Mohon tunggu...
Siti Mariyam
Siti Mariyam Mohon Tunggu... Lainnya - (Pe)nulis

Siti Mariyam adalah gadis yang lahir di planet bumi pada tahun 1999 silam. Gadis yang lahir dan tinggal di Tangerang Selatan ini mulai tertarik dunia kepenulisan sejak akhir masa SMP. Dari mulai hobi menulis diary hingga membaca cerpen-cerpen di internet juga novel. Ia selalu mencatat setiap kata baru yang ditemuinya saat menonton film dan membaca untuk menambah kosa kata dalam menulis ceritanya nanti. Dari semua itu, telah lahir beberapa cerita yang bisa kamu nikmati di halaman Kompasiana pribadinya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Reno

27 Februari 2023   01:54 Diperbarui: 16 Maret 2024   13:59 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku kembali melihat diri ke dalam cermin untuk memastikan bahwa penampilanku sudah rapi, karena malam ini akan bertemu dengan seseorang yang sangat kurindukan yang hanya bisa bertemu bila liburan semester saja. Sangat rindu bukan? Ya, sangat!

"Aku sudah di depan rumahmu!"

Orang yang sedang ditunggu kehadirannya memberitahuku melalui WhatsAapp. Aku tersenyum dan langsung bergegas menuju luar. Tapi, sebelum itu lagi dan lagi aku melihat diri ke dalam cermin sambil tersenyum sendiri seperti orang gila karena akan bertemu dengannya.

Aku terkejut ketika membuka pintu mendapati dirinya dengan kursi roda. "Reno, kamu?" Aku menganga, tak percaya akan ini. Apa dia masih mau berpura-pura lagi untuk mengujiku seperti waktu itu? Tapi...


"Hai, Karin!" ia menyapa sambil melambaikan tangan kanannya.
"Kamu kok?" Aku berusaha untuk bertanya mengapa ia kembali menggunakan kursi roda sementara ia bisa berjalan? Tapi, sulit kukatakan.
"Sudah siap?" Reno bertanya sambil terus menatapku. Aku menganggukan kepala sebanyak dua kali sebagai jawabannya.
Kemudian, ia memutar kursi rodanya mengarah ke jalan yang akan kami lalui malam ini. Aku mengikutinya dari belakang secara perlahan-lahan tanpa membantunya mendorong kursi rodanya seperti waktu itu, waktu pertama kali aku bertemu dengannya secara langsung setelah sebelumnya kami hanya berkomunikasi melalui telepon.

"Jalannya, kok, lama banget? Lebih cepat, dong! Masa kalah sama aku?!" Reno berkata ketika sadar diriku tertinggal jauh darinya yang menggunakan kursi roda karena masih tak percaya akan ini. Lalu, aku berlari kecil menghampiri dirinya kira-kira sebanyak dua puluh langkah dari tempatku berdiri.

"Lihat kaki akunya, kok, begitu banget?" Reno bertanya saat aku terus melihat kakinya yang beralaskan sepatu berwarna putih tanpa bergerak sama sekali.
"Eng.. enggak, kok." Aku menjawab sambil memberi seulas senyum agar ia tak curiga bahwa aku risih dengan keadaannya itu.

Kemudian, kami meneruskan perjalanan menuju tempat di mana itu merupakan sebuah cafe tapi seperti toko buku pula yang menjual banyak buku. Tempat itu sudah kami sepakati menjadi tempat melepas rindu berdua, sambil mencari-cari buku untuk belajar kami karena tahun ini kami kelas dua belas yang akan menghadapi ujian nasional.

Di sepanjang perjalanan sampai tiba di tempat tersebut kami tidak bicara sama sekali. Entah kenapa aku jadi kikuk dan tidak suka melihat keadaan Reno yang seperti itu
"Lihat, deh! Cewek itu masa tega membiarkan cowoknya mendorong kursi rodanya sendiri?!"
"Cowoknya juga ganteng-ganteng, kok, berkursi roda?"
"Ha ha ha ha"
Kalimat-kalimat itu terdengar saat aku dan Reno baru beberapa langkah saja memasuki tempat tersebut. Setelah mendengar itu aku menghentikan jalan sejenak karena geram dan ingin membalas mereka yang berkata demikian. Tapi, Reno menahanku, ia langsung mengajakku mencari tempat untuk kami berdua.

