Mohon tunggu...
Marjuni
Marjuni Mohon Tunggu... Guru - Praktisi dan Pelaku Pendidikan Islam

Fokus pada Manajemen Pendidikan Islam, Branding Strategy Lembaga Pendidikan Islam, Marketing Lembaga Pendidikan Islam, Kajian Pesantren, Kajian Pemikiran Pendidikan Islam

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Literasi Santri: Mengapa dan Bagaimana?

2 Februari 2023   23:39 Diperbarui: 2 Februari 2023   23:51 594
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Membaca adalah perintah pertama Allah SWT sebelum perintah lainnya

Menurunnya minat baca siswa pada era pendidikan 4.0 dapat dikaitkan dengan beberapa faktor, seperti pertumbuhan teknologi informasi, aksesibilitas Google yang dapat membantu siswa menemukan jawaban atas pertanyaan apa pun, dan maraknya akun media sosial siswa populer seperti Facebook, Instagram, WhatsApp, WeChat, Telegram, Line, dan Twitter (Chusnul Muali dan Fathor Rohman:2023). 

Benarkah media sosial berkontribusi menurunkan minat baca siswa?

Rilis The Alberta Teachers' Association tahun 2020 mengungkap bahwa anak muda yang menulis blog dan suka membaca telah menjadi penulis yang lebih percaya diri. Semua pihak mengakui bahwa banjir informasi menyebabkan otak manusia cenderung mudah teralihkan dan cenderung sulit untuk fokus pada membaca. Sehingga buku kehilangan popularitasnya di era smartphone, tablet, dan perangkat elektronik. Menurunnya minat membaca buku dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Alasan utamanya adalah meningkatnya popularitas konten digital. Banyak orang lebih suka membaca artikel di ponsel atau tablet mereka daripada menghabiskan waktu membaca buku.

Temuan lain mengungkapkan bahwa selama pandemi Covid-19, para siswa kehilangan sepertiga Tahun Ajaran. Temuan Studi
Keterlambatan dan kemunduran belajar paling parah dialami oleh negara berkembang dan di antara anak-anak dari latar belakang berpenghasilan rendah.  Membaca bukanlah prioritas bagi siswa Indonesia, menurut data UNESCO, dan hal ini disebabkan kurangnya motivasi intrinsik dan akses terhadap bahan bacaan.

Bagaimana dengan minat baca santri?

Doc Pri Marjuni
Doc Pri Marjuni

Sejak awal kemunculannya, pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang identik dengan kegiatan membaca. Terlebih lagi yang sangat mencolok adalah di pesantren salaf. Para santri menyimak materi pelajaran dari suatu Kitab yang dibacakan oleh Kyai. Aktivitas pesantren yang demikian itu hingga kini masih terjaga dengan baik. Bukan saja pesantren salaf, namun pesantren modern seperti Pondok Ngabar dan Gontor Ponorogo juga memiliki budaya literasi yang tinggi.

Pesantren Ibnu Abbas di Masaran Sragen Jawa Tengah misalnya, bahwa pesantren ini menggalakkan program Pojok Literasi Santri. Sumber pengetahuan yang bagus untuk santri yang membutuhkan bantuan membaca tambahan adalah pojok literasi sekolah. Berbeda dengan lingkungan perpustakaan yang tenang dan terkontrol, "pojok literasi" ini memudahkan santri untuk menghabiskan waktu luang mereka dengan membaca dengan cara menyediakan ruang santai dan bersahaja untuk melakukan kegiatan literasi (membaca dan berdiskusi).

Bagi santri, Literasi itu seperti nafas hidup mereka

Doc Pri Marjuni
Doc Pri Marjuni

Sejak tahun 2017, Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur (Jawa Timur) memprioritaskan rencana kerja untuk menyukseskan program Safari Gemar Membaca di Provinsi dan Kabupaten/Kota  yang diprakarsai oleh Pemerintah Pusat. Tujuannya adalah untuk meningkatkan minat baca di seluruh kotamadya di Jawa Timur.

Memaksimalkan ketersediaan perpustakaan digital untuk memenuhi kebutuhan informasi masyarakat dari berbagai lapisan masyarakat merupakan salah satu program yang intensitasnya terus meningkat. Sampai saat ini, Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur telah mengumpulkan sedikitnya 550 ribu koleksi buku untuk digunakan oleh para patron. Program Dongeng Anak Keliling, Program Bantuan Buku ke Puskesmas di Jawa Timur, dan Dinas Wisata Arsip untuk Anak Sekolah hanyalah beberapa contoh dari kegiatan linier selanjutnya.

Perpustakaan digital ini juga telah diakses oleh ratusan pesantren dan madrasah di lingkungan Kementerian Agama. Tranformasi digital yang digalakkan oleh kementerian Agama telah merambah ke pelosok tanah air. Telah banyak perpusatakaan digital yang dikembangkan oleh madrasah dan pesantren. ini menunjukkan bahwa tidak ada alasan bagi santri, meskipun mereka "terkurung" pagar kokoh pesantren, namun teknologi digital telah mampu mendobrak pesantren dan madrasah untuk turut bertransformasi seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Maka, salah besar jika ada yang menyebut bahwa santri itu kolot, tidak update, dan nir teknologi digital....!

Semoga bermanfaat...!!!!

 .

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun