Bagaimana HKBP yang Memiliki Predikat Kata "Batak"
Memandang dan Melihat Budaya Batak?
Oleh : Markus Fernando Siahaan
    Huria Kristen Batak Protestan (disingkat HKBP) adalah gereja yang beraliran Kristen Protestan di kalangan masyarakat Batak. Gereja ini merupakan yang terbesar di antara gereja--gereja Protestan yang ada di Indonesia, sehingga menjadikannya organisasi keagamaan terbesar ketiga setelah Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Gereja ini tumbuh dari misi RMG (Rheinische Missionsgesellschaft) dari Jerman dan resmi berdiri pada Senin, 7 Oktober 1861.
    HKBP juga mempunyai beberapa gereja di luar negeri, seperti di Singapura, Kuala Lumpur, Los Angeles, New York, dan di negara bagian Colorado, Amerika Serikat. Meski memakai nama Batak, HKBP juga terbuka bagi suku bangsa lainnya. Disamping itu, HKBP juga merupakan anggota Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), anggota Dewan Gereja-Gereja se-Asia (CCA), dan anggota Dewan Gereja-Gereja se-Dunia (DGD). Sebagai gereja yang berasaskan ajaran Lutheran, HKBP juga menjadi anggota dari Federasi Lutheran se-Dunia (Lutheran World Federation) yang berpusat di Jenewa, Swiss.(1)
    Latar belakang HKBP yang berasal dari misi RMG Jerman menjadikan budaya yang ada dalam suku Batak mulai terkikis dan seakan hilang satu demi satu. Pola pikir yang beranggapan bahwa agama adalah bagian yang paling utama dalam menjalani sistem kehidupan adalah landasan awal dalam mengurangi dan bahkan menghilangkan budaya yang ada di dalam bagian "Kristen Batak" tersebut. Padahal faktanya sistem kepercayaan dan budaya adalah dua hal yang berbeda dimana agama bersifat vertikal dan budaya bersifat horizontal melalui struktur sosialnya.
    Sebelum masuknya sistem kepercayaan di daerah Tapanuli secara khusus, pribadi masyarakat Tapanuli hanya memiliki identitas diri sebagai suku Batak. Tetapi seiring berjalannya waktu, daerah Tapanuli yang sudah semakin dikenal oleh dunia hingga akhirnya melahirkan cita--cita misionaris untuk mengabarkan Injil kepada bangsa Batak. Kegagalan yang dialami Samuel Munson dan Henry Lyman tidak menyurutkan semangat penginjilan mereka. Sadar akan keadaan bangsa Batak yang hidup dalam kegelapan dan kepercayaan akan berhala kuasa dunia semakin meningkatkan niat tekad para missionaris.
    Berkembangnya agama Kristen di dalam suku Batak sehingga mampu melahirkan HKBP seharusnya menjadi landasan kokoh yang dapat membuat HKBP jauh lebih besar dari apa yang sudah ada saat ini. Dua unsur yang bersatu yaitu Kristen dan Batak adalah suatu elemen yang sangat luar biasa jika memang benar-benar diberdayakan. HKBP dengan predikat "Batak" saat ini tidak begitu menunjukkan identitasnya sebagai "Batak". Gereja yang saat ini berkembang justru lebih cepat mengikuti tradisi dan kemajuan dunia modern bahkan tanpa menelaah lebih jauh apakah hal itu layak diadopsi atau tidak. Fakta yang mengatakan bahwa gereja bersifat fleksibel semakin ketara hingga ke setiap aspek.
    Beberapa elemen dari budaya sudah mulai ditinggalkan dan telah ada yang hilang dari peradaban kebudayaan. Simbol dan ritual yang merupakan gambaran terluar dari budaya, tidak lagi mengandung arti dalam agama itu sendiri. Disatu sisi gereja beranggapan bahwa beberapa simbol dari budaya bersifat animisme. Padahal bukanlah hal sulit untuk menyelaraskan kedua hal itu, yakni gereja dan budaya agar dapat berjalan berdampingan tanpa harus menundukkan satu bagian dari kedua identitas ini. Pendalaman teologi yang seharusnya menjadi tugas dan tanggung jawab para tokoh agama haruslah memperoleh tujuan yang berguna untuk mempertahankan budaya itu sendiri.
    Salah satu simbol dari kebudayaan yang sudah mulai hilang dari identitas Batak itu sendiri adalah musik. Sebelum masuknya agama ke dalam bangsa Batak "Gondang Sabangunan" merupakan suatu bagian penting dalam tradisi dan budaya. Namun kehadiran missionaris yang tidak paham betul akan nilai simbol kebudayaan itu memberikan mereka keberhasilan dalam menyebarkan jenis alat musik lain seperti keyboard dan trompet. Menganggap bahwa alat musik tradisional memiliki nilai animism serta melahirkan pola pikir bahwa terompet dan keyboard adalah alat musik yang paling sakral. Padahal kita tahu bahwa ukuran dari iman kepercayaan seseorang tidak dapat kita nilai dari sikap dan cara kehidupannya.
    Semakin hari, predikat "Batak" di dalam tubuh HKBP secara keseluruhan memang terlihat hanya sebatas nama saja. Bahkan pada saat ini, di kota--kota besar sudah ada gereja HKBP yang tidak lagi menggunakan ibadah dengan bahasa Batak. Padahal seharusnya, HKBP adalah pihak yang berada di garis terdepan dalam mempertahankan nilai dari budaya Batak itu. Simbol--simbol yang ada saat ini di dalam HKBP tidak menutup kemungkinan untuk memadukan antara religius dan budaya. Penutup altar yang digunakan setiap minggu bisa saja menggunakan ulos yang menjadi simbol orang Batak. Pohon natal yang menjadi ciri khas di dalam memperingati kelahiran Yesus Kristus bisa saja yang menggunakan pohon pisang yang juga mempunyai banyak makna teologi.