Berbicara tentang konsep tindak pidana (delik), kita akan berhadapan dengan dua paham, yakni paham monisme dan paham dualisme. Paham monisme menyatakan bahwa komponen tindak pidana meliputi aspek mental (elemen/kesalahan) yang selanjutnya disebut unsur subjektif dan aspek fisik atau unsur objektif. Sedangkan paham dualisme menyatakan bahwa unsur konstitutif tindak pidana hanya berkaitan dengan unsur objektifnya.
Dengan demikian, untuk menyatakan sebuah perbuatan sebagai tindak pidana dalam paham dualisme, maka cukup dengan subjek hukum melakukan suatu perbuatan, perbuatan mana telah dirumuskan oleh undang-undang sebagai perbuatan yang mengandung sifat melawan hukum dan sanksi pidana (serta komponen objektif lainnya).
Kedua paham di atas mempengaruhi hukum pidana di seluruh dunia. Dalam konteks Indonesia, banyak pengajar dari berbagai latar belakang (dosen, pejabat publik) membuat pernyataan bahwa Undang-Undang No 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP 2023) mengandung paham dualisme. Artinya, KUHP 2023 memisahkan secara tegas antara unsur objektif dan unsur subjektif (unsur tindak pidana dibersihkan dari anasir psikis).
Pernyataan para pengajar tersebut didasarkan pada definisi yuridis Pasal 12 ayat (1) KUHP 2023 yang menyatakan bahwa:
”Tindak Pidana merupakan perbuatan yang oleh peraturan perundang-undangan diancam dengan sanksi pidana dan/atau tindakan.”
Definisi yuridis di atas memang tidak mencakupi aspek psikis (murni bersifat objektif). Namun, apakah benar KUHP 2023 dibentuk berdasarkan paham dualisme? Jawabannya adalah TIDAK! KUHP 2023 tidak bersifat dualistik, melainkan bersifat transgender (jika meminjam istilah ilmu kedokteran dan ilmu psikologi)). Artinya, KUHP 2023 kelihatan maskulin, tetapi sebetulnya berjenis kelamin sebaliknya (feminim).
Kembali pada disiplin hukum pidana, jika penarikan kesimpulan dalam konteks ini hanya berdasarkan konten Pasal 12 ayat (1) a quo semata tanpa meneliti secara holistik atas formulasi pasal-pasal UU a quo, maka Si penarik kesimpulan tersebut akan mengambil bahwa KUHP 2023 menganut paham dualisme.
Sebaliknya, jika penarik kesimpulan menelisik secara holistik konten UU a quo, maka akan sampai pada pemahaman komprehensif bahwa KUHP 2023 berkarakter campuran. Alasanya, di satu sisi, terdapat beberapa ketentuan dalam KUHP a quo diformulasikan berdasarkan prinsip-prinsip dualisme dan pada sisi lainnya, terdapat pula beberapa ketentuan diformulasikan berdasarkan paham monisme.
Penulis kutip beberapa ketentuan yang diformulasikan berdasarkan karakter paham monisme sebagai berikut: Pertama, formulasi delik pencurian Pasal 476 KUHP No. 1 tahun 2023 bunyinya sebagai berikut:
”Setiap Orang yang mengambil suatu Barang yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, dipidana karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V.”
Rumusan pasal a quo menunjukan secara jelas dan tegas bahwa aspek psikis/kesalahan menjadi syarat mutlak terwujudnya tindak pidana (delik pencurian). Oleh karena itu, suatu peristiwa atau perbuatan disebut sebagai perbuatan pidana, jika perbuatan tersebut mengandung pula mental elementen (maksud).
Lalu, delik Pasal 191 berbunyi,
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!