Darsun Naqdi, adalah sebuah istilah bahasa Arab, berasal dari dua kata: darsun dan naqdun. Darsun artinya pelajaran, dan Naqdun artinya "Seni verifikasi atas keindahan kalimat dan upaya membersihkan kalimat dari buruknya struktur menurut kaidah (Nahwu, Sharaf, dan balaghahnya), serta upaya untuk membenahinya dari kesalahan". Â
Intaqada artinya Adzhara mazaayaahaa wa 'uyuubahaa (mengungkap kelebihan dan kekurangan). Teman sebaya guru praktek yang bertindak sebagai pengamat biasanya disebut sebagai muntaqid. Yaitu sekelompok santri yang bertugas mengamati gerak gerik guru praktek selama pembelajaran berlangsung. Para muntaqid ini juga bertanggung jawab untuk melaporkan hasil pengamatan dan temuannya di hadapan musyrif (guru pembimbing).
Darsun Naqdi dalam tradisi pesantren penyelenggara kurikulum KMI dan atau TMI, adalah kegiatan pertanggung-jawaban mudarris (guru praktek) setelah malaksanakan Amaliyah Tadris (micro-teaching) di hadapan para Musyrif (guru pembimbing) dan muntaqid (teman sebaya yang bertindak sebagai pengamat /pengkritik pembelajaran). Kegiatan ini, kadangkala disebut sebagai sidang naqad. Darsun Naqdi dapat dianalogikan seperti halnya terdakwa yang sedang mempertanggung jawabkan perbuatannya di hadapan para hakim, jaksa (penuntut umum) dan pihak berwajib lainnya.
Kegiatan darsun naqdi dimulai dengan presentasi mudarris (guru praktek) atas semua 'uyub (jamak dari kata 'aib) yang artinya kelemahan mudarris serta kelebihan (mazaya) nya dalam pembelajaran. Betapa seorang guru praktek harus mampu mengeksplorasi kelemahan dan kelebihan dirinya dalam pembelajaran. Aktivitas ini tampak sederhana, namun tidak jarang para guru praktek yang merasa kesulitan dalam mengevaluasi dirinya pasca pembelajaran.
Kegiatan Darsun Naqdi hakikatnya adalah aktivitas musyrif dan muntaqid untuk mendiskusikan temuan mereka atas pembelajaran yang dilakukan oleh guru praktek berdasarkan panduan khusus bernama Thuruq Tadris (stratgei pembelajaran) dalam buku tarbiyah Amaliyah. Definisi ini diambil dari kata bahasa Arab Naaqoda - yunaaqidu yang atinya naaqosya - yunaaqisyu (mendiskusikan). Diskusi ini tidak terlepas dari upaya Tanaqqada - yatanaqqadu yang artinya upaya untuk Mayyaza jayyidaha min radii ihaa.Â
Sehingga para musyrif dan muntaqid itu boleh disebut sebagai naaqidun yang artinya siapapun yang memberikan hukum (judgement) atas kelebihan atau kekurangan (kelemahan) atau potensi (nilai) atau kebenaran atas sesuatu persoalan (pembelajaran). Jadi, hukum benar atau salah atas pembelajaran oleh guru praktek bergantung pada hasil konsensus antara Musyrif dan Muntaqid, tidak hanya pada musyrif.Â
Sehingga aktivitas Darsun Naqdi ini jika dilaksanakan dengan maksimal, setidaknya akan berdampak pada:
1. Upaya guru praktek untuk mengeksplorasi segala potensi dan kemampuannya secara maksimal dalam melaksanakan pembelajaran.
2. Membiasakan guru praktek agar menjamin mutu pembelajarannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
3. Membiasakan guru praktek agar secara terbuka mempertanggung-jawabkan rencana pembelajaran (i'dad tadris) isi (materi pembelajaran), metode, strategi, alat dan bahan, sumber belajar, bahasa guru, Â penampilan (performance) guru dan manajemen kelas lainnya.
4. Melatih ketelitian, kesabaran, disiplin, tanggung jawab, kebersihan, kebijaksanaan, jujur, mandiri, kreatif, keberanian, setia kawan, kekompakan (persatuan), kritis (critical thinking), dan cerdas.
Betapa, hal-hal yang tampak sederhana sekalipun, jika dilakukan dengan baik, akan membuahkan nilai-nilai pendidikan yang sangat luar biasa. Maka, hal inilah diantara alasan yang menjadikan santri Pondok Pesantren "Wali Songo" Ngabar Ponorogo sebagai santri yang siap pakai untuk turut berkontribusi sebagai "mundzirul qoum" di masyarakat.
Selamat Berkarya,,,, dan semoga bermanfaat...!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H