Mohon tunggu...
markus putra jaya silalahi
markus putra jaya silalahi Mohon Tunggu... Penulis - Still learning 🖤

GO AHEAD

Selanjutnya

Tutup

Puisi

05 Maret 2017 Surat untuk Ibu

5 Maret 2017   19:13 Diperbarui: 24 Maret 2017   20:00 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mentari masih terbit di ufuk yang sama pagi indah, kembali kulipat selimutku yang jadi alasku tertidur di malam.Tak bisa mengikuti anjuran sehat jasmani hiruplah embun di pagi hari, tempat ini jauh dari hijau.  Pukul menunjukkan waktu untuk bergerak, bekerja, berfikir dan menyesal. Ini adalah pagi yang sudah tak terhitung jumlahnya, dan kembali bertanya kapan ini berakhir atau inikah yang namanya hidup. Kalau tidak begini maka matilah di tanah engkau dilahirkan.

Demikian rutinitas yang memutar jam dan menjadi baterai waktuku. Melawan keinginan daging adalah hal yang menjadi keharusan untuk bertahan hidup dan memenuhi keinginan daging. Bersihkan diri untuk menjadi kotor, puaskan isi perut untuk menikmati arus kelaparan, kerjakan perintahmu untuk dimaki dan hiduplah untuk mengulangi masa ini sekali lagi. Tidak akan kau dapat nikmatinya kampung disini, hiduplah ditengah serigala yang berbulu ular. Hilangkan rasa yang ampun dan nikmati tiap irisannya. Pekerjaan ini menggerogotiku sampai tulang belulang tak bersumsum. Habiskan masa dalam palung rantai yang menarik leher agar menggerakkan kaki berjalan diatas kaca. Dan yang dilhat olehnya hanyalah kawanan domba yang siap dipotong.

Hidup menjadi seorang karyawan di swasta kota yang ternyata kejam dan asik. Belum lama merasakan pengangguran dan harus nikmati arus macat jalanan karyawan yang rapi dan pengap. Kota ini tempatku menimba ilmu selama 4 tahun, dan negara ini mengharuskanku mati ditempat keringatku mengucur. Keringat inilah yang menjadi rasa garam aroma nikmat kekayaan pemerhati yang memerintah. Tapi apa daya tidak ada kebodohan yang muncul untuk berubah. Ini adalah kepintaran yang melarat. Hanya nikmat yang dapat dipikirkan, diucapkan dan dirasakan perlahan-lahan. Sungguh nikmatlah rasa yang dapat memulihkanku. Air putih ini berasal dari puncak tertinggi dengan padangnya yang tak tersentuh, nasi ini ternyata berasal dari keringatnya yang memupuk tumbuh ditanam dengan cinta dan dipanen dengan suka, ikan ini berasal dari lelah seorang ayah yang ingin anaknya mennginginkan tas baru bahkan sayur ini berasal dari desa yang jernih damai dan hijau tak berbohong. Nikmatlah makanan ini tanpa bumbu.

Kucoba bersyukur karna tidak ada yang dapat kusesali,  tidak ada yang dapat kuubah, tidak ada yang dapat kucapai bahkan tidak ada yang dapat dilihat esok hari. Hanya kehendak yang mampu kumohon dan berlutut, sebab kuterlalu hina untuk mengeluh. Syukur dan nikmatlah sampai esok.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun