil satu bungkus dan menatapku sambil tersenyum. 

Demi Tuhan... tiba-tiba hatiku merasa runtuh seperti saat gempa Lombok berskala 70 magnitudo dulu, sedih sekali melihat senyumnya. Di saat orang-orang kaya membuang-buang makanan, dia harus menunggu di kasihani untuk dapat makan. Di saat orang-orang bisa makan enak dan sesukanya memesan dalam jumlah banyak, dia harus melipat lutut bersabar menunggu orang lain menyodorkan nasi untuknya.  

Di saat orang-orang banyak menikmati uang korupsi untuk berpoya-poya, dia hanya minta untuk tidak di tendang walau tak di beri. Di saat orang-orang berjoget-joget menikmati sensasi diskotik dengan menyiramkan alkohol di tubuh mereka, dia hanya mengharap ada sebotol air mineral yang bisa menambah energinya untuk meneruskan perjalannya yang tak berujung. 

Sesak hatiku membayangkan hampa hidupnya, bahkan aku lebih iba melihatnya di bandingkan pengemis-pengemis yang menyodorkan tangannya untuk minta di kasihani. Aku lebih sedih melihatnya di banding pemulung yang memporak porandakan bak sampah di depan rumahku hingga sampah-sampah yang sudah terkumpul menjadi berserakan. 

Aku lebih prihatin melihatnya di banding buruh-buruh pasar yang menawarkan jasa membawa barang belanjaanku hanya sekedar mengharap upah untuk beli beras hari itu. Bagaimana tidak, mereka masih mampu meminta, bekerja dan berusaha walau hasil tak seberapa. Tapi dia...GILA... ia tak mampu berpikir, dia tak bisa bekerja,takkan ada yang percaya padanya, tapi bagaimanapun dia manusia yang pasti lapar dan haus.

Tuhan... ketika aku tak bisa lagi bertemu dengannya, atau sedang tak bertemu. Tolong Tuhan, pertemukan dia dengan orang-orang baik yang ikhlas menawarkan sebungkus nasi dan segelas air untuknya. 

Ulurkan tanganmu kawan untuk mereka yang tak berdaya...
*

@Lina_Hafs

#Lombok

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun