Guru, dalam hal ini bukan saja dimaknai sebagai guru dalam arti profesi mengajar dan mendidik, namun dalam arti luasnya adalah bahwa "Apapun profesi mereka, semua adalah guru, dan dimanapun kita, kita adalah murid".
Falsafah ini tampak sederhana dan biasa. Namun, jika kita menguliknya lebih dalam, bahwa jika setiap kita terlepas dari profesinya, adalah guru. Ini berarti setiap kita harus menjadi"mundzirul qoum" (pengendali dan Guru ummat). Dengan demikian, setiap individu muslim adalah teladan bagi muslim lainnya. Individu yang tidak (nyaris tidak pernah salah), ucapan dan perbuatannya. Perbuatan yang merepresentasikan akhlak mulia, tegas (thalaqah), namun juga cerdas (dzaka'). Meskipun demikian juga tidak anti kritik. Guru itu bukan nabi atau rasul, tapi setiap guru harus menjadi seperti nabi dan rasul.
Melalui Micro Teaching, para santri kelas akhir (kelas VI) di pesantren Ngabar Ponorogo diajari hal demikian ini. Â Melalui Micro Teaching, mereka diajak untuk mempersiapkan diri sebaik mungkin dalam melaksanakan tugasnya, dalam pelaksanaannya juga demikian, mereka dituntut untuk melaksanakan tugas sesuai dengan "thariqah jariyah" yang terstandar. Guru juga harus memiliki kemampuan dalam melaksanakan evaluasi dan penilaian sesuai dengan standar baku pesantren. Guru juga harus terbuka terhadap kritik dari pembimbing (Musyrif) dan Teman sebayanya (Muntaqidun).
Target-target inilah yang sejatinya diinginkan dari Micro Teaching Kelas VI. Terlebih lagi untuk Amaliyah Tadris. Maka, jika misalnya ada yang mempertanyakan, apakah mungkin santri kelas XII (Santri Akhir Kelas VI) di pesantren modern seperti Ngabar dan Gontor bisa menjadi Guru Praktek? Maka, jawabannya adalah "bisa", dan sangat bisa.
Semoga bermanfaat....!!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H