Susu dipercaya sebagai minuman yang dapat mencegah stunting. Namun, hal itu belum tentu benar jika pemberian susu pada anak tidak dilakukan secara konsisten.
Susu mengandung zat seng dan protein yang bermanfaat mempercepat proses pertumbuhan tulang dan gigi. Kekurangan zat tersebut dapat mengakibatkan tinggi badan anak di bawah standar untuk usianya.
Pemberian susu pada anak harus dilakukan secara rutin dan teratur mulai dari fase janin melalui perantara Ibu hingga ia dewasa. Pada usia kurang dari 6 bulan, pemberian ASI eksklusif disarankan, kemudian MPASI diperkenalkan setelahnya, dan baru setelah usia satu tahun susu formula dapat diberikan.
Hal ini dilakukan untuk menghindari kekurangan asupan gizi. Namun, kebanyakan orang Indonesia menyepelekan hal ini yang berakibat stunting pada anak.
Menurut data yang di ambil dari SSGI, mayoritas kasus stunting di Indonesia ditemukan pada anak rentang usia 24-35 bulan dengan persentase 26,2%. Kemudian kasus stunting di kelompok usia lahir mencapai 18,5%, usia 0-5 bulan 11,7%, dan 12-23 bulan mencapai 22,4%.
Dari data tersebut bisa disimpulkan banyak anak di Indonesia yang mengalami kekurangan gizi kronis pada 1000 hari kehidupan pertamanya. Artinya, kekurangan gizi sudah terjadi sejak bayi berada dalam kandungan dan stunting ini biasanya baru tampak saat anak berusia 2 tahun.
Jika sudah seperti ini, maka tindakan pertama yang harus dilakukan adalah membawa anak ke posyandu terdekat, meminta konsultasi gizi, rajin sebulan sekali rujuk, dan yang terpenting memberikan makanan bergizi dan susu sebagai penunjang pertumbuhan anak.
Selama belum lebih dari 2 tahun, stunting masih dikategorikan dapat dicegah. Â jika sudah terlanjur lebih maka sebutannya adalah mengobati dan perlu perjuangan keras untuk mengembalikan tinggi tubuh anak ke ukuran normal.
Sepengalaman saya, anak yang sudah terlanjur stunting masih bisa tumbuh tinggi dengan syarat memperhatikan pola makan misalnya banyak mengkonsumsi protein dan makanan tidak berminyak didukung dengan olahraga teratur dan tidak lupa rutin meminum susu.
Namun, berbicara soal susu. Ada hal menarik tentang kebiasaan orang Tua Indonesia dalam mengurus asupan susu anaknya. Banyak dari mereka yang tidak lagi memberikan susu pada anaknya saat sang anak sudah bersekolah (Biasa saat kelas 2-3 SD). Ada anggapan minum susu hanya untuk anak kecil.
Padahal di Eropa entah itu anak-anak atau orang Tua selalu meminum susu saat sarapan. Tidak ada anggapan minum susu hanya untuk anak kecil. Semuanya disini sama, maka tidak heran tubuh orang Eropa terkenal besar dan tinggi.
Selain itu, orang Indonesia beranggapan tubuh anak akan cepat besar jika rajin mengkonsumsi nasi. Anggapan ini salah besar. Sebetulnya zat gizi seperti protein dan seng lah yang berperan besar membentuk otot dan tulang bukan karbohidrat.
Hal ini membuktikan bahwa masih banyak masyarakat Indonesia yang kurang ter-edukasi padahal zaman sekarang adalah zaman teknologi informasi. Sangat mudah mencari informasi asupan gizi apa saja yang baik untuk anak di internet. Belum lagi ada layanan puskesmas dan posyandu yang bisa dikunjungi untuk meminta rujukan.
Namun, tampaknya handphone yang mereka punya hanya dipakai untuk scrolling media sosial saja.
Mereka tidak tahu hal yang mereka lakukan beresiko tinggi menyebabkan stunting dan jika itu terjadi, maka dapat dikatakan orang Tua yang tidak memperdulikan makanan anaknya secara sengaja mengutuknya.
Mengapa demikian? Coba bayangkan anak Anda dibully oleh teman seusianya karena tinggi badannya yang pendek. Hal ini pasti menekan mental sang anak dan membuatnya malas sekolah. Sudah pendek bebal lagi begitu yang akan dikatakan orang di lingkungannya.
Anda pasti tidak mau hal ini terjadi. Oleh karena itu, mulai dari sekarang beri perhatian khusus pada gizi anak Anda. Hindari makanan berpengawet, rutin rujuk ke posyandu bila anak berusia kurang dari 2 tahun, perbanyak konsumsi protein dan berikan ia susu sampai ia beranjak dewasa agar masalah kesehatan seperti stunting tidak menimpanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya