- Pada tahun 2007, Indonesia berada pada urutan 53 (dari 55 negara yang disurvei).
Sementara hasil penelitian program pembangunan PBB (UNDP) tahun 1980-2013, laporan dalam tahun 2013 menunjukkan kualitas SDM Indonesia berada pada urutan 108 dari 187 negara yang diteliti,dan Samoa (urutan 106) dan Mongolia(urutan 103) posisinya lebih baik dari negara kita. Posisi negara Singapura (urutan 9) dan Malaysia (urutan 62) jauh lebih baik. Tingkat SDM ini diukur berdasarkan kualitas kesehatan, umur, tingkat pendidikan dan rata-rata income penduduk.
Kemudian bagaimana dengan kualitas pendidikan negara kita ? Kita bisa lihat pada situs Asian South Pacific Bureau of Adult Education (ASPBAE), bahwa posisi Indonesia menduduki peringkat 10 dari 14 negara berkembang di kawasan Asia Pasifik. Untuk berbagai laporan tingkat internasional seperti kemampuan literacy (membaca) dan numeracy (matematika) maka tetap posisi pendidikan kita belum membahayakan. Konon kabarnya bahwa hasil ujian nasional (UN) juga berguna untuk pementaan kualitas pendidikan antar Propinsi, antar kota dan antar sekolah se-Indonesia. Maka jadilah semua sekolah, mencakup guru, kepala sekolah, dinas pendidikan, kepala daerah dan orang tua memacu anak mereka untuk menggenjot skor. Akibat genjotan atau motivasi untuk ranah kognitif atau otak maka perhatian untuk membetulkan unsure akhlak atau afektif/ sikap dan keterampilan lain kurang memperoleh porsi. Karena dari jatah waktu 24 jam per hari maka 10 jam per hari habishanya untuk mengurus otak anak untuk mengejar skor ujian yang tinggi.
Umpamakan bahwa semua sekolah di tanah air ini telah peduli untuk memberi porsi kognitif, afektif dan psikomotorik yang berimbang di sekolah. Dimana pendidikan afektif (termasuk unsur spiritual) anak melalui program pembiasaan seperti mengaji al-Quran dan shalat dhuha di sekolah, dan pendidikan keterampilan atau kecakapan hidup melalui program ekskul, namun untuk orang tua semua tetap berambisi agar anak bisa meraih skor yang tinggi untuk semua mata pelajaran, bila mampu paling kurang skornya 80.
Cukup membanggakan melihat kepedulian orang tua dalam memotivasi anak. Malah gaya memotivasi sering bercampur dengan pemaksaan. Saat saya ikut antri menunggu anak pulang sekolah, saat ia masih sekolah di SD, saya sering mendengar orang tua yang berharap anak kalau ujian harus mampu meraih skor yang tinggi dan kalau menerima rapor harus bisa meraih juara umum. Dan paling kurang bisa jadi juara kelas.
Hal yang kontra sebagai fenomena sosial, saat orang tua berharap bisa jadi cerdas dan juara, namun mereka di rumah belum membudayakan kebiasaan membaca. Orang tua malah kagum pada anak yang mampu meraih juara kelas dan skor yang tinggi dan ternyata itu diperoleh lewat cara-cara mencontek, dan balas budi yang diberikan oleh guru kelas. Karena si anak telah ikut les pada guru tertentu dan membayar yang mahal maka jadinya nilai rapor anak diberi skor yang melebih skor rata-rata kelas.
Kita perlu mengapresiasi orang tua yang tidak memberi anak tekanan psikologis, mematok target yang tinggi pada anak, misal harus bisa meraih nilai 100 dalam ujian sains. Jadinya anak bukan termotivasi, malah setiap kali mau ujian anak surat stress duluan. Saya sering mempunyai anak yang down dan menangis saat ia tidak jadi juara atau nilai ujiannya jelek dan saya menghibur:
“Tidak perlu down apalagi meratap kalau tidak jadi juara karena nilai yang asli itu ada dalam fikiran dan pribadi ananda sendiri. Nilai pada rapor ini hanyalah nilai yang terbaca oleh guru dan sering juga dipengaruhi oleh subjektivitas sang guru. Lagi pula negara kita tidak membutuhkan anak-anak yang bermental lemah, tapi yang berpribadi tangguh”.
orang tua berlomba-lomba mencari sekolah berlabel buat anak ternyata juga ada orang tua yang memahami apa dan bagaimana anaknya dan eksistensi pendidikan itu sendiri. Cukup banyak anak disekolahkan ke sekolah berlabel “wahhhh” hanya untuk memenuhi ambisi orang tua. Orang tua bangga kalau anak bisa sekolah pada program akselerasi, orang tua bangga kalau anaknya yang masih berusia 4 tahun sudah bisa caslistung (membaca-menulis- berhitung) meski anak melaluinya dengan otak yang capek. Ada anak yang sekolah di program akselerasi karena ambisius orang tua, merasa muak melihat buku-buku. Bila lagi emosional ia membanting dan melemparkan buku-buku yang dianggapnya sebagai beban yang maha berat.
Di fenomena yang begini ada juga orang tua yang peduli dan memahami tentang hakekat pendidikan. Dia memasukan anaknya ke sekolah yang berbasih keseimbangan antara dunia dan akhirat, juga seimbang antara belajar, ekskul, kegiatan agama dan kegiatan sosial. Jadinya anaknya terlihat seperti anak-anak yang diharapkan oleh undang-undang yaitu yang cerdas namun juga peduli pada lingkungan dan sesama serta betaqwa pada Allah Swt.
Suatu ketika saya bertanya pada seorang bapak, mengapa dia tidak menyekolahkan anaknya di sekolah berlabel. Dan ia menjawab bahwa sekolah unggul itu juga bagus bagi anak-anak yang bisa mengikutinya. Dia malah khawatir kalau anaknya bersekolah di sana akan menjadi “ekor dari gajah”, maksudnya menempati peringkat buncit dengan pengalaman sukses yang jarang, maka biarlah dia belajar di sekolah biasa-biasa saja namun bisa mejadi orang yang berarti dan memperoleh pengalaman sukses di sana.