"Semua ini karena kamu, Reno! Coba kalau kamu gak pakai kursi roda mereka pasti gak akan berkata begitu?!" aku meluapkan amarah pada Reno yang sebenarnya ingin kuluapkan pada mereka tadi.
"Kenapa kamu pakai kursi roda lagi? Belum puas berpura-pura untuk mengujiku seperti waktu itu?" tambahku masih dalam kemarahan.
"Karin, maaf jika keadaanku membuatmu malu jalan bersamaku. Tapi, aku butuh kursi roda untuk berjalan, aku.."
"Aku apa? Aku gak suka dibohongi seperti ini! Aku tahu kamu sedang membohongiku!" aku memotong ucapannya karena yakin ia pasti sedang berbohong.
"Karin, dengarkan aku dulu. Aku akan jelaskan ke kamu,"
"Menjelaskan apalagi, Reno? Aku tahu kamu pasti bohong!"
"Karin, jangan seperti ini. Aku kangen sama kamu. Kita bisa bertemu hanya di saat-saat seperti ini. Kamu jangan bersikap seperti ini denganku."

Aku hanya diam sambil terus mendengus kesal. Aku tak menyangka pertemuan kedua kami akan berantakan seperti ini. Tak ada keromantisan seperti yang selalu aku bayangkan sebelumnya, sebelum bertemu dengannya untuk yang kedua kali.
Aku memutuskan pergi meninggalkan Reno dari tempat tersebut begitu saja karena geram dengannya, padahal kami belum memesan apapun. Dengan cepat Reno menjalankan kursi rodanya membuntutiku dari belakang.
"Karin, tunggu!" panggil Reno. Aku pura-pura tuli, tak mendengar panggilannya walau suaranya terdengar jelas di telingaku.
"Karin!" Reno kembali memanggilku. Aku tetap tak mengindahkan panggilannya. Aku terus mempercepat jalanku agar ia tak bisa mengejarku lagi.

Sampai akhirnya langkah kakiku terhenti setelah mendengar sesuatu yang membuat mataku terbelalak, juga membuat jantungku secara tiba-tiba berdebar kencang.
"Reno!" aku terkejut setelah melihatnya sedang berjalan menghampiriku dengan mengesot, menyeret kakinya di jalan. Ia jatuh dari kursi roda karena terlalu cepat menjalankannya hanya untuk mengejarku. Ternyata benar, dia..


"Karin, maafkan aku!" ucapnya yang sudah berjalan sampai di tengah jalan, setengah lagi tibasampai di tempatku berdiri, di tepi seberang jalan.
Aku yang empati melihat Reno seperti itu pun berjalan menuju di mana ia berada. Namun, sebelum itu suara klakson mobil yang memberitahu bahwa Reno harus pergi dari tempatnya sudah terdengar sangat keras karena keberadaannya di jalan dengan keadaan yang seperti itu membahayakan dirinya.
"RENO AWAS!" aku memberitahunya untuk segera pergi walau sebenarnya ia sudah tahu akan hal itu, juga sudah berusaha menepi ke jalan tapi terlalu lambat dengan cara jalannya yang seperti itu.
Entah apa yang dilakukan sang pengemudi tersebut, mobilnya itu terus melaju menuju Reno tanpa mau berhenti sejenak memberi waktu padanya untuk ke tepi jalan. Aku langsung berlari ke tengah jalan untuk segera menolong Reno.
"Aaaaaaaaaa!" aku berteriak sambil memejamkan mata karena tak mau melihat kejadian ini berlangsung ketika mencoba membawa Reno ke tempat aman. Aku tak tahu apakah berhasil atau tidak menolongnya karena mataku masih tetap terpejam, yang jelas aku sudah berusaha menolongnya.

 "Terima kasih, ya, sudah menolongku."

Detak jantungku yang sedang berdebar kencang perlahan-lahan menurun setelah mendengar suara Reno yang mengatakan itu. Perlahan-lahan aku membuka mata, mendapati Reno sedang tersenyum di depanku. "Reno, kamu gak apa-apa, kan?" aku bertanya sambil memeriksa dirinya terdapat luka atau tidak.
"Gak apa-apa, kok. Sekali lagi terima kasih, ya, sudah menolongku." jawabnya kembali tersenyum padaku.


"Jadi, kamu benar butuh kursi roda untuk berjalan?"
"Iya, sekarang aku butuh kursi roda untuk berjalan."
"Sebenarnya apa yang terjadi sama kamu?"
"Aku sakit karena rindu dan terus mikirin kamu. Hahaha"
"Reno serius, jangan bercanda!"
"Gak penting hal apa yang sudah terjadi denganku. Karin, kamu masih mau, kan, menjadi pengisi hatiku?"
"Iya mau.. Aku masih mau menjadi pengisi hatimu!"
"Yakin.. Gak malu punya pacar cacat kaya aku?"
Aku membelalakan mata padanya setelah ia berkata demikian, sama seperti waktu ketika ia berhasil membohongiku tentang keadaannya yang sebenarnya. Apa dia kini kembali lagi berbohong? Kali ini dia tidak boleh berhasil membohongiku, aku yakin dia sedang berbohong dan berpura-pura lagi.

"Reno, kamu lagi gak berbohong dan berpura-pura lagi, kan?" aku bertanya sambil menatapnya serius.
"Berbohong dan berpura-pura lagi bagaimana?" Reno menjawab kebingungan.
"Iya, pasti ini semua sudah kamu rencanakan, kan?"
"Jadi, kamu gak mau punya pacar yang cacat kaya aku?"
Aku bangkit dan pergi meninggalkan Reno yang masih duduk di jalan karena kesal sudah merasa terbohongi olehnya.
"Karin, tunggu!" Reno memanggilku.
"Dengarkan aku dulu!" tambahnya.
"Aku gak mau mendengarkan apapun lagi dari kamu. Aku kecewa sama kamu!" aku menjawab sambil terus berjalan.

"Karin, kali ini Reno benar lagi gak berpura-pura!" aku menghentikan langkahku setelah mendengar kalimat tersebut. Suara itu? Abi! Ternyata benar.. Itu Abi dan ia sudah membantu Reno kembali duduk di kursi rodanya. Tapi, kenapa dia bisa ada di sini? Dari mana dia tahu kami di sini?
"Abi, sudah jangan membantu Reno untuk membohongiku seperti ini. Aku tahu kalian berdua sedang membohongiku!" aku berkata masih di tempatku berdiri.
"Karin, kamu boleh gak percaya dengan Reno, tapi harus percaya denganku." Abi mendorong Reno menghampiriku.
"Reno mengalami kecelakaan ketika sedang membeli sesuatu untuk diberikan ke kamu saat nanti kalian bertemu. Tapi, belum sempat membelinya ia mengalami kecelakaan yang mengakibatkan kakinya gak bisa berjalan lagi." Abi menjelaskan apa yang telah terjadi pada Reno yang membuatku merasa bersalah karena terus menuduhnya membohongiku.

Aku langsung menghampiri Reno dengan mata yang berkaca-kaca, lalu memeluknya yang tengah duduk di kursi roda sambil berkata. "Maafkan aku Reno sudah terus menuduhmu membohongiku."
"Gak apa-apa Karin. Sekarang kamu percaya, kan, sama aku?" Reno menjawab sambil mengelus rambutku.
"Iya, aku percaya sama kamu. Sangat percaya!" aku melepas pelukanku dari tubuhnya.
"Jangan menangis, Karin!" Reno menghapus air mataku. Aku tersenyum lebar padanya.
"Nah.. Gitu, dong. Jangan bertengkar terus!" tukas Abi yang ada di belakang Reno yang membuat kami tertawa.

"Karin, kamu masih mau, kan, menjadi pengisi hatiku?" Reno kembali mengatakan itu sambil menggenggam tanganku.
"Iya Reno, iya aku mau menjadi pengisi hatimu!" aku menjawab dengan senyuman.
"Yakin.. Gak malu punya pacar yang cacat kaya aku?" Reno pun mengulang kalimat itu.
"Memangnya jawabanku gak meyakinkan, ya?" aku berbalik tanya padanya.
Reno tersenyum. Ia kembali memelukku. Pelukannya erat sekali. Kami saling melepas pelukan setelah semenit lamanya kami berpelukan.

"Kamu, sih, jail. Ada acara pura-pura segala. Jadinya beneran, kan. Untung aja kamu pura-pura gak bisa berjalan, coba kalau gak bisa melihat, kamu pasti gak bisa melihat aku sekarang."
"Hehehe, aku ingin beda aja dari yang lain. Aku juga gak menyangka akan menjadi seperti ini. Jika aku gak bisa melihat sekarang, aku masih tetap bisa melihat wajahmu yang cantik itu dengan hatiku."
"Ah.. Gombal!"
"He he he"
"Ah.. Sudah, dong. Jangan buat aku cemburu." Abi membuka mulut melihat aku dan Reno bercakap-cakap tadi.
"He he he" aku dan Reno tertawa.

"Karin, kamu mau balik ke tempat tadi?" tanya Reno yang mengungkit kembali tempat tersebut yang gagal menjadi tempat untuk melepas rindu kami.
"Mau Reno, mau!" jawabku.
"Jadi, Karin aja, nih, yang diajak?" Abi ikut bersuara.
"Kamu juga, Abi." kata Reno.
"Pokoknya kamu harus.."
"Traktir makan kamu malam ini? Iya, aku traktir kamu. Tenang aja!" Reno memotong ucapan Abi yang sudah ia ketahui apa yang akan Abi katakan.
"Kamu, kok, tahu, sih?"
"Tahulah, pikiranmu, tuh, makanan terus."

Aku hanya bisa tertawa melihat Abi dan Reno seperti itu. Kemudian, aku, Reno, dan Abi berjalan menuju tempat yang sudah aku dan Reno datangi tadi. Kali ini aku membantu Reno mendorong kursi rodanya setelah sebelum aku malah risih akan adanya kursi roda di samping Reno. Padahal, kursi roda itu membantunya untuk bisa berjalan.

Kekecewaan yang aku rasakan tadi akhirnya terbayar dengan kembalinya aku dan Reno ke tempat tersebut, tempat di mana aku dan Reno bisa melepas kerinduan setelah sekian lama tidak bertemu. Ditambah pula dengan Abi, sepupuku yang juga aku rindukan kehadirannya kini bisa bertemu kembali.

Ternyata benar, Reno butuh kursi roda untuk berjalan. Kakinya sudah tidak bisa lagi berjalan akibat kecelakaan yang sudah diceritakan oleh Abi tadi. Padahal, sebelumnya aku senang mengetahuinya hanya berpura-pura saja menggunakan kursi roda ketika pertama kali kami bertemu. Namun, untuk pertemuan yang kedua ini menjadi kenyataan.

Tapi, aku tetap menerima Reno sebagai seseorang yang sudah mengisi hatiku selama ini yang sangat kucinta dan kusayangi, meski bagaimana pun keadaannya. Karena cinta itu adalah perasaan seseorang yang menyanyangi seseorang yang dicintainya dengan tulus tanpa memandang kelebihan dan kekurangannya dia. Begitulah cintaku pada Reno.

***

Note:
Cerita ini pernah terbit di website:
https://cerpenmu.com/cerpen-cinta-romantis/ternyata-dia-3.html
Ada perubahan judul dan penambahan kata yang bertujuan agar cerita menjadi lebih sempurna dan fresh.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun