Â
Tulisan ini akan mengungkapkan peran setiap orang terhadap perlindungan anak dalam pelanggaran seksual dan selanjutnya menentukan parameter kesalahan dalam tindak pidana seksual yang melibatkan anak dalam dunia prostitusi khususnya yang menggunakan sarana elektronik, misalnya  yang dikenal dengan sitilah "Booking Out"  (BO) dan sejenisnya.
Mengenai hal yang terakhir ini merupakan fakta empiris di negeri Belanda dan menurut penulis dapat terjadi juga di Indonesia, yaitu "PSK Anak tersebut menyebutkan usianya dengan memasang iklan di situs web Online bahwa ia berusia 18 tahun atau lebih, sehingga para pelanggan yang menggunakan jasanya (melakukan hubungan seksual) tidak mengetahui bahwa yang bersangkutan di bawah kategori anak (di bawah umur) menurut undang-undang"
Dalam konteks ini, para pelanggan yang  berstatus  tersangka  dapat saja berdalil, "Saya tidak tahu bahwa Si gadis itu masih di bawah umur." Jadi, saya tidak bersalah. Bebaskan saya! Namun, Apakah alibi yang demikian dibenarkan secara hukum pidana Indonesia?
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak memberikan kewajiban kepada setiap orang untuk turut berperan secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri melakukan tindakan-tindakan yang perlu dan berguna dalam rangka perlindungan terhadap anak dalam kejahatan seksual. Kewajiban tersebut dapat dilihat dalam Pasal 72:
1. Â Â Masyarakat berperan serta dalam Perlindungan Anak, baik secara perseorangan maupun kelompok.
2. Â Â Peran Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang perseorangan, lembaga perlindungan anak, lembaga kesejahteraan sosial, organisasi kemasyarakatan, lembaga pendidikan, media massa, dan dunia usaha.
3. Â Â Peran Masyarakat dalam penyelenggaran Perlindungan Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara: "e. melakukan pemantauan, pengawasan dan ikut bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan Perlindungan Anak; f. menyediakan sarana dan prasarana serta menciptakan suasana kondusif untuk tumbuh kembang Anak."
Dalam konteks hukum pidana, peristiwa tersebut di atas merupakan peristiwa pidana (tindak pidana) yang dapat ditentukan berdasarkan Pasal 290 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 76D Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Pertama, Pasal 290 ayat (2) dan ayat (3) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), berbunyi:
"Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun: Ayat (2): barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya, bahwa umumnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas, yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin; Ayat (3): barang siapa membujuk seseorang yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, atau bersetubuh di luar perkawinan dengan orang lain."