K.H. Hasan Abdullah Sahal (Pimpinan Pondok Modern Gontor Ponorogo) pernah menyampaikan pada satu kesempatan tentang bagaimana seharusnya para wali santri bersikap tentang memondokkan anaknya di pesantren. Menurut beliau, ada lima tips, yaitu TITIP. Istilah TITIP adalah akronim dari Tega, Ikhlas, Tawakkal, Ikhtiar, dan Percaya.
1. TEGA (Ridho)
Orang tua (wali santri) harus tega atau ridho anaknya dididik di pesantren. Dalam tradisi pesantren telah berlaku adagium "Ngesot ing Ngajengan Kyai". Ngesot adalah berjalan sambil duduk mirip seorang hamba (abdi) di depan sang raja. Kyai ibarat sang raja. Ini adalah simbol bahwa santri yang belajar ilmu (nyecep ilmu) kepada kyai harus ridho lahir batin dididik. Jadi dalam ridho ini bukan saja wali santri yang tega (ridho) menyerahkan anaknya dididik kyai, namun si santri juga harus tega meninggalkan segala rupa kesenangan di rumah dan rela berpisah dengan keluarga yang dicintainya untuk menuntut ilmu kepada kyai.Â
Filosofi ini dicontohkan oleh Siti Hajar (istri Nabi Ibrahim a.s.), yang tega (ridho) anaknya disembelih untuk memenuhi perintah Allah SWT. Jadi dalam ridho ini dikandung maksud bahwa wali santri itu, meskipun secara lahir menyerahkan anaknya kepada kyai, namun secara spiritual, mereka menyerahkan anaknya kepada Allah dengan niat menjalankan perintah Allah dalam mendidik anaknya. Kesadaran spiritual ini akan mengkoneksikan niat baik orang tua, niat baik santri, dan niat tulus Kyai sebagai pendidik untuk bersama-sama menggapai cita-cita yang diimpikan. Resonansi antara ketiga belah pihak inilah yang membangkitkan energi rohani yang tak terbatas.
"Pendidikan adalah salah satu instrumen utama perubahan sosial dan itu adalah kekuatan yang membawa perubahan dalam pandangan tradisional masyarakat, dan mengembangkan wawasan untuk menilai hal-hal dalam konteks mereka. Diasumsikan bahwa semakin besar persentase penduduk terdidik maka semakin besar laju pembangunan. Seperti yang kita katakan bahwa Pendidikan anak di pesantren seperti mendidik kaum muslimin di seluruh belahan dunia".Â
Pesantren dinilai sebagai medan pendidikan dan perjuangan. Di Pesantren para santri didik oleh para kyai (guru) yang tulus. Para Kyai (guru) adalah orang-orang yang mukhlis (ikhlas) karena tidak sedikit yang rela "digaji" tidak layak, bahkan ada yang tidak digaji. Namun upaya mereka untuk mendidik santri tidak pernah kendor. Pesantren sebagai ladang perjuangan, para kyai berjuang mati-matian, sepanjang waktu selama satu kali dua puluh empat jam mendidik santri. Santri dididik untuk berjuang dan memperjuangkan al-haq. Teladan Nabi Ibrahim dapat menjadi inspirasi semua pihak, bahwa beliau rela meninggalkan anak dan istrinya di gurun tandus, seraya memohon kepada Allah:
"Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman … (Ibrahim [14]: 37)Â
2. IKHLAS
Keikhlasan wali santri dan santri adalah instrumen kunci untuk meraih keberhasilan. Ikhlas dididik, ditempa, dibina, dilatih, dibentuk, diarahkan, dibimbing, dikurangi jam tidurnya, ditambah jam belajar dan ibadahnya. Apakah ini mungkin dilakukan oleh wali santri di rumah? Jawabnya tentu "nyaris tidak mungkin". Keikhlasan orang tua dan Kyai (guru) akan membentuk karakter kuat (tangguh) dan tahan banting pada jiwa para santri. Memiliki tipe kepribadian tahan banting berarti memiliki kumpulan sifat yang membuat seseorang lebih mampu bertahan dan pulih dari keterpurukan, kapanpun dan dimanapun.
 Mungkin kehidupan santri di pesantren itu tak senyaman di rumah. Pondok itu bukan Funduk (hotel), yang tinggal pesan, lalu datang. Semua hal harus dilakukan oleh santri secara mandiri. Guru/ustadz di pesantren itu tidak digaji/dibayar. Mereka ikhlas mendidik dan mengajar tanpa menunggu bayar.Â