Lho memang kenapa? Bukannya semua WNI berhak untuk mengajukan diri atau dipinang untuk menjadi Balon Cagub DKI? Jadi apa salahnya kalau “Tante Nana” diberikan kesempatan yang sama.
“Tante Nana” ini bukan orang sembarangan lho, keberaniannya melawan rezim orde baru patut dimasukan di dalam buku sejarah sekolah sekarang. Gak sedikit kiprahnya sebagai aktivis HAM yang membela rakyat kecil dan berjuang demi penegakan demokrasi di indonesia (reformasi). Beliau juga sebenarnya pantas disematkan bintang maha “putri” (sekalian koreksi buat pemerintah), atau bila perlu diperjuangkan untuk mendapat penghargaan bergengsi dunia lainnya, selain sudah menggodol Female Human Rights special Award dari The Asian Foundation For Human Rights di Tokyo pada tahun 1998, sebenarnya pantas juga untuk meraih penghargaan Gobel #eh Nobel maksudnya.
Jika dibandingkan Aung San Suu Kyi, “Tante Nana” ini juga pernah dipenjara lantaran berjuang melawan “rezim militer”. Usianya mereka pun tak terpaut jauh, hanya 4 tahun. Kekurangan “oma” Aung, setelah mendapat Nobel Perdamaian, sebagai presiden Partai NLD justru membisu ketika timbul sentimen anti-Islam dan diskriminasi terhadap etnik minoritas Rohingya. Beda dengan “Tante Nana”, tetap bersuara lantang dan berani pasang badan demi membela kaum kecil, HAM dan anti diskriminasi walau kadang bernada provakatif. Hebat ya?
Mau dibandingkan siapa lagi? Pejuang wanita tempo dulu, karena perbedaan zaman, Tante “nana” sebenarnya sama saja dengan mereka, walau dengan perang “kata-kata”, seni teaternya dan karya sastranya mampu memberikan perlawanan kepada penjajah? #eh tapi emang penjajah yang mana? Ahok? Ah.. jangan berburuk sangka.
Jadi track record “Tante Nana” ini sebenarnya sesuai dan pantas menjadi balon Cagub DKI dalam pilkada serentak 2017 nanti. Tapi kenapa sih pada gak ngelirik dan memberikan kesempatan buat beliau? Sebagai aktivis dan orang yang mumpuni seharusnya beliau diberi tempat dalam kekuasaan, karena membenahi sistem gak harus ala demokrasi jalananan atau panggung sandiwara. Kalau modal teriak, orasi, debat kusir, provokasi, bahkan buat novel siapapun sebenarnya bisa, lebih terhormat jika dibenahi dari dalam, agar bisa dinilai dan terukur keperkasaannya dalam perbuatan yang nyata ketika diberikan kekuasaan dalam pemerintahan, Bukan begitu? Kalau hanya modal “cangkem” banyak ditemui dan terdengar di pasar-pasar. Minyak nyak minyak ... ikan.. ikan... hidup ahok ...hidup ahok.., kira-kira seperti itu kali ya?
Sebenarnya melalui Ratna Sarumpaet Crisis Center (RSCC) yang pernah meberikan penghargaan “Tsunami Award” pada dirinya sendiri, “Tante Nana” ini bisa maju melalui jalur independent atau malah bisa melamar atau dilamar partai politik. Kenapa harus bu Risma satu-satunya perempuan yang “digadang-gadang” sebagai balon cagub DKI? Seharusnya “Tante Nana” ini pantas, sekali lagi pantas! Tapi mengapa gak? Apa mungkin beliau benci berpolitik dan alergi ngumpul sama orang-orang politik? Gak juga lah, apa yang beliau lakukan selama ini sebenarnya berpolitik bahkan terlibat dengan para politisi dengan mengusung misi “jumawa”-nya. Kalau bilang penakut? juga gak! terbukti beliau sangat berani, bila diandaikan dalam kubangan lumpur pun beliau dapat berenang gaya kupu-kupu.
Kalau dibilang gak sabaran? Wong orangnya sangat sabar kok, selain sempat dipenjara dulu, yang terakhir beliau sangat sabar ketika digiring ke mobinya dan terhalangg mobil Provos berjam-jam dan rela berpanas-panasan saat pelaksanaan penggusuran Pasar Ikan beberapa waktu lalu. Hebat bukan?
Atau mungkin “Tante Nana” harus diuji lagi kehebatannya dengan diberikan peluang dulu menjadi gubernur di tanah papua, atau di beberapa wilayah lain yang masih bergolak masalah HAM, ancaman disintegrasi dan diskriminasi? Jangan begitulah... musuh bubuyutannya ada di jakarta, beliau perlu diberi kesempatan memperjuangkan rasa “jumawa” di Jakarta biar puas.. puas..jadi hormatilah orang tua kata nenek! Namun paling elok kalau berani berjuang dalam kancah pilkada DKI nanti. Jadi... mbok partai-partai pada ngelirik “Tante Nana” ini lho! Sapa tau beneran jadi Gubernur Jakarta.
Kasihan kalau di bully terus, padahal maksudnya baik untuk menyalurkan rasa jumawanya sama sang “basuki”, walau beliau mengakui dirinya sebagai pejuang Pluralisme dan Toleransi. Jadi.. mbok jangan membiarkan rasa “jumawa” menutupi akal sehatnya dan membiarkan beliau batal masuk dalam buku sejarah anak-anakk kita di masa depan sebagai srikandi yang sempat keseleo ego dan emosi jiwa yang pada akhirnya kiprahnya selama ini “tinggal kenangan” saja, seperti halnya “oma” Aung San Suu Kyi.. karena banyak masalah bangsa masih terjadi di daerah lain, jadi jumawanya harus disalurkan merata dari sabang sampai merauke dong tante!
“Tante Nana” yang cantik, sebenarnya anda pantas untuk berhadapan dengan “basuki” di pilkada DKI, cuman entah partai mana yang mau melirik anda atau mungkin anda sendiri gak punya nyali untuk bersaing di dalam pesta demokrasi yang anda sendiri menjunjung tinggi. Dari pada menguras emosi jiwa selama ini diluar gelanggang sebaiknya anda dapat menguji perjuangan anda di zaman ini dan sekaligus mengevaluasi diri nantinya, ketika mengetahui dimana rakyat berpihak. Jangan sia-siakan prestasi-prestasi anda selama ini terkikis karena lebih mengandalkan modal “cangkem”. Kalau kata anda “Basuki” bisa beli Tentara, Kepolisian, dan KPK, anda seharusnya juga bisa membeli, harganya berapa per kilo sih tante? Akhir kata, jaga kesehatan ya Tante, stroke dan penyakit jantung masih cukup tinggi di Indonesia lho.
Jangan dimasukin ke hati ya Tante kalau ada kata yang salah... Semangat!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H