Entrepreneurship. Kalimat ini terlihat semakin meningkat gemanya di Negara kita dalam beberapa waktu belakangan ini. Entrepreneurship diyakini oleh banyak kalangan sebagai salah satu solusi dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia baik dalam jangka waktu menengah maupun dalam jangka waktu yang panjang.
Saat ini Bapak Ciputra, seorang pioneer entrepreneurship di Indonesia sedang mengusahakan untuk memasukkan suku kata baru dalam kamus bahasa Indonesia, yaitu entreprener. Sebagai seorang yang bersemangatkan dan berjiwa entrepreneurship, maka dirasa perlu untuk memberi garis yang jelas antara seorang entreprener dengan pebisnis. Alih-alih hanya sebatas kulakan dari produsen lain dan menjualnya lagi di dalam negeri, seorang entreprener perlu mencerminkan karakter entrepreneurship yaitu kreatif inovatif, mampu menciptakan peluang dan berani mengambil resiko (Ciputra, 2008).
Jika memang entrepreneurship digadang-gadang sebagai salah satu jalan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia, pertanyaan berikutnya yang muncul adalah bagaimana caranya?. Sudah banyak definisi entrepreneurship yang dilontarkan oleh berbagai pakar dibidang ini, semua definisi terlihat indahketika dibaca namun menjadi sangat kompleks ketika sampai tahap implementasi dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu cara implementasi riil yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan Research-based entrepreneurship atau entrepreneurship berbasis penelitian yang sudah jamak dilakukan oleh negara-negara lain.
Research-based Entrepreneurship
Setiap tahun semua Negara pasti memiliki rencana anggaran yang akan digunakan dalam aktivitas kenegaraannya. Sebagai salah satu Negara superpower di dunia, dari sekian besar anggaran yang disediakan, 50% dianggarkan pada bidang defense atau militer, 25% dari total anggaran tersebut masuk pada pos health and human service termasuk didalamnya untuk dikucurkan pada dunia pendidikan sedangkan sisanya diberikan pada bidang-bidang lain yang membutuhkan seperti perumahan dan lain-lain.
Dengan dana yang besar ini, maka sungguh bukan sesuatu yang mengagetkan jika kemudian pusat penelitian pada universitas maupun yang bersifat independen dapat melakukan berbagai penelitian mutakhir yang kreatif dan inovatif. Melalui berbagai yayasan, tak sedikit pula dari mereka yang bahkan mendanai pusat penelitian yang ada di luar AS untuk melakukan riset-riset tertentu. Dan karena yang mendanai adalah pihak AS, maka sudah pasti hasil penelitian tersebut pada akhirnya akan kembali ke pihak AS untuk dikaji lebih dalam lagi agar dapat diimplementasikan lebih lanjut atau dimassalkan kepada masyarakat luas.
Cerita menarik juga datang dari Korea Selatan. Pemerintah Korea Selatan, melalui Korea Research Foundation (KRF)yang bernaung dibawah department pendidikannya mengucurkan dana tidak kurang dari 290 milliar Korean Won (kurs 1 Won = Rp. 8, +/- Rp. 2,3 Trilliun) per tahunnya untuk menggerakkan aktivitas penelitian di universitas-universitas korea. Dana tersebut hanya meliputi dana penelitian yang dikucurkan bagi pusat penelitian yang ada di bawah naungan KRF.
Dari dana penelitian inilah, pusat penelitian yang biasanya dikepalai oleh seorang professor dan kemudian beranggotakan para mahasiswa mulai dari level undergraduate hingga graduate akan melakukan aktivitas penelitiannya. Selain dana yang melimpah, KRF juga sudah memiliki suatu sistem kerja yang sederhana, efisien namun tetap terkontrol. Sebagai contoh, untuk masing-masing proposal riset yang disetujui, para professor akan diberi kartu kredit yang dapat dipakai sesuai plafon dana yang disetujui. Mengingat banyak sekali perangkat lunak maupun keras yang biasanya dibeli via online, maka penggunaan kartu kredit ini merupakan sebuah solusi yang simpel namun sangat cerdas dan efisien. Mempertanggung jawabkannya juga tidak susah karena jejak rekam transaksi akan langsung terekam pada bank rekanan KRF. Selain pembelian piranti pendukung penelitian, dana-dana ini juga dikucurkan dalam bentuk allowance bulanan untuk professor yang mengepalai lab tersebut, bagi para mahasiswa yang bernaung dan juga untuk membiayai perjalanan ketika hasil penelitian tersebut dipublikasikan pada konferensi ilmiah.
Dari lab-lab penelitian inilah kemudian muncul berbagai karya-karya inovatif yang kemudian dikembalikan kepada Negara maupun digunakan oleh perusahaan-perusahaan induk Negara ini seperti Samsung, LG untuk kemudian dimassalkan demi meningkatkan taraf hidup masyarakatnya. baik di AS maupun di Korea, tahap produksi massal menjadi sangat penting agar inovasi yang diciptakan di lab penelitian tersebut dapat sampai kepada pengguna sehingga manfaatnya dapat dirasakan secara luas. Selain itu, dengan peningkatan produksi massal, hal ini seharusnya juga berbanding lurus pula dengan peningkatan jumlah lapangan kerja yang terbuka.
Inilah inti dari Research-based Entrepreneurship. Jika memang pihak entreprener merupakan representasi dari semangat entrepreneurship, maka aktivitas yang dilakukan haruslah lebih dari sekedar aktivitas kulakan. Sesuatu yang kreatif dan inovasi tidak datang dari langit dengan tiba-tiba, ada proses yang harus dilalui hingga mencapai suatu inovasi yang dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Aktivitas penelitian merupakan salah satu proses yang dapat dilakukan dalam rangkaian aktivitas entrepreneurship.
Dari kisah yang disampaikan diatas, terdapat tiga komponen utama dalam Research-based Entrepreneurship yaitu Pemerintah, Akademisi dan Entreprener. Bagaimanapun, pemerintah sebagai ‘orang tua’ yang menaungi para warganya baik itu para akademisi di universitas maupun entreprener wajib menyediakan dana, dukungan dan kondisi yang baik untuk dapat melakukan aktivitas penelitian yang berkualitas. Dana merupakan hal yang sangat penting dalam rangkaian aktifitas penelitian. Jika dana yang dikucurkan dari atas terus di’sunat’ dan masuk ke laci-laci orang yang seharusnya tidak berkepentingan, maka ketika sampai ke pihak yang seharusnya menerima jumlahnya sudah berkurang dari nominal yang diekspektasikan sehingga kualitas penelitian pun ikut tereduksi. Selain itu, dukungan pemerintah dapat diwujudkan dengan implementasi sistem kerja yang sederhana dan efisien sehingga dalam proses penelitian, para akademisi bisa lebih fokus pada aktifitas penelitiannya dan tidak perlu direpotkan dengan berbagai pembuatan dokumentasi yang ruwet dan bejibun .
Terakhir, pemerintah juga perlu membuat kondisi yang harmonis. Sebuah kondisi harmonis perlu dijaga mulai dari awal penelitian hingga hasil penelitian tersebut dikembalikan kepada pihak Negara maupun entreprener sehingga hasil penelitian dapat digunakan dan dirasakan manfaatnya secara luas. Seberapa efektif Research-based Entrepreneurship akan sangat ditentukan oleh sinergi antara ketiga komponennya yaitu Pemerintah, Akademisi dan Entreprener. Inisiatif yang baik, responsif dan bertanggung jawab perlu dimulai dari pihak pemerintah sebagai penyelenggara utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tentu saja, jika Research-based Entrepreneurship ini berjalan dengan baik, maka pemerintah turut senang ketika melihat warganya memiliki kehidupan yang lebih layak dan sejahtera. Dan sebetulnya memang inilah salah satu tanggung jawab utama pemerintah untuk mensejahterakan warga yang bernaung didalamnya, apapun caranya termasuk didalamnya melalui entrepreneurship. Happy Entrepreneurship for Everyone!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H