Aku pun kembali kepada Kakak setelah membawa dua botol minuman yang rasanya sudah tidak asing lagi untuk lidah kami berdua. Kami langsung meminumnya sambil mengobrol-ngobrol yang membuat kami lupa waktu.
     "Udah malam, Kak, pulang yuk!" Ajakku saat tahu waktu sudah menunjukkan pukul 11.
Ketika aku hendak menggandeng tangan Kakak dengan maksud menuntunnya berjalan seperti biasanya, ia menolak.
      "Jangan dituntun, ya, Kakaknya. Kakak bisa jalan sendiri, kok."
      "Nanti kalau Kakak kesandung batu terus jatuh gimana? Aku gak mau Kakak kenapa-kenapa." Aku menolak keinginannya itu. Jelas saja, bagaimana ia bisa berjalan dengan baik tanpa terjatuh kalau ia saja tidak bisa melihat yang ada di sekelilingnya?
     "Lihat Kakak!" Kakak berkata sambil menggerak-gerakkan secara pelan kedua kakinya saatku sedang membenarkan tali sepatunya yang terlepas. Padahal aku sudah mengikat dengan kencang tali di sepatunya tadi, kok bisa terlepas ya?
     "Lihat kenapa, Kak?" Tanyaku yang masih mengikat tali sepatunya.
     "Lihat Kakak, Dek! lihat Kakak!" Kakak terus menyuruhku untuk melihatnya, kini sambil mengusap lembut kepalaku. Setelah selesai mengikat tali sepatunya, aku langsung bangkit dan melihatnya seperti yang ia perintahkan tadi.
     "Kakak?" Aku membelalakkan mata sembari menganga saat melihat pandangan matanya yang biasanya hanya lurus ke depan kini memandangku.
     "Jangan nganga gitu, Dek, jelek tahu." Kakak berkata sambil menutup mulutku yang sedang menganga dengan tangannya. Aku membuang tangannya dari mulutku lalu menarik wajahnya dengan kedua tanganku mendekat ke wajahku.
     "Kakak bisa melihat?" Tanyaku. Ia mengangguk sambil tersenyum sebagai jawabannya.
     Karena masih tidak percaya, aku melambaikan tangan ke wajahnya untuk memastikan bahwa ia sudah bisa melihat. Matanya berkedip. Ternyata benar, ia bisa melihat. Kedua bola matanya tertuju tepat pada kedua bola mataku saat kami bertatapan.
     "Yeeeyyy, Kakak bisa melihat lagi!" aku berteriak kesenangan dan tanpa sadar orang-orang yang tengah berlalu di jalan melihat ke arah kami karena mendengar teriakkanku. Melihat itu, Kakak langsung menaruh jari telunjuk tangannya ke bibir, mengisyaratkan padaku untuk tidak berisik, karena mereka sedang melihat kami.
     "Maaf ya, Kakak cuma pura-pura aja buat ngetes kamu. Dan hasilnya kamu lulus tesnya, karena ternyata kamu udah merubah sikap buruk kamu yang dulu. Hahaha." Kakak tertawa terbahak-bahak.
     "Ah... Kakak jail!" Aku menghujani tangannya dengan pukulan yang bertubi-tubi. Sementara ia masih tetap tertawa terbahak-bahak.
      "Jadi, operasi Kakak waktu itu berhasil?" Tanyaku. Ia mengangguk menjawabnya.
      "Berarti, Ibu udah tahu dong masalah ini?"
      "Iya, malah Kakak sama Ibu sepakat untuk mengetes kamu dengan cara Kakak tetap berpura-pura gak bisa melihat."
     "Ah.. kalian jail udah ngebohongin aku."
      "Hahaha, kasian adik aku dibohongin."
Aku kembali menghujani tangannya dengan pukulan yang bertubi-tubi, sementara ia hanya bisa tertawa terbahak-bahak. Aku benar-benar tak sadar kalau Kakak hanya berpura-pura. Ia sangat terlihat seperti dulu, yang masih tidak bisa melihat.
      "Aku janji akan merubah sikap burukku ke Kakak, aku akan patuh sama Kakak, aku akan sayang sama Kakak. Pokoknya, aku akan menjadi adik yang baik buat Kakak." Aku berkata sambil menggenggam tangan Kakak, sementara ia dengan serius memperhatikanku yang sedang berbicara.
     "Maaf ya Kak, dulu aku sempat membenci Kakak atas kepergiannya Ayah. Padahal, itu semua bukan kesalahan Kakak. Ayah pergi bukan karena Kakak, tapi karena takdir. Maafin aku Kak, maafin aku udah jahat sama Kakak." Tak lupa aku kembali meminta maaf atas apa yang sudah kuperbuat dulu padanya.
     "Gak apa-apa, Dek, Kakak ngerti kok. Kamu pasti gak rela, kan, Ayah pergi? Tapi kamu gak nyangka, kan, punya Kakak yang ganteng?" Kakak tersenyum nakal.
Mendengar itu, lagi dan lagi aku menghujani tangannya dengan pukulan yang bertubi-tubi. Kami pun tertawa lepas. Lalu, kami pun pulang ke rumah ketika malam semakin larut.
Keesokkan harinya, aku berangkat sekolah dengan diantar oleh Kakak untuk yang pertama kalinya. Padahal, dulu ia selalu menawariku untuk diantar olehnya. Tapi, aku selalu menolaknya, karena aku masih membencinya. Kini, rasa benci itu sudah hilang dari dalam hatiku. Dan kini juga, rasa sayanglah yang semakin hari semakin bertambah padanya.
     "Tumben banget udah sampe di sekolah pagi-pagi, biasanya lima menit sebelum masuk?" Kata Cindy ketika aku baru tiba dikelas pada jam 6.30.
     "Aku diantar Kakakku!" Jawabku singkat.
Benar yang dikatakan oleh Cindy, biasanya aku selalu datang lima menit sebelum masuk karena harus menunggu angkutan umum yang datang. Tapi sekarang sudah tidak lagi, karena ada Kakak yang mengantarku.
     "Diantar Kakak kamu? Hahahah.. Ngarang kamu! Bukannya Kakak kamu gak bisa melihat? Gimana dia bisa mengantar kamu?" Cindy tak percaya dengan jawabanku tadi.
     "Kamu gak percaya aku diantar Kakak?" Tanyaku.
     "Nggaklah, gimana Kakak kamu bisa mengantar kamu kalau dia aja gak bisa melihat?" Jawabnya.
     "Jadi benar gak percaya nih?"
     "Nggak, kecuali aku bisa melihat sendiri saat Kakak kamu mengantar kamu."
     "Oh, begitu, ya. Jadi kamu perlu bukti? Aku akan buktikan ke kamu kalau omonganku ini gak bohong. Pulang sekolah nanti Kakak jemput aku."
     "Okey, kita buktikan!"
Ketika pulang sekolah tiba, aku langsung mengajaknya menemui Kakak untuk membuktikan padanya bahwa ucapanku ini benar. Syukurlah, Kakak sudah datang dan ia sedang menungguku di tempat tunggu yang seperti biasanya. Aku mengetuk kaca mobil yang di dalamnya ada dirinya, Kakak pun langsung membukanya.
      "Hai, Dek!" Sapa Kakak saat kacanya terbuka dan melihat Cindy di luarnya.
      "Kakak kok bisa melihat?" Kata Cindy yang keheranan.
      "Iya, Kakak bisa melihat." Kakak menjawab sambil tersenyum padanya.
      "Kakak pasti bohong, kan?" Cindy masih tidak percaya bahwa Kakak memang benar bisa melihat.
      "Kakak gak bohong kok, Dek. Kakak benar bisa melihat. Kakak bisa lihat nama yang tertera di dada kamu, Cindy Feryanti, itu kan nama kamu? Rambut kamu hitam dan panjangnya sebahu. Betul, kan?" Kakak mengatakan semua pada Cindy yang terdapat pada dirinya untuk membuktikan padanya bahwa ia memang benar bisa melihat.
      "Kakak kok bisa melihat secepat ini? Bukannya semalam...?"
      "Semalam, Kakak hanya berpura-pura gak bisa melihat aja. Gimana? Akting kakak bagus, kan?"
      Mendengar itu, Cindy pergi meninggalkanku dan Kakak begitu saja karena tidak bisa berkata apa-apa lagi. Kami tertawa melihat tingkahnya itu. Lalu, aku pun masuk ke dalam mobil dan duduk di bangku sebelah di samping Kakak. Kali ini aku bisa membuktikan ucapanku padanya, tidak seperti semalam.
"Teman kamu lucu ya!" Komentar Kakak tentang Cindy. Aku hanya tertawa mendengarnya. Kakak juga ikut tertawa, dan kami berdua pun tertawa lepas.
Kemudian, Kakak menjalankan dengan sedang mobil yang sedang kami naiki menuju pulang ke rumah.
***
Note:
Cerita ini pernah terbit di website:
https://cerpenmu.com/cerpen-keluarga/kakak-maafkan-aku-part-2-ternyata-kakak.html
Ada perubahan judul dan penambahan kata yang bertujuan agar cerita menjadi lebih sempurna dan fresh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H