Tangerang | -- Setelah hampir tiga dekade terblokir, lahan seluas 14 hektar yang terletak di Proyek Perkavlingan Ditjen Perkebunan Karawaci, Tangerang, kini berada di ambang penyelesaian hukum. PT. Satu Stop Sukses (SSS), salah satu pemilik lahan di kawasan tersebut, telah mengajukan upaya tegas untuk mengembalikan tanah tersebut ke dalam pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Proses ini dimulai pada 28 Juli 2023 melalui surat resmi No. 042/SSS/VII/2023 yang ditujukan kepada Presiden RI dan Kapolri, serta sejumlah pejabat tinggi negara, memohon penyelesaian pemblokiran tanah yang telah berlangsung selama 29 tahun.
Surat yang diajukan oleh PT. SSS mendapat tanggapan serius dari Kapolri, yang meneruskannya kepada Unit I Subdit II Dittipidum Bareskrim Polri untuk dilakukan penyelidikan lebih lanjut. Berdasarkan disposisi tersebut, tim penyidik dari Subdit II Mabes Polri kini sedang melakukan investigasi mendalam terkait dugaan tindak pidana penyerobotan dan penggelapan hak atas tanah yang melibatkan beberapa pihak, termasuk PT. Bina Sarana Mekar (BSM).
Pemblokiran tanah dimulai sejak 1993, saat PT. Bina Sarana Mekar, bekerja sama dengan sejumlah oknum staf Ditjen Perkebunan, memindahkan lapangan sepakbola dari tanah mereka ke dalam Proyek Perkavlingan Ditjen Perkebunan Karawaci, menggunakan dalih bantuan dari pihak RT, RW, dan Kelurahan setempat. Pemindahan tersebut berdampak pada blokirnya sejumlah kavling milik PT. SSS dan PT. Bina Sarana Mekar, serta tanah fasos fasum yang diperuntukkan bagi 682 pemilik kavling.
Pemeriksaan Saksi dan Proses Penunjukan Batas Tanah
Sejalan dengan penyelidikan kasus ini, pada 17 September 2024, Mabes Polri melalui Direktur Tindak Pidana Umum Subdit II mengirim surat undangan No. B/6493/IX/RES.1.2/2024/Dittipidum kepada PT. SSS untuk melakukan penunjukan batas kavling B36 dan B37, yang masing-masing memiliki luas 440m dan saat ini telah digunakan sebagai lapangan sepakbola.
Direktur Utama PT. SSS, Kismet Chandra, memberikan kuasa kepada enam orang stafnya untuk melaksanakan penunjukan batas tersebut kepada tim penyidik. Proses ini berjalan dengan sedikit hambatan saat Ketua Paguyuban Bina Mitra, Yayan Permana, mencoba menghentikan penunjukan batas tersebut. Namun, berkat ketegasan tim penyidik, proses tetap berlangsung dan batas-batas kavling berhasil ditunjukkan tanpa gangguan berarti.
Dalam wawancara dengan sejumlah wartawan, Yayan Permana menyatakan bahwa dirinya memiliki kuasa untuk mengamankan lahan seluas 14 hektar tersebut, dengan dasar hukum yang menurutnya kuat. Ia merujuk pada Keputusan BPN RI tahun 1991 yang menyebut tanah tersebut sebagai objek redistribusi landreform, serta putusan Mahkamah Agung yang, katanya, menyatakan semua sertifikat di tanah tersebut cacat hukum